Kisah
Syair yang Membangkitkan Jiwa
Sajak-sajak Ka'ab bin Malik memantik semangat juang Muslimin untuk melawan pasukan musyrik Makkah.
Bangsa Arab dikenal memiliki khazanah kesusastraan yang kaya. Meskipun tidak memiliki tradisi tulis yang kuat, seni deklamasi puisi dan apresiasi sastra berkembang cukup pesat. Kekuatan sastrawi juga kerap menjadi bahasa diplomasi bahkan, bisa memberi motivasi dan pemantik semangat di tengah-tengah perang.
Abdul Hamid as-Suhaibani dalam karyanya, Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat (2015) menyebutkan kekuatan syair dalam menjaga dan meningkatkan solidaritas. Misalnya, dalam peristiwa Perang Uhud, sebuah palagan besar yang pernah dijalani Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Pertempuran tersebut juga diikuti oleh seorang Mukmin yang pandai berpuisi. Dialah Ka'ab bin Malik.
Saat terjadi Perang Uhud, Ka'ab bin Malik tampil sebagai pahlawan Islam yang gagah. As-Suhaibani menyebut, Ka'ab mendapatkan 17 luka yang cukup berat. Jalan jihad penyair Madinah ini tidak hanya melalui kata-kata puitis, tetapi tindakan nyata di lapangan. Maka, ketika pasukan Muslimin terpukul mundur di tengah laga Perang Uhud, Ka'ab mengumandangkan syair yang membalas ejekan para ahli sajak dari kalangan kaum musyrik.
Di antara kami ada Rasulullah, kami mengikuti perintah beliau.
Bila beliau bersabda di antara kami, kami tidak menentangnya.
Ar-Ruh (Jibril AS) turun kepada beliau dari sisi Rabb-nya.
Turun dari langit yang tinggi dan naik ke sana.
Kami meminta saran beliau bila kami hendak berbuat dan kami menerima.
Bila beliau memerintahkan, kami mendengarkan dan menaati.
Rasulullah SAW bersabda mana kala musuh tampak di depan kami.
Tinggalkanlah ketakutan terhadap kematian dan berharaplah.
Jadilah kalian seperti orang yang menjual hidup untuk mendekat.
Kepada malaikat yang di sisinya dia hidup dan kembali.
Siapkanlah pedang-pedang kalian dan bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya segala perkara adalah milik Allah semata.
Usai mendeklamasikan sajak itu, Ka'ab berseru lantang, “Kami menyerang pemegang panji dan bila nyawa melayang, bersama berkibarnya panji, hal itu lebih terpuji. Mereka berkhianat, padahal sebelumnya mereka telah berjanji setia, dan mereka tidak saling membela. Allah SWT menolak kecuali keputusan-Nya. Dan Dia Mahaperkasa.”
Kata-kata Ka'ab segera membangkitkan semangat kaum Muslimin yang sebelumnya tak teratur akibat serangan balik musyrikin di bawah komando Khalid bin Walid. Lelaki Quraisy yang di kemudian hari memeluk Islam itu memanfaatkan kelengahan sekelompok pasukan Muslim. Mereka meninggalkan tugas yang diberikan Rasulullah SAW yakni agar tetap berada di pos patroli hingga perang benar-benar usai.
Seruan Ka'ab bin Malik merupakan pemantik untuk mendorong mundur kaum musyrik Makkah dan mengembalikan semangat juang pasukan Muslimin. Mereka yang tadinya kebingungan dan panik—apalagi dengan adanya isu bahwa Nabi SAW telah gugur—kembali bangkit. Dengan penuh daya upaya, mereka bertempur hingga titik darah penghabisan.

Muslimin awal
Ka'ab bin Malik, merupakan sosok penyair yang berasal dari Bani Sawad. Dalam kitab Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat (2015) karya Abdul Hamid as-Suhaibani disebutkan kisah masuk Islamnya Ka'ab. Sahabat Nabi SAW ini termasuk yang paling awal memeluk risalah agama tauhid. Pada saat itu, baru sekitar 40 orang Muslim di Madinah al-Munawwarah—dahulu bernama Yastrib. Nabi Muhammad SAW pun belum berhijrah ke kota tersebut dari Makkah.
Bersama kalangan Muslim perintis ini, Ka'ab bin Malik mendirikan shalat Jumat pertama di Madinah, tepatnya di Hazam an-Nabit dari bukit Bani Bayadhah. Saat peristiwa Baiat Aqabah Kedua, Ka'ab bin Malik berangkat ke Makkah bersama dengan 74 penduduk Yastrib. Sesampainya di sana, mereka pun bertemu dengan Rasulullah SAW dan mengucapkan janji setia kepada Rasul.
Sesudah hijrahnya Rasulullah, kelompok kafir Quraisy masih saja mengganggu keamanan. Puncaknya, Perang Badar pun terjadi dan Allah memberikan kemenangan atas kaum Muslimin. Rasa malu dan dendam dari Badar itulah yang mendorong musyrikin untuk menyulut Perang Uhud.
Ka'ab bin Malik tidak sempat mengikuti peperangan ini, sebagaimana dengan sejumlah sahabat Nabi SAW lainnya. Penyebabnya bukanlah kesengajaan, melainkan mereka tidak menyangka bakal pecahnya pertempuran. Awalnya, mereka mengira kaum Muslimin hanya akan mencegat kafilah dagang kaum kafir Quraisy.

Ka'ab berkata, "Aku tidak ikut dalam Perang Badar, dan Rasulullah tidak menyalahkan siapa pun yang tidak ikut. Sebab, pada dasarnya Rasulullah berangkat untuk mencegat kafilah dagang Quraisy. Namun, akhirnya Allah mempertemukan kaum Muslimin dengan musuh mereka."
Ka'ab hidup hingga zaman Muawiyah bin Abu Sufyan berkuasa. Artinya, ia menyaksikan masa fitnah, yakni ketika dua kubu sesama Muslimin berseteru. Sang sahabat Nabi SAW wafat pada tahun 50 Hijiriyah dalam usia 77 tahun.