
Kitab
Tugas Pemimpin Menurut al-Mawardi
Al-Mawardi merumuskan 10 tugas seorang pemimpin Muslim dalam karyanya, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah.
Al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (wafat 450 H/sekitar 1072 M). Penulis kitab tersebut adalah seorang alim kelahiran Basrah. Nama lengkapnya, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi asy-Syafii.
Sejarah mencatat perannya antara lain sebagai duta diplomasi khalifah Abbasiyah. Ia dekat dengan Khalifah Qaim Biamrillah. Salah satu misi yang pernah dijalankannya adalah mendamaikan antara kubu-kubu politik yang berseberangan.
Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (harfiah: Hukum-hukum Ketatanegaraan) menjadi karya monumentalnya. Imam Mawardi berhasil menyuguhkan sebuah kitab yang layak menjadi rujukan umat. Hingga kini pun, buah penanya itu terus dikaji para peneliti dan pemerhati hukum Islam, khususnya terkait muamalah kepemimpinan.
Salah satu pokok yang dibahasnya dalam kitab tersebut adalah tugas-tugas seorang pemimpin. Secara umum, Imam Mawardi menggariskan sebanyak 10 misi utama amir Muslimin.
Pertama, memelihara agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang kokoh dan segala sesuatu yang menjadi kesepakatan ulama salaf. Jika muncul ahli bidah atau ahli syubhat yang merusak citra agama, seorang imam harus mampu menegakkan hujah (argumentasi) di hadapannya, menerangkan kebenaran kepadanya, dan memberinya sanksi, sesuai dengan hak dan hukum yang berlaku. Dengan begitu agama terbentengi dari upaya penyimpangan dan umat terhindar dari penyesatan.
Kedua, memberlakukan hukum di antara dua pihak yang saling berselisih dan menghentikan permusuhan di antara dua pihak yang saling bertikai. Tujuannya adalah agar keadilan dapat ditegakkan secara merata sehingga orang zalim tidak berani bertindak sewenang-wenang dan orang teraniaya tidak semakin dibuat menderita.
Ketiga, melindungi negara dan tempat-tempat umum dari kejahatan agar rakyat dapat mencari penghidupan dan bepergian dengan aman dari gangguan yang mengancam jiwa dan harta.
Keempat, menegakkan hukum dengan tegas agar segala yang dilarang oleh Allah tidak mudah dilanggar dan memelihara hak-hak hamba-Nya agar tidak mudah diselewengkan dan diremehkan.

Kelima, melindungi wilayah perbatasan dengan benteng yang kokoh dan kekuatan yang tangguh sehingga musuh tidak mampu menemukan jalan masuk sedikit pun untuk menodai kehormatan atau menumpahkan darah orang Islam dan mu’ahid (orang kafir yang darah dan kehormatannya dilindungi oleh Islam).
Keenam, memerangi para penentang Islam yang sebelumnya telah didakwahi hingga mereka masuk Islam atau menjadi ahli dzimmah (orang kafir yang berada dalam perlindungan kaum Muslimin). Tujuannya adalah agar hak Allah dapat ditegakkan dengan memenangkan agama Islam di atas agama-agama lain.
Ketujuh, mengambil harta fai (harta yang diperoleh pasukan Islam dengan jalan damai, tanpa peperangan) dan memungut zakat sesuai yang diwajibkan syariat, baik secara nash maupun ijtihad, tanpa disertai rasa takut dan terpaksa.
Kedelapan, menetapkan gaji dan anggaran wajib lainnya yang diambil dari bait al-maal (kas negara) tanpa berlebihan ataupun terlalu hemat, juga mengalokasikannya tepat waktu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat).
Mengangkat orang-orang yang jujur dan profesional di bidangnya, termasuk orang yang ahli dalam mengurusi keuangan.
Kesembilan, mengangkat orang-orang yang jujur dan profesional di bidangnya, termasuk orang yang ahli dalam mengurusi keuangan. Dengan begitu, di tangan mereka tugas-tugas dapat terselesaikan dengan baik dan urusan keuangan dapat terbukukan dengan rapi.
Terakhir, seorang pemimpin mesti berusaha untuk turun langsung ke lapangan dalam menangani persoalan dan mengamati keadaan umat sehingga tampak ia sendiri yang memimpin rakyat dan melindungi agama. Hal itu tidak boleh diwakilkan kepada orang lain dengan alasan sibuk beristirahat atau beribadah. Jika hal itu (mangkir) terjadi, sungguh ia telah berkhianat kepada rakyat. (terjemahan Ahkam Sulthaniyah, al-Azhar Press, hlm. 32-33).
Kekhasan al-Mawardi
Dengan membaca Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, para peneliti modern sepakat, al-Mawardi adalah pemikir politik pertama yang menjelaskan secara detail mekanisme pemilihan kepala negara dan pemecatannya, baik dengan sendiri maupun hal-hal eksternal ('azl wa in'izal). Bahkan, para pemikir politik, baik sebelum maupun sesudah al-Mawardi, tidak sampai seperinci demikian.
Ia (al-Mawardi) cenderung moderat dalam memahami makna pemimpin.
Kekhasan lainnya dari al-Mawardi, ia cenderung moderat dalam memahami makna pemimpin. Sebagai contoh, Ibnu Taimiyah dan Imam al-Ghazali berpendapat, kekuasaan pemimpin (raja atau khalifah) adalah mandat dari Allah SWT. Dengan demikian, ia dipandang sebagai “wakil Tuhan di muka bumi.”
Adapun al-Mawardi menyatakan, kekuasaan kepala negara tidak dengan sendirinya berasal dari Tuhan meskipun tetap berada dalam batas-batas kedaulatan legal dan politik Tuhan. Perspektifnya dapat dikatakan merintis pemahaman ilmu politik modern.
Bagi al-Mawardi, kekuasaan negara berasal dari beberapa hal. Di antaranya, pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh pemilih, baik dengan sistem perwakilan melalui lembaga ahl halli wa al-'aqdi (semacam DPR/MPR) maupun ahl al-syura atau tim formatur kecil.
Dengan demikian, yang terjadi adalah sebuah sistem kontrak sosial. Sistem ini melahirkan sejumlah konsekuensi kewajiban dan hak kepala negara di satu pihak serta kewajiban dan hak rakyat di sisi lain.
Benarkah Ayah dan Ibu Nabi SAW Kafir?
Ustaz Abdul Somad (UAS) menjelaskan dalil yang membantah tudingan bahwa orang tua Nabi SAW tergolong kafir.
SELENGKAPNYAKhaulah binti Hakim, Perantara Dua Pernikahan Nabi
Khaulah binti Hakim meminang 'Aisyah dan Saudah untuk keduanya dinikahi Nabi SAW.
SELENGKAPNYABenarkah Khutbah Jumat Wajib dalam Bahasa Arab?
Para khatib Jumat kerap menyampaikan rukun-rukun khutbah Jumat dengan bahasa Arab
SELENGKAPNYA