Kota bundar Baghdad pada abad ke-10, puncak Kekhalifahan Abbasiyah. | Ilustrasi: Jean Soutif/Science Photo Library

Dunia Islam

Geliat Keilmuan Islam Pasca-Baghdad

Baghdad mengalami penghancuran total oleh serangan bangsa Mongol pada abad ke-13.

Pusat Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad, mengalami serangan dahsyat pada 656 Hijriyah atau 1258 Masehi. Selama kira-kira dua pekan, bala tentara Mongol yang dipimpin Hulagu Khan melakukan pengepungan. Hingga akhirnya, gerombolan ini merangsek masuk ke dalam benteng kota tersebut dan menghancurkan seluruh isinya.

Meski Baghdad sebagai kota peradaban sudah diluluhlantakkan, tradisi keilmuan setempat—dan umat Islam pada umumnya saat itu—tidak lantas mati. Muslimin tetap berjuang mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka didorong semangat mengamalkan perintah Illahi, sebagaimana diisyaratkan dalam wahyu yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW.

 

 
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
QS al-Alaq ayat 1.
 

Perintah membaca itu, bila dikaitkan dengan ayat Alquran lainnya, seperti al-Mujadilah ayat 11, maka berarti anjuran untuk menuntut ilmu. Dengan begitu, derajat umat diangkat oleh Allah walaupun sempat mengalami keterpurukan.

Sejak awal, umat Islam dikenal giat mengembangkan pengetahuan. Muslim memandang beragam ilmu sebagai bukti keberadaan Allah. Maka belajar adalah cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu berada di dekat dan diridhai-Nya.

Karena itulah, Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam menyimpulkan, sains dalam Islam selalu berputar mengelilingi Ka'bah. Maka dalam rentang masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW, semangat keilmuan terus hidup, termasuk yang dikibarkan Dinasti Abbasiyah.

 

 
Sains dalam Islam selalu berputar mengelilingi Ka'bah.
Seyyed Hossein Nasr
 

Para khalifah Abbasiyah menjadikan Baghdad kota peradaban, sumber aktivitas keilmuan. Khalifah al-Makmun (786-833) memperluas Baitul Hikmah (Wisma Kearifan) yang dirintis ayahnya, Harun ar-Rasyid (763-809). Ia juga mengirim utusan ke Bizantium untuk membawa berbagai buku dari sana ke Baghdad.

Sejarah mencatat, puluhan unta berbaris panjang. Masing-masing membawa berbagai buku dari negeri jauh. Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq al-Kindi (801-873) membaca berbagai buku tersebut yang kemudian dirangkumnya dalam teori filsafat pertama (al-falsafah al-ula).

Dengan membaca buku-buku dari negeri Bizantium, para ilmuwan Islam mulai mengenal pemikiran filsuf-filsuf Yunani Kuno. Pertentangan pemikiran Aristoteles (384-322 SM) dan Plato (427-347 SM) didamaikan intelektual Muslim, Abu Nashar al-Farabi (870-950 M).

Karya al-Farabi berjudul Al-Jam'u Bayna Ra'yay al-Hakimayn menggambarkan pemikiran dua filsuf Yunani tersebut saling bercampur, berkolaborasi, dan kemudian tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (Mohsin Mahdi: 1962).

Baik Aristoteles maupun Plato, bagi al- Farabi sama-sama mengarahkan falsafah untuk mencapai tujuan kehidupan, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Hal itu akan tercapai jika manusia mendapatkan berbagai kehormatan.

Salah satu kehormatan itu berkaitan dengan menggapai ilmu pengetahuan yang menunjukkan keberadaan dan mengarahkan mereka kepada kepastian (Al-Jam'u Bayna Ra'yay al-Hakimayn). Di tangan al-Farabi, sejumlah ilmu pengetahuan dikembangkannya, seperti politik dan seni.

Dia menulis buku tentang kota utama (Ara Ahlul Madinah al-Fadhilah) yang berisi konsep-konsep kepemimpinan dalam Islam. Di antaranya adalah bahwa seorang pemimpin mesti dekat dengan Allah sehingga selalu mendapatkan Nur Illahi. Tuhan akan selalu membimbingnya sehingga kepemimpinannya tak lepas dari petunjuk Yang Mahakuasa.

 

 
Pemimpin mesti dekat dengan Allah sehingga selalu mendapatkan Nur Illahi.
   

Intelektual Muslim berikutnya Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037) meneruskan pembahasan para pendahulunya. Ia lalu mengembangkan teori emanasi (al-faydh), teori kenabian, serta berbagai konsep dasar tentang alam dan manusia.

Selain itu, Ibnu Sina dikenal sebagai pengembang ilmu kedokteran. Karyanya, Al-Qanun fit Thibb, menjadi rujukan dunia kedokteran yang menyinari Eropa selama berabad-abad. Salah satu ungkapannya dalam kitab tersebut adalah tentang menyembuhkan penyakit. Tidak hanya mengandalkan obat-obatan, tetapi juga kekuatan mental dalam diri.

Proses keilmuan yang para sarjana Muslim lakukan bukan menjiplak, tetapi memilah. Yang sesuai dengan ajaran Islam diambil dan dikembangkan. Adapun yang tidak sesuai, seperti mitologi dewa-dewi, ditinggalkan. Syed Naquib al-Attas menyebut proses ini dengan adapsi konseptual.

 

 
Proses keilmuan yang para sarjana Muslim lakukan bukan menjiplak, tetapi memilah.
   

Pemilahan itu terus berproses menuju yang ideal. Sementara itu, kehidupan Muslim baik sebelum maupun setelah hancurnya Baghdad begitu akrab dengan filsafat. Mereka berbicara tentang ketuhanan dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan di berbagai forum diskusi.

Namun, budaya tersebut ternyata tak sepenuhnya menguatkan keimanan. Di masa sebelum penyerbuan Mongol, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (1058-1111) pernah berhadapan dengan mereka yang ahli filsafat. Diajaknya mereka berdebat. Al-Ghazali terus meladeni mereka hingga akhir diskusi.

photo
ILUSTRASI Imam al-Ghazali mengonsep dan melakukan praksis Reformasi atau Islah dengan tujuan menumbuhkan generasi Muslim yang unggul. - (DOK WIKIPEDIA)

Ketika sampai pada ujung pengetahuan, mereka mengatakan bahwa hanya orang pada maqam tertentu, seperti seorang mursyid (guru besar), yang mampu menjelaskannya. Namun, ketika ditanya siapa dia, mereka tak bisa menunjukkannya.

Dalam Al-Munqizh Minad Dhalal (Kebangkitan dari Kesesatan) al-Ghazali menjelaskan bahwa falsafah semacam itu tak akan mampu membawa manusia kepada kedekatan dengan Sang Pencipta. Tak hanya itu, Hujjatul Islam juga memberikan catatan kritis tentang filsafat dalam bukunya, Tahafutul Falasifah (Inkonsistensi Para Filsuf).

Ada puluhan catatannya yang menyatakan hal-hal mengganggu keimanan dalam berfilsafat. Di antaranya berkaitan dengan kesimpulan bahwa alam adalah abadi. Hal ini jauh dari kebenaran karena yang abadi hanya Allah.

Meskipun filsafat dikritik tajam, tradisi keilmuan dalam Islam tetap berkembang. Tawaran al-Ghazali berupa tasawuf mendapat sambutan hangat. Tradisi keilmuan satu ini telah melahirkan sejumlah figur yang representatif. Bukan semata-mata tasawuf praktis, tapi juga falsafi, seperti yang dikembangkan Muhyiddin bin Arabi (1165-1240) di Andalusia.

 
Tawaran al-Ghazali berupa tasawuf mendapat sambutan hangat.
   

Tasawuf semacam ini menggabungkan rasa dan logika dan menghasilkan gagasan yang inspiratif bagi perkembangan spiritualitas dalam Islam. Sufi satu ini dikenal dengan karya-karyanya yang kaya makna dan dikaji serius oleh ilmuan berbagai negara. Tasawuf juga menjadi inspirasi kelahiran Dinasti Safawiyah yang bermula di Azerbaijan.

Maka serbuan Hulagu Khan pada abad ke-13 mendisrupsi perkembangan ilmu pengetahuan yang dimotori para sarjana Muslim. Puluhan ribu pasukannya merangsek memasuki kota seribu satu malam dan menghancurkannya berkeping-keping.

Tidak hanya lakukan pembunuhan keji, mereka juga melempar buku-buku yang ada di Baitul Hikmah ke Sungai Eufrat. Air sungai itu berubah. Tinta di buku-buku berharga itu luntur mengitamkan air sungai tadi. Meski Baghdad sebagai kota peradaban sudah diluluhlantakkan, tradisi keilmuan Islam—sekali lagi—tidak lantas mati.

 
Meski Baghdad sebagai kota peradaban sudah diluluhlantakkan, tradisi keilmuan Islam tidak lantas mati.
   

Yang terjadi berikutnya adalah tumbuhnya Andalusia sebagai tanah subur intelektualisme Islam. Di kawasan Semenanjung Iberia, Eropa, ini lahirlah banyak ilmuwan Muslim terkemuka. Beberapa contohnya adalah Muhyiddin bin Arabi dan Abu Ishaq asy-Syathibi (wafat 1388).

Mengikuti Andalusia, Damaskus juga menjadi tempat perkembangan intelektual Islam. Di sana ada Ibnu Abi Usaybia (1203-69) yang dikenal sebagai ahli fisika, kedokteran, dan sejarah. Karyanya yang terkenal berjudul Uyunul Anba fi Tabaqatil Atibba (sumber informasi klasifikasi kedokteran). Edisi perdananya terbit pada 1245. Dalam buku tersebut terdapat sekitar 400 ahli medis ketika itu.

photo
ILUSTRASI Para cerdik cendekia Andalusia di bawah pemerintahan Dinasti Murabithun. - (DOK HUMBLEI)

Ada juga Ibnu Khallikan (1211-1282) yang ahli di bidang fikih. Dia menjadi rujukan Muslim baik di Damaskus maupun Mesir. Selain dia, ada juga Sulthanul Ulama Izzuddin Abdissalam (1181-1262) yang dikenal dengan ketegasannya dalam bersikap dan mengambil keputusan.

Petuah-petuahnya telah menginspirasi jihad Muslim di zamannya untuk mempertahankan kedaulatan, sehingga mampu membendung dan mengakhiri kekejaman pasukan Mongol.

Liga Arab Kembali Rangkul Bashar al-Assad

Presiden Iran Ebrahim Raisi sebut tak musuhi Saudi.

SELENGKAPNYA

Canda Rasulullah Hingga Humor Gus Dur

Rasulullah merupakan sosok yang murah senyum, ceria, dan selalu berkata santun.

SELENGKAPNYA

Kampung Qur'an Learning Center, Kenalkan Pesantren ke Dunia Internasional

Program ini mengajarkan metode belajar khas pesantren kepada masyarakat internasional.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya