
Refleksi
Menyikapi Panggilan Allah SWT
Benarkah kita belum dapat panggilan ke Tanah Suci?
Oleh HASYIM MUZADI
Sering kita dengar alasan beberapa rekan mengapa tidak segera berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Salah satu di antara alasan yang disodorkan adalah karena mereka mengaku belum mendapat panggilan Allah SWT.
Memang masih ada alasan lain, seperti belum siap secara mental atau nanti saja kalau usia produktif sudah mulai menurun agar bisa melakukan haji dengan penuh khidmat. Namun, belum mendapat panggilan adalah alasan paling umum yang kita dengar di tengah masyarakat.
Sekarang, mari bertanya ke dalam diri. Adakah di antara kita yang tidak dipanggil oleh Allah? Adakah panggilan itu hanya untuk orang tertentu sehingga ada yang merasa sudah dicap tidak bakal punya kesempatan bertamu ke Rumah Allah?
Bertandang ke Baitullah adalah kewajiban bagi umat Islam yang mampu. Menunaikan ibadah haji bukan kewajiban bagi yang mendapat panggilan. Mendapat panggilan sama sekali bukan rukun dan syarat kita melakukan ibadah haji.
Kita hanya ingin bertanya, mengapa begitu banyak kawan yang secara materi, kesempatan, kekuatan badan, dan ketercukupan persyaratan, tetapi tak jua berangkat? Alasan belum ada panggilan sungguh sebuah penistaan terhadap janji yang telah kita sepakati bersama Allah SWT.
Bukankah dalam sebuah firman-Nya, Allah bertanya, “Bukankah Aku ini adalah Tuhanmu?” “Qooluu Balaa Syahidnaa (Benar, kami telah bersaksi),” demikian jawab manusia, anak Adam, dan kita semua.
Sekarang, mari bertanya ke dalam diri. Adakah di antara kita yang tidak dipanggil oleh Allah?
Persaksian adalah sebuah panggilan. Persaksian adalah sebuah deklarasi mengenai sebuah kontrak antara makhluk dan Khaliq. Jamaknya sebuah kontrak, kontrak kita dengan Allah juga mengandung konsekuensi-konsekuensi.
Ibarat sebuah journey atau travel, kita sudah mendapatkan tiket dan tinggal menunggu jadwal kapan kita harus berangkat. Jika pada jam dan jadwal yang ditentukan kita belum ada di ruang tunggu, biasanya akan ada panggilan.
Pada urusan ‘dunia’ begini, berbagai cara kita ikhtiarkan agar selalu tepat waktu. Jarang di antara kita, kecuali karena alasan sangat-sangat memaksa, akan terlambat datang. Jika pada jadwal dan jam keberangkatan belum juga datang, kita akan mendapat panggilan.
Bisa dengan pelantang suara, bisa pula dengan alat komunikasi lain, seperti handphone. Tentu saja kondisi ini ada batas toleransinya. Sebab, kafilah harus tetap berangkat tanpa kehadiran kita sekalipun.
Demikian juga ibadah haji. Sejak panggilan pertama, yakni saat kita mengucapkan kalimah syahadat lengkap dengan lima rukun Islam lainnya, kita seharusnya sudah berada di ruang tunggu untuk memenuhi panggilan Allah. Nama kita sudah masuk daftar keberangkatan.
Namun, ada yang ditunda keberangkatannya karena alasan tertentu dan ada yang tidak jadi berangkat karena alasan tertentu pula. Tetapi, tak dibenarkan jika tidak berangkat karena merasa tidak mendapat panggilan.
Tetapi, tak dibenarkan jika tidak berangkat karena merasa tidak mendapat panggilan.
Kita berlindung kepada Allah agar jangan sampai tidak berangkat atau belum berangkat ke Tanah Suci karena mengabaikan panggilan atau karena bersikap main-main. Sebab, bisa jadi karena pengabaian dan bersikap main-main, panggilan itu tak akan diulang.
Untuk orang-orang tertentu dengan rekam jejak pengabaian yang tinggi terhadap perintah Allah, biasa bermaksiat, biasa melupakan janji dengan Allah, zalim terhadap sesama, panggilan berulang-ulang pun tak akan memecah hati batunya.
***
“A andzartahum Am Lam Tundzirhum (Kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan).” Mereka tetap tidak akan percaya bahwa mereka sudah mendapat panggilan dari Allah.
Hanya, ayat ini memang Allah khususkan untuk orang-orang kafir. Tapi, bukankah jika sudah terbiasa sengaja tidak mau mendengar atau tidak mengindahkan atau karena menyikapi perintah Allah dengan main-main, lama-lama akan bersemi tunas kekufuran dalam diri akibat menentang perintah-Nya?
Tidakkah kita menjadi khawatir jika karena tidak menjalankan ibadah haji dengan alasan mengabaikan perintah Allah, lantas kita dicap kafir? Bukankah seorang Muslim disebut Muslim jika dia sudah memenuhi rukun-rukunnya?
Bukankah salah satu rukun seseorang disebut Muslim karena telah bersaksi siap melakukan ibadah haji? Jadi, sampai kapan kita dan kalian semua para hartawan, akan terus beralasan belum mendapat panggilan Allah sehingga kita abaikan undangan-Nya ?
Tidakkah kita menjadi khawatir jika karena tidak menjalankan ibadah haji dengan alasan mengabaikan perintah Allah, lantas kita dicap kafir?
Padahal, demikian menurut beberapa riwayat, inilah ibadah yang mampu menampung ibadah-ibadah lain dalam Islam. Bukankah hanya dalam haji seseorang bisa melakukan shalat dengan shalat sunah tawaf, melakukan siyam (bagi mereka yang tidak bisa membayar dam), berzakat—menyalurkan daging binatang kurban sebagai pengganti atas pelanggaran—salah satu rukun haji? Anda tidak akan bisa melakukan ibadah haji dalam shalat, haji dalam puasa, dan haji dalam zakat, bukan?
Maka, beruntunglah mereka yang secara sukarela, penuh penghormatan kepada perintah Allah, diliputi pengakuan akan penghambaan diri kepada-Nya, dengan penuh kesadaran betapa sangat bergantungnya diri kepada-Nya dapat melaksanakan ibadah haji dengan penuh kekhusyukan.
Penting bagi kita mempertahankan sifat khawatir dan rasa takut secara seimbang dengan keyakinan berpengharapan akan kasih sayang Allah kepada kita. Kita ingin dipanggil berulang-ulang karena rasa sayang dan rindu-Nya.
Jadi, mari kita berhitung lagi. Benarkah kita belum dapat panggilan ke Tanah Suci?
Bukan termasuk dalam kelompok yang dipanggil berulang-ulang karena hilangnya kesadaran, lenyapnya pengakuan, jauhnya pengembaraan meninggalkan jalan-Nya, serta mereka yang sengaja mengabaikan, sengaja tidak mengindahkan, sengaja mencoba lari dari-Nya, serta mereka yang sengaja mengkhianati perjanjian dan persaksian dengan Allah. Persaksian itu adalah kontrak yang penuh konsekuensi. Melanggar kontrak akan menerima sanksi, menaatinya akan mendapat imbalan.
Jadi, mari kita berhitung lagi. Benarkah kita belum dapat panggilan ke Tanah Suci? Bukankah harta yang kita miliki, badan sehat yang kita miliki, umur panjang yang kita miliki adalah bekal yang Allah anugerahkan kepada kita agar bisa memenuhi undangan-Nya pada panggilan pertama?
Jangan sampai dipanggil berulang-ulang sebab jika kita tidak segera menyikapi panggilan itu, kafilah akan terus berlalu dan kesempatan bagi kita akan ikut berlalu meninggalkan kita. Al-’iyaadzu billaahi.
Disadur dari Harian Republika edisi 15 September 2013. KH Hasyim Muzadi (1943-2017) adalah ketua umum PBNU periode 2000-2010.
Mereka yang tak Wajib Berangkat Haji
Setiap Muslim harus bertekad dan bersungguh-sungguh memenuhi seluruh rukun Islam mereka.
SELENGKAPNYAKH Muhammad Ali Alhamidi, Ulama Betawi yang Modernis
KH Muhammad Ali Alhamidi dikenang sebagai tokoh Persatuan Islam di Jakarta.
SELENGKAPNYA