Guru Mansur, ulama Betawi yang pakar ilmu falak. | DOK NU

Mujadid

Sang Alim dan Pejuang dari Betawi

Guru Manshur tidak hanya dikenang sebagai ahli ilmu falak, melainkan juga pejuang Betawi.

Sejarah penyebaran Islam di Jakarta dapat ditelusuri sejak abad ke-15 Masehi, yakni rentang waktu pendirian Pesantren Quro di Karawang. Lembaga itu dirintis pada 1418 oleh dai kelahiran Campa (Kamboja), Syekh Quro alias Hasanuddin. Tak sedikit muridnya  berasal dari Jakarta. Mereka itulah yang kemudian merintis dakwah di Tanah Betawi.

Dalam beberapa abad berikutnya, Jakarta menjadi salah satu pusat intelektual Islam di Nusantara. Pada abad ke-19 M, daerah Betawi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 10 medan dakwah: Pekojan, Mester, Paseban, Cipinang Muara, Kuningan, Menteng Atas, Gondangdia, Basmol, Cengkareng, dan Tenabang.

Salah seorang dai yang masyhur dari Pekojan adalah Guru Manshur Jembatan Lima. Disebut demikian karena ulama tersebut tinggal di Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang kala itu masih termasuk area Pekojan.

Mengutip buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011), Guru Manshur lahir di Jakarta pada 1887 dan wafat pada 80 tahun kemudian. Nama lengkapnya adalah Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri.

Tokoh yang juga dikenang sebagai pejuang kemerdekaan itu masih keturunan Tumenggung Cakra Jaya dari Mataram, Jawa. Sepanjang hidupnya, pakar ilmu falak ini telah menulis tidak kurang dari 19 buku. Sampai saat ini, berbagai karyanya masih dipakai sejumlah pesantren di Indonesia dan Malaysia.

 

 
Berbagai karyanya (Guru Manshur) masih dipakai sejumlah pesantren di Indonesia dan Malaysia.
   

Manshur menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan sang ayah, KH Abdul Hamid. Setelah ayah sekaligus guru pertamanya itu wafat, dia belajar pada KH Mahbub, yang tidak lain kakaknya sendiri. Selain itu, Manshur juga menimba ilmu dari KH Thabrani bin Abdul Mughni. Dia juga berguru pada Syekh Mujitaba, yang kemungkinan ditemuinya baik ketika bermukim di Tanah Suci maupun saat masih di Jakarta.

Saat berusia dewasa, Manshur menunaikan ibadah haji. Dia menggunakan kesempatan ini untuk bermukim di Tanah Suci demi melanjutkan belajar. Di sana, dia berguru pada sejumlah ulama besar, yang tidak sedikit berasal dari Nusantara.

Di antara guru-gurunya adalah Syekh Mukhtar Atharid al-Bughuri, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syekh Ali al-Maliki, Syekh Said al-Yamani, dan Syekh Umar Sumbawa. Seiring waktu, Manshur menekuni ilmu falak di bawah bimbingan ulama asal Mesir, Abdurrahman Misri, dan Ulugh Bek asal Samarkand.

 

 
Kembali ke Tanah Betawi. Lekatlah gelar “guru” di depan namanya (Guru Manshur).
   

Empat tahun kemudian, ia kembali ke Tanah Betawi. Lekatlah gelar “guru” di depan namanya. Sebagaimana para ulama Nusantara yang lama di Haramain, Guru Manshur mendirikan majelis ilmu di Masjid Jembatan Lima.

Di luar itu, dia juga mengajar di sejumlah tempat, antara lain Kenari dan Cikini. Selain ilmu-ilmu agama, dia juga mendidik para muridnya dengan sains, terutama ilmu falak yang memang sudah lama ditekuninya.

Murid-muridnya berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Di antara mereka kemudian menjadi sejumlah ulama terkemuka asli Betawi, yakni KH Abdullah Syafii dan KH Abdul Rasyid Ramli. Selain itu, ada pula KH Abdul Khoir (Krendang, Jakarta Barat) dan KH Firdaus, yang kemudian diangkatnya menjadi mantu.

Dari Bekasi, murid Guru Manshur antara lain KH Muhajirin Amsar ad-Dary. Mereka semua menjadi pakar ilmu falak terutama berkat bimbingan Guru Manshur.

Dari garis keturunannya, ada yang meneruskan kiprah di bidang ilmu falak. Misalnya, KH Ahmadi Muhammad, seorang cucu Guru Manshur, adalah penyusun kalender Hisab al-Manshuriyah. Almanak ini disusun dengan berdasarkan perhitungan yang dibuat Guru Manshur.

Hingga kini, Hisab al-Manshuriyah tetap dipakai sebagai kalender acuan oleh kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia. Adapun yang lebih belakangan, dari silsilah Guru Manshur juga lahir seorang dai kondang Indonesia, Ustaz Yusuf Mansur, pendiri Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an.

 

 
Hingga kini, Hisab al-Manshuriyah tetap dipakai sebagai kalender acuan oleh kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia.
   

Salah satu karya Guru Manshur yang paling monumental adalah kitab Sullam an-Nayrain. Buku ini membahas seluk beluk ilmu falak serta kalender yang dapat menentukan awal dan akhir bulan hijriyah.

Sullam an-Nayrain sampai sekarang masih dipakai sebagai sumber rujukan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia dan Malaysia, khususnya untuk melihat hilal sebagai penentuan awal bulan Ramadhan dan 1 Dzulhijjah tiap tahun. Kitab ini juga kerap diteliti para astronom modern.

Sepanjang hayatnya, Guru Manshur telah menulis 19 buku. Cakupannya bukan hanya ilmu falak, melainkan juga soal puasa, ilmu waris, dan tata bahasa Arab. Berikut daftar lengkapnya.

  • Khulashoh al-Jadawil
    Kaifiyah al-Amal Ijtima
    Mizan al-`Itidal
    Washilah Ath-Thulab
    Jadwal Dawair Al-Falakiyah
    Majmu` Arba` Rasail fi Mas`alah Hilal
    Rub`u al-Mujayyab
    Mukhtashar Ijtima` an-Nairain
    Tajkirotun Nafi`ah fi Shihah `Amal ash-Shaum wa al-Fithr
    Tudih al-Adillah fi Shihah ash-Shaum wa al-Fithr
    Jadwal Faraid
    Al-Lu`lu al-Mankhum fi Khulashoh Mabahits Sittah `Ulum
    `Irobul Jurumiyah an-Nafi` Lil Mubtadi
    Silsilah as-Sanad Fi ad-Din wa Ittisholuha Sayyid al-Musalin
    Tashrif al-Abwab
    Limatan Bina
    Jadwal Kiblah
    Jadwal aw Khut ash-Sholah Tathbiq Amal al-Ijitma` wa al-Khusuf wa al-Kusuf

Turut berjuang

Guru Manshur juga ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Sikap ini memang jamak diambil para ulama Jakarta sejak berabad-abad silam. Bahkan, menurut budayawan Ridwan Saidi, Syekh Quro sang perintis dakwah di Jakarta memperkenalkan bendera Merah Putih, yang pada akhirnya menjadi bendera kebangsaan Indonesia.

Satu riwayat menyebutkan kisah heroik Guru Manshur. Di awal abad ke-20, nasionalisme menyebar luas di tengah masyarakat pribumi. Guru Manshur suatu kali memasang bendera Merah Putih di atas menara Masjid Jembatan Lima. Meskipun digertak para tentara kolonial, ulama besar ini menolak menurunkan simbol kebangsaan itu.

Akhirnya, mereka menembaki masjid ini secara membabi-buta. Guru Manshur tetap bertahan bersama para pengikutnya. Ia lantas berseru, “Betawi, rempug!” (Orang-orang Betawi, bersatulah!). Demikianlah, di samping sebagai dai dan intelektual, Guru Manshur juga memiliki semangat juang seorang pahlawan.

 

 
Betawi, rempug! (Orang-orang Betawi, bersatulah!)
Guru Manshur
 

Nama Guru Manshur disejajarkan dengan lima guru utama lainnya asal Betawi, yakni Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Madjid Pekojan, Guru Mughni Kuningan, Guru Khalid Gondangdia, dan Guru Mahmud Romli. Secara keilmuan, mereka bermuara pada sang poros ulama Betawi, Syekh Junaid al-Batawi.

Upaya Strategis Bangkitkan Sains Islam

Melalui karyanya ini, Osman Bakar menunjukkan betapa sains dan agama tak terpisahkan.

SELENGKAPNYA

Ke Manakah Perginya Minat Baca?

Kehadiran media sosial menurunkan rentang perhatian manusia.

SELENGKAPNYA

Menyingkap Jalan Menuju Allah

Buku ini merekam nasihat-nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani ihwal makrifatullah.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya