
Refleksi
Kembali ke Makkah
Ada kerinduan pada perannya yang pernah sangat penting dalam dunia keulamaan dan keilmuan.
Oleh AZYUMARDI AZRA
Mekkah. Banyak kerinduan, banyak keharuan, dan banyak kesyahduan. Sejak terakhir kali menjalankan ibadah haji pada 1996, musim haji tahun ini saya kembali ke Mekkah. Memang, di antara 1997 dan 2004 saya beberapa kali datang ke kota suci ini mengerjakan umrah.
Tetapi, ibadah haji berbeda dengan umrah, meski yang terakhir ini juga sering disebut sebagai 'haji kecil'. Perbedaan itu terletak bukan hanya pada tata cara ibadahnya, tetapi juga dalam suasana batin psikologisnya.
Kembali ke Mekkah. Kota suci ini telah menguasai imajinasi saya sejak belajar pada Departemen Sejarah Columbia University, New York (1988-1993), dengan memusatkan perhatian pada sejarah ulama dan tradisi keilmuan yang mereka hasilkan.
Sejak waktu itu, saya mengumpulkan berbagai literatur dalam berbagai bahasa tentang Makkah, sejak dari soal ibadah haji, sejarah kotanya, generasi-generasi (tabaqat) dan figur-figur ulamanya, para pengembara yang datang ke sana sejak dari mereka yang beragama Islam maupun mereka yang menyamar jadi Muslim yang terpesona dan ingin tahu tentang ibadah haji yang kolosal dan memiliki dampak yang begitu hebat terhadap kaum Muslimin di manapun.
Kembali ke Mekkah. Kali ini pada awalnya adalah untuk mempresentasikan makalah pada konferensi internasional tentang "Makkah: 'Ashimah Islamiyyah wa al-Tsaqafah" (Makkah sebagai Ibukota Islam dan Peradaban) yang diselenggarakan Kementerian Wakaf Arab Saudi pada 16-18 Januari 2005. Saya diminta menyajikan makalah tentang 'Peranan Makkah dalam Dinamika Islam dan Kehidupan Kaum Muslimin di Indonesia".
Mekkah memiliki peran transformatif sangat sentral bagi nusantara tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam lapangan sosial, budaya, dan politik.
Mekkah, tidak ragu lagi, memiliki peran penting dalam dinamika Islam dan kehidupan kaum Muslimin di Indonesia atau nusantara, atau Asia Tenggara, yang dalam literatur Arab sejak masa pra-Islam disebut sebagai 'Negeri Bawah Angin".
Sejak masa awal penyebaran Islam di kawasan ini, Makkah bukan hanya sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji, tetapi juga sumber terpenting bagi intelektualisme Islam di Indonesia dan nusantara secara keseluruhan.
Semakin banyaknya jamaah haji dan penuntut ilmu di Mekkah membuat terbentuknya komunitas yang dalam sumber-sumber Arab disebut sebagai 'Ashab al-Jawiyyin', rekan-rekan kita orang 'Jawi', yang mengacu bukan khusus kepada 'orang Jawa', tetapi orang-orang Muslim dari nusantara secara keseluruhan.
Mekkah memiliki peran transformatif sangat sentral bagi nusantara tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam lapangan sosial, budaya, dan politik. Hampir seluruh ulama yang memainkan peran penting dalam pembaruan dan dinamika intelektual dan sosial Islam di nusantara sejak abad ke-17 dan seterusnya adalah jebolan Mekkah. Sebagian mereka juga menambah ilmunya di Madinah. Mekkah dengan demikian menjadi focal point keilmuan dan keulamaan.
Banyak pula di antara para haji ini kemudian memimpin gerakan tarekat yang melakukan jihad melawan penjajah.
Ketika kolonialisme Belanda semakin mencengkeramkan kekuasaannya dalam abad ke-18 dan ke-19, Makkah menjadi pusat solidaritas kaum Muslimin, yang lebih dikenal sebagai pan-Islamisme. Dan para haji yang kembali dari Tanah Suci ini, dalam semangat perlawanan kepada kolonialisme Belanda memusatkan diri dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, pondok, surau, dayah, dan rangkang. Banyak pula di antara para haji ini kemudian memimpin gerakan tarekat yang melakukan jihad melawan penjajah.
Hanya menjelang akhir abad ke-19 saja, posisi Mekkah yang begitu sentral, sedikit demi sedikit tersaingi Kairo, ketika para penuntut ilmu dari Indonesia semakin banyak yang datang belajar ke Universitas al-Azhar.
Tetapi, terlepas dari keterkenalan dan posisi penting universitas tertua dunia ini dalam kajian dan intelektualisme Islam sejak awal abad ke-20, ia tidak bisa dan tidak akan pernah dapat menggantikan posisi Mekkah yang begitu sentral dalam Islam dan kehidupan kaum Muslimin.
Ada kerinduan pada perannya yang pernah sangat penting dalam dunia keulamaan dan keilmuan.
Para mukimin Indonesia sendiri sepanjang abad ke-19 khususnya melakukan berbagai usaha dalam dunia keilmuan dan keulamaan di Mekkah. Jika orang meneliti kitab-kitab tarajim (kamus biografi) ulama Makkah pada periode abad ke-18, ke-19, dan awal abad ke-20, maka dengan segera dapat ditemukan biografi berbagai ulama asal nusantara.
Juga sejak pertengahan abad ke-20, dapat ditemukan nama dua madrasah yang didirikan orang-orang Indonesia; pertama Madrasah Indunisiyyah bi Makkah yang didirikan Syekh Muhammad Janan Thaib, dan Madrasah Darul `Ulum yang sampai awal 1990 dipimpin Syekh Muhammad Yasin ibn Isa al-Padani.
Mekkah. Ada kerinduan pada perannya yang pernah sangat penting dalam dunia keulamaan dan keilmuan. Ada kerinduan pada ibadah haji yang lebih intens dan lebih bermakna, yang lebih memiliki dampak sosial ketika para haji kembali ke Tanah Air, memberi kontribusi aktual bagi negara-bangsa Indonesia untuk menjadi semakin baik, bebas dari berbagai kemungkaran. Jika ini bisa diwujudkan para haji, maka itulah sesungguhnya haji yang betul-betul mabrur.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 13 Januari 2003. Prof Azyumardi (1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah.
Dari Makkah, Semangat Anti-Kolonial Menggema
Hampir seluruh ulama Nusantara yang berperan sentral dalam transformasi intelektual dan sosial adalah alumni Makkah.
SELENGKAPNYAMencari Fatwa Hingga ke Makkah
Para tokoh Nusantara meminta fatwa tentang sejumlah soal yang terjadi di tanah air mereka.
SELENGKAPNYAMakkah dan Legitimasi Raja-Raja di Nusantara
Sejumlah raja Muslim di Nusantara mengirim utusan ke Syarif Makkah untuk meminta gelar.
SELENGKAPNYA