Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Mengenang Jenderal Hoegeng (Bagian I)

Rahim Ibu Pertiwi masih sulit dibujuk untuk sering melahirkan tipe polisi seperti Hoegeng.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

Bagi mereka yang sudah pernah membaca kisah inspiratif Jenderal Hoegeng dari berbagai sumber, Resonansi ini hanyalah sekadar penyegaran ingatan tentang tokoh yang fenomenal itu. Tetapi, di saat kepolisian sedang mendapat sorotan tajam dari masyarakat, Resonansi ini harus saya tulis.

Memang rahim Ibu Pertiwi masih sulit dibujuk untuk sering melahirkan tipe polisi seperti Hoegeng, tetapi potensi di kalangan kepolisian masih cukup tersedia untuk mengikuti jejak sang legendaris ini. Syaratnya agar rekrutmen kepolisian harus bebas dari segala bentuk permainan patgulipat yang sudah menjamur sejak lama.

Pergaulan saya dengan kalangan terbatas kepolisian memberikan harapan bahwa kita tidak perlu terlalu pesimistis tentang kemungkinan proses reformasi menyeluruh di institusi yang punya semboyan sebagai pelayan dan pengayom masyarakat itu.

Masih banyak bibit baik dan unggul di dalamnya, sekalipun kultur koruptif yang lagi berkembang sejak lama dalam kepolisian seperti sudah mengeras seperti batu. Namun, kita harus percaya kepada hukum perubahan ke arah perbaikan dan pencerahan.

 
Rahim Ibu Pertiwi masih sulit dibujuk untuk sering melahirkan tipe polisi seperti Hoegeng.
 
 

Akademi Kepolisian (Akpol) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) merupakan laboratorium paling strategis untuk mencari bibit pimpinan kepolisian penaka Hoegeng, khususnya dari sisi moral, keberanian, dan integritas pribadi. Mereka ini setelah menjabat tidaklah perlu miskin seperti Hoegeng, tetapi harta kekayaan yang dimiliki haruslah dari sumber yang halal.

Hoegeng memang seorang asketis paripurna yang sukar ditemukan di muka bumi. Jika di panggung kepemimpinan nasional, kita mengenal Bung Hatta yang juga asketis, di kalangan kepolisian ada Hoegeng yang pasti mengilhami putra-putri bangsa yang datang kemudian. Kepada mereka inilah pesan tulisan ini dialamatkan, pada saat sebagian yang tua sudah bergelimang dosa tanpa merasa bersalah.

Lahir di Pekalongan dari keluarga priayi, seorang amtenaar (pegawai) di era penjajahan, Hoegeng sejak kecil tidak mengasingkan dirinya dari pergaulan dengan orang kebanyakan. Pendidikannya yang berjalan linear: dari HIS, MULO, AMS, dan akhirnya pada Recht Hoge School di Batavia tidak membuat Hoegeng bersifat kebelanda-belandaan.

Sikapnya serupa dengan kaum nasionalis lain yang antipenjajahan. Hoegeng merupakan patriot dan nasionalis sejati yang nanti terlihat dari sikap tegasnya sebagai pejabat yang haram berkompromi dengan segala bentuk kejahatan.

 
Hoegeng sejak kecil tidak mengasingkan dirinya dari pergaulan dengan orang kebanyakan.
 
 

Puncak kariernya dalam kepolisian yakni sebagai kapolri kelima (1968-1971) di masa awal pemerintahan presiden Soeharto. Di era presiden Soekarno sebelumnya, Hoegeng pernah pula menjabat sebagai kepala jawatan imigrasi, menteri iuran negara, dan menteri sekterataris negara.

Pada 1950-an pernah bertugas di Surabaya dan Medan. Pada 1956 kompol Hoegeng diangkat jadi kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumatra Utara. Karena belum dapat rumah dinas, Hoegeng buat sementara tinggal di Hotel De Boer di Kota Medan.

Apa yang terjadi saat sampai di Pelabuhan Belawan? Hoegeng langsung berhadapan dengan kelompok manusia hitam: pengusaha yang merangkap bandar judi telah menyambutnya dengan hangat di pelabuhan. Langsung ditawari rumah, mobil, dan segala perlengkapannya.

Hoegeng menolak semua tawaran itu. Tetapi, manusia hitam ini tidak putus asa. Sekitar dua bulan kemudian, saat rumah dinas itu siap untuk ditempati, ternyata telah penuh dengan barang-barang mewah. Hoegeng kaget dan marah. Akibatnya, semua barang mewah itu dikeluarkan dan diletakkan begitu saja di halaman.

 
Hoegeng menolak semua tawaran itu. Tetapi, manusia hitam ini tidak putus asa.
 
 

Hoegeng amat prihatin mengapa sebagian jaksa, polisi, dan tentara mudah disuap dan kemudian menjadi kacung bandar judi. Tuan dan puan perlu ingat bahwa drama itu terjadi pada 1950-an dan buntutnya masih berlangsung sampai hari ini. “Kacung bandar judi” merupakan ungkapan Hoegeng untuk tipe aparat yang suka menghamba dan tunamartabat ini.

Selama para penghamba berseragam ini masih bergentayangan maka hampir mustahil bandar judi, penyelundup, pencuri ikan, pembalak hutan, dan yang sejenis itu akan hilang dari negeri cantik yang gampang dimainkan oleh penjahat ini. Bagaimana hukum akan tegak, bagaimana keadilan akan terwujud, manakala mereka yang diberi mandat untuk itu punya mental yang rapuh, dan matanya menjadi hijau dengan sogokan yang jumlahnya bisa mencapai ratusan miliar.

Hoegeng merupakan sebuah oase di tengah-tengah dunia hitam yang telah merusak sendi-sendi moral bangsa dan negara ini selama sekian puluh tahun. Indonesia merdeka telah tersandera oleh perbuatan gelap para penjahat ini, sebagian bahkan tidak jarang menyandang titel haji. Hoegeng telah berjuang melawan itu semua, tetapi tersandung oleh gergaji kekuasaan puncak yang tunamoral, sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Resonansi ini. 

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 17 Maret 2015. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Prinsip Keluarga Bahagia

Nabi SAW adalah teladan dalam kasih sayang pada keluarga.

SELENGKAPNYA

Bantahan Sang Pendekar Hadis untuk Tudingan Orientalis

Melalui disertasinya di Universitas Cambridge, Syekh Mustafa Azami mematahkan argumentasi kaum orientalis.

SELENGKAPNYA