
Kitab
Hikmah di Balik Larangan-Larangan
Dalam karyanya ini, At-Tirmidzi menjelaskan hikmah di balik larangan yang diberlakukan agama.
Pernahkah kita mencoba menguak dan mempelajari apa yang terkandung dalam anjuran-anjuran agama? Dari hal yang terkecil, semisal larangan kencing berdiri. Mengapa Nabi Muhammad SAW lebih sering menekankan agar tidak buang air kecil dalam posisi demikian?
At-Tirmidzi dalam karyanya, Al-Manhiyyat, menyebutkan pesan tersirat yang ada di balik larangan kencing dengan posisi berdiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah SAW menegaskan hal itu.
Menurut analisis al-Hakim, ada dua motif pelarangan tersebut. Yang pertama, posisi berdiri saat kencing rawan terkena percikan air seni.
Sedangkan, najis yang diakibatkan oleh kelalaian saat buang air kecil tersebut bisa berujung pada siksa di alam kubur. Riwayat lain yang dinukil oleh Thabrani dan dan al-Bazzar menjelaskan peringatan tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Pastikanlah kalian bersih dari (najis) air seni karena sesungguhnya sebagian besar azab kubur akibat (najis) air seni.” Karenanya, Nabi SAW di riwayat lainnya menganjurkan agar kencing sambil duduk.
Adapun alasan yang kedua ialah berkenaan dengan kesehatan tubuh. Yakni, posisi berdiri kurang mendukung bagi kelancaran membuang air seni. Demikian penjelasan dari at-Tirmidzi, yang juga menulis Khatm al-Awliya' dan 'Ilal asy-Syari'at.
Pada saat berdiri, vena terus aktif dan jantung tetap memompa darah dengan kencang. Semuanya bermuara di jantung. Berbeda dengan keadaan duduk. Dengan posisi ini, jantung akan perlahan mengalami rileksasi. Dengan duduk pula, saluran kencing akan mudah terbuka dan semakin melancarkan keluarnya air seni. Semua manfaat itu tidak didapatkan lewat posisi berdiri.
Dalam agama Islam, memang ada sebagian perintah ataupun larangan dalam yang bersifat ta'abbudi (transendental) dan ada pula yang dikategorikan sebagai ta'lili (bisa dirasionalisasikan). Baik yang bersumber dari Kalam Allah SWT ataupun hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Namun, tak semua pesan yang tersimpan di balik kedua hal tersebut mampu ditangkap oleh akal manusia.
Berangkat dari fakta ini, muncul sejumlah karya mencoba menguak hikmah dari sebuah perintah atau larangan. Salah satunya datang dari al-Hakim at-Tirmidzi (bukan Imam Tirmidzi yang pakar hadis). At-Tirmidzi pakar hadis bernama Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi (279 H).
Tokoh yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Basyar al-Hakim at-Tirmidzi itu berusaha menguraikan pesan yang terkandung di balik larangan ataupun anjuran-anjuran yang pernah disampaikan oleh Rasulullah.
Ia membatasi ulasannya hanya pada hadis-hadis Rasulullah dengan dejarat kesahihan yang beragam. Uraiannya itu diperkuat dengan argumentasi yang berasal dari Alquran, riwayat hadis lainnya, dan pendapat para ulama. Penjelasannya sangat sederhana.
Karenanya, pembahasan kitab yang salah satu naskah manuskripnya masih tersimpan di Dar al-Kutub, Kairo, Mesir, itu mudah dibaca dan tak terlalu sulit memahaminya. Namun, analisis dan pembacaan pesan yang tersimpan dalam hadis Rasulullah SAW oleh tokoh yang berasal dari Tirmidzi tergolong mendalam.
Hal ini tak terlepas dari latar belakang tasawuf dan ilmu olah spiritual yang sang penulis dalami. Kedalamannya itu juga tampak di beberapa karyanya. Sebut saja, Ilal al-Ubudiyyah, Syarh as-Shalat wa Maqashiduha, al-Hajju wa Asraruhu, dan tentunya mahakaryanya yang terkenal, yaitu Khatm al-Awliya.'
Dalam pembukaan kitabnya, tokoh yang hidup hingga 320 H tersebut menegaskan satu poin penting. Bahwasannya, semua larangan yang diberlakukan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya memiliki tujuan positif dan benar. Bila peringatan dan larangan itu diikuti maka yang bersangkutan akan tetap berada dalam kebenaran. Sebaliknya, bila dilanggar maka ia telah tergelincir dari hidayah-Nya.
Fakta bahwa hadis larangan memiliki motif dan tujuan ini tak terbantahkan. Hanya, barang kali tidak secara kasat mata oleh kebanyakan orang. Kesimpulannya itu sangat berasalan.
Hal ini terlihat jelas pada upayanya menyibak tabir di 170 hadis tentang etika hidup sehari-hari yang ia kutip dalam kitab al-Manhiyyat. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Tingkatan-tingkatan
Menurutnya, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya memiliki tingkatan yang berbeda. Dalam pandangan sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektulitas yang heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berbagai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab) dan karena ada unsur haram (nahy tahrim).
Yang dimaksud dengan nahy adab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri. Misalnya, larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.QS al-Maidah: 101
Adapun pengertian nahy tahrim ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak. Sebagaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks.
Misalnya, larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi. "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul" (QS al-Maidah [5]: 3).
Nahy tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab, mereka yang melakukannya tidak disiksa.
Dari total 170 hadis yang ia uraikan, tokoh yang memutuskan terjun di dunia tasawuf saat berusia 27 tahun itu, menitikberatkan pada hadis-hadis adab. Keseluruhan menyangkut etika dan norma-norma hidup sehari-hari.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ketegasan Umar pada Gubernur yang Sok Mewah
Amirul mukminin, Umar bin Khattab, menyuruh gubernur ini jadi gembala kambing.
SELENGKAPNYAMasjid Syekh Zaid Abu Dhabi: Ikon Negeri UEA
Pembangunan masjid raya ini diinisiasi Syekh Zaid bin Sultan al-Nahyan.
SELENGKAPNYAGeliat Keilmuan Islam Pasca-Baghdad
Baghdad mengalami penghancuran total oleh serangan bangsa Mongol pada abad ke-13.
SELENGKAPNYA