
Teraju
Perang Sabil Atas Nama Ratu Adil
Ada hal lain yang menjadi energi atau faktor penting bagi Diponegoro memulai pemberontakan.
Oleh MUHAMMAD SUBARKAH
Dalam semedinya di Gua Secang, Diponegoro bermimpi ditemui serombongan orang berwajah seperti bulan purnama. Mereka memanggilnya dengan sebutan Sri Paduka Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayidin Panatagama Kalifat Rasulullah untuk tanah Jawa.
Wilayah keraton yang berada di pesisir selatan Jawa pada saat menjelang merebaknya Perang Diponegoro adalah wilayah yang sangat menderita. Kelaparan merebak. Bencana alam, seperti meletusnya Gunung Merapi, melaknat. Wabah kolera dan malaria menggila. Kejahatan merajalela dan pengangguran di mana-mana.
Selain itu, pajak tanah melambung, gagal panen terjadi, pedagang dicekik dengan cukai yang tinggi, dan lahan semakin dikuasai perkebunan orang Eropa.
Sebagai bagian dari wilayah kecil dunia, Jawa saat itu juga menjadi bagian yang terimbas dari krisis dunia yang dimulai jauh di Eropa, yakni adanya Revolusi Prancis. Belanda diserbu pasukan Napoleon (1795), Hindia Belanda pun terlepas dan kemudian dipimpin salah satu perwira tentaranya, Daendels, yang kemudian dikuasai letnan gubernur jenderal asal Inggris, Raffles.
“Jawa saat itu sudah seperti padang rumput yang kering dan siap terbakar setiap saat,” kata Pater Carey.
Dia kemudian menceritakan tak hanya berasal dari luar, penderitaan rakyat di wilayah itu semakin tak tertanggungkan lagi karena para pemimpinnya (bangsawan keraton) saling bertengkar. Laporan dari pejabat Belanda di Jawa pada 1820 menunjukkan sebuah keadaan yang semakin hari semakin bertambah tegang. Mereka pun sudah menyimpulkan suatu pemberontakan rakyat besar-besaran akan segera bergolak.
Jawa saat itu juga menjadi bagian yang terimbas dari krisis dunia yang dimulai jauh di Eropa.
Saat itu, perlawanan sporadis antara 1817-1822 juga sudah muncul. Rakyat mulai merusak gerbang cukai yang saat itu dikelola orang Cina. Di Yogyakarta banyak orang yang merasa terhina akibat konflik politik kekuasaan keraton.
Beberapa pemimpin rakyat yang saat itu sudah melakukan perlawanan tercatat di antaranya Raden Mas Umar Mahdi, Kiai Imam Sampurno, Sunan Waliyullah, Bendoro Raden Mas Sinduratmojo, dan Raden Ayu Guru.
Tapi, pengaruh perlawanan mereka tak bisa meluas seperti ketika Pangeran Diponegoro terjun langsung memimpin pemberontakan. Namun, meski ada perbedaan cakupan pengaruh, ada satu hal yang bisa menyamakannya, yakni semua tokoh itu mengaku sebagai “imam mahdi” atau “ratu adil” yang hendak membebaskan penderitaan dan rasa terhina yang saat itu diderita rakyat.
***
Pada sisi lain, akibat memuncaknya penderitaan rakyat itu maka di kalangan rakyat saat itu pun sudah mulai “berkeliaran” ramalan akan munculnya sosok ratu adil tersebut. Salah satunya adalah melalui ramalan Imam Sampurno, seorang kiai yang tinggal di suatu bekas candi brahma yang dijadikan masjid di hutan Lodoyo, selatan Kediri, Februari 1819.
Dalam ramalan itu, Imam Sampurno di antaranya mengatakan, waktu dekat alam tahun Jawa Alip mendatang (21 Oktober–8 Oktober 1820) akan timbul wabah besar yang berasal dari barat. Ini kemudian disusul dengan munculnya sosok ratu adil. Dalam ramalan itu Imam Sampurno juga meminta agar rakyat percaya kepada Kitab Musarar (kitab yang berisi ramalan Joyoboyo).
Saat itu pun sudah mulai “berkeliaran” ramalan akan munculnya sosok ratu adil.
Pengaruh ramalan ini sangat luas. Tak hanya beredar di kalangan rakyat jelata, ramalan itu sampai masuk ke dalam bilik-bilik kediaman bangsawan di keraton.
Dari laporan Belanda yang ditulis setahun selepas Perang Jawa pecah, di situ diketahui luasnya sebaran ramalan Prabu Joyoboyo yang salah satunya bersumber pada Kiai Imam Sampurno itu.
Anak De Kock yang menjadi Residen Yogyakarta (1848-1851) melaporkan: "Di keraton-keraton beredar suatu ramalan ... dari seorang raja bernama Joyoboyo ... suatu keraton Jawa tidak akan bertahan lebih dari 100 tahun. Raja-raja, para pengikut mereka, kaum cendekia, dan pemuka agama semua menaruh hormat dan kepercayaan yang mendalam terhadap ramalan itu dan mereka yakin bahwa masa hidup Keraton Yogyakarta akan berakhir."
Mereka semakin yakin dengan semua itu karena kata mereka, ramalan itu tidak pernah gagal. Di kalangan rakyat, akibat ramalan ini pun langsung terasa.
Hanya tiga tahun setelah ramalan itu, seorang penduduk Kasultanan Yogyakarta di desa Karangnongko, Sukowati, yang menampilkan diri sebagai Sunan Waliyullah, muncul di Madiun.
Imam Sampurno mengajarkan Alquran serta menjanjikan kepada pengikutnya kekebalan akan penyakit kolera yang saat itu menjadi wabah yang hebat. Akibat tindakannya ini, Sunan Waliyullah ditangkap Belanda pada Februari 1822.
Selain menyatakan diri sebagai pengikut Imam Sampurno, “si wali ini” juga mengajarkan Alquran serta menjanjikan kepada pengikutnya kekebalan akan penyakit kolera yang saat itu menjadi wabah yang hebat. Akibat tindakannya ini, Sunan Waliyullah ditangkap Belanda pada Februari 1822.
Namun, meski bisa saja kini ditanggapi skeptis, ramalan Imam Sampurno ternyata kemudian terbukti. Wabah kolera yang berasal dari barat, yakni India dan kemudian menyebar ke seluruh Asia, pada April-Agustus 1821, benar-benar menghantam Jawa.
Penjabat Residen Surakarta, Nahuys, mengenang wabah yang paling ganas tiada ampun, banyak sekali orang yang langsung mati hanya setelah beberapa jam terkena.
Ramalan Imam Sampurno ternyata kemudian terbukti.
Di Semarang pada pekan terakhir April 1821, sebanyak 1.225 orang mati. Di Batavia, dilaporkan saat itu dalam sehari ada 156 orang mati karena kolera.
Di Surabaya, Madura, dan ujung timur Jawa, 7 persen penduduknya (sekitar 110 ribu orang) mati karena wabah ini. Wabah kolera juga merebak ke seluruh pantai utara Jawa.
Nah, dengan latar belakang situasi rakyat yang kelam itu dan juga telah didahului dengan serangkaian pemberontakan yang pecah di kawasan Jawa tengah selatan. Maka, pada 1825 tampillah Diponegoro memimpin pemberontakan. Ramalan akan datangnya ratu adil kemudian mendapat sosoknya.
***
Memang, selain menyerap energi dari penderitaan rakyat, ada hal lain yang menjadi energi atau faktor penting bagi Diponegoro untuk memulai pemberontakan. Hal ini adalah adanya kepercayaan yang mendalam pada dirinya setelah mendapat bisikan gaib atau “wangsit” bila dirinya telah ditunjuk Tuhan sebagai orang yang madeg (menjadi) Ratu Adil.
Keyakinan Diponegoro untuk memulai perang sebagai seorang Ratu Adil itu dimulai dari datangnya mimpi kepada ibu tirinya, Ratu Ageng, yang sama sebanyak tiga kali. Isi mimpi itu menyuruh agar dia mengawinkan anaknya, Ratu Kencono, dengan seorang wali wudhar yang bermukim di sebelah barat laut keraton. Bila tidak dilakukan maka seluruh Jawa akan dihancurkan dan nyawa dia akan dicabut.
Mendapat mimpi seperti itu, Ratu Ageng berusaha menuruti mimpinya. Ia kemudian mengutus keponakannya, Mangkubumi, menemui Diponegoro yang saat itu sudah menjadi tokoh dan tinggal di sebelah barat laut rumah Ratu Ageng, yakni di Tegalrejo. Namun, keinginan itu ditolak mentah-mentah Diponegoro.
Keyakinan Diponegoro untuk memulai perang sebagai seorang Ratu Adil itu dimulai dari datangnya mimpi kepada ibu tirinya, Ratu Ageng, yang sama sebanyak tiga kali.
Celakanya, setelah menolak permintaan itu, ternyata hati Diponegoro malah dirundung gelisah. Apalagi, saat itu dia diberi tahu secara terperinci mengenai isi mimpi itu serta adanya sebutan wali wudhar kepadanya. Utusan Ratu Ageng kepadanya menyebut wali wudhar sebagai sosok rasul Islam yang telah gagal menunaikan tugasnya sebagai wali.
Dalam Babad Diponegoro, situasi itu digambarkan dengan munculnya rasa gelisah dan malu Diponegoro di hadapan Allah. Situasi itu pula yang kemudian membuatnya pergi sementara dari rumahnya di Tegalrejo untuk menyendiri di Gua Selarong. Selama "iktikaf" (semadi) di gua itu, perkataan Ratu Ageng dan Mangkubumi tentang wali wudhar terus terngiang.
Tapi, kegelisahan itu akhirnya mendapat jawaban dari seorang sahabatnya yang pernah menjabat sebagai penghulu keraton, Kiai Rahmanudin. Dia mengartikan istilah wali wudhar yang berkebalikan dengan pernyataan Mangkubumi.
Menurut sang kiai, seorang wali wudhar bukannya wali seperti pengertian yang lazim, yaitu sahabat Allah atau orang suci, melainkan orang yang dianugerahi kekuasaan untuk melaksanakan keadilan duniawi dan juga menjalankan tugas-tugas rohani.
Kepada Diponegoro, Rahmanudin menjelaskan bahwa di antara 124 ribu nabi, hanya ada enam nabi yang layak disebut wali wudhar, yaitu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Pada keenam nabi itu, Rahmanudin menambahkan ada dua sosok wali wudhar lainnya yang berasal dari Jawa, yakni Sunan Giri dan Sultan Agung.
Status kedua orang itu didapat karena mereka juga dikasihi Allah dan juga mengemban jabatan layaknya para wali tersebut. Tak cukup dengan itu, kemudian si penghulu itu juga menyiratkan bahwa Diponegoro mungkin juga merupakan wali wudhar kesembilan.
Kegelisahan itu akhirnya mendapat jawaban dari seorang sahabatnya.
Mendengar pernyataan sahabatnya, kegelisahan Diponegoro mendadak sirna. Keyakinannya pulih kembali. Dan, setahun kemudian, antara 18 April-18 Mei 1825, “wangsit” bahwa dirinya adalah wali wudhar datang kembali.
Kali ini dia dapatkan ketika tengah duduk bersemadi di bawah pohon beringin yang ada di Gua Secang pada waktu bulan puasa.
Soal wangsit tersebut diceritakan Diponegoro dalam biografinya, Babad Diponegoro, dengan bentuk tembang “Dhandhanggula”, “Hei, kamu, Ngabdulkamid, kamu telah dianugerahi gelar oleh Yang Mahakuasa sebagai Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayidin Panatagama di Jawa Kalifat Rasullah. Diberkatilah kamu! …”
Wangsit yang sama juga kembali diterima Diponegoro pada akhir Ramadhan tahun tersebut, yakni 27 Ramadhan 1752 tahun Jawa (16 Mei 1825). Saat itu, dia juga tengah berada di Gua Secang seusai melaksanakan shalat Tarawih dan melanjutkan kebiasaannya bersemadi sampai tertidur.
Diponegoro menyatakan, waktu itu ia merasa didatangi serombongan orang memakai destar dengan wajah seperti bulan purnama. Setelah bertemu, orang itu membuka surat yang kemudian dibaca di depannya.
Bunyi isi surat itu juga menunjuk Diponegoro sebagai Sri Paduka Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayidin Panatagama Kalifat Rasulullah untuk tanah Jawa.
***
Adanya serangkaian mimpi itu maka kemudian Diponegoro merasa yakin bila dirinya sudah ditunjuk sebagai “imam agung” Jawa. Status itu pun makin membuatnya percaya diri bahwa ia harus berani mengobarkan perang melawan Belanda.
Pada kenyataan lain, bagi Diponegoro, adanya serangkaian mimpi itu seakan menjadi pembenar atas sikap kritisnya terhadap kekuasaan kolonial. Apalagi, di kalangan Keraton Yogyakarta saat itu sudah beredar desas-desus bila Diponegoro sudah menggalang kekuatan dengan para pangeran keraton untuk meletuskan peperangan.
Tanda awalnya pun sudah ada, yakni adanya peristiwa percekcokan antara Diponegoro dan wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta sewaktu menghadiri perayaan Garebeg dan pada berbagai acara keresidenan. Saat itu juga terdengar kabar bahwa Diponegoro akan diracun atau diasingkan oleh Belanda.
Status ini pun makin membuatnya percaya diri bahwa ia harus berani mengobarkan perang melawan Belanda.
Dan benar, beberapa waktu kemudian, tepatnya 21 Juli 1825, perang pun pecah. Meski meleset dua hingga tiga pekan lebih cepat dari waktu semula, yakni 15 Agustus 1825, Diponegoro kala itu sangat yakin bahwa jalan yang ditempuhnya sudah benar. Sikap itu ditunjukkan kepada sahabatnya maupun kepada massa secara terbuka.
Kepada sahabatnya, Kiai Rahmanudin, Diponegoro menyatakan siap memimpin Perang Sabil meski berisiko akan hidup menderita atau menemui kematian. Dan, kepada pengikutnya, sikap itu dia juga tegaskan, yakni ketika berpidato di depan para pembesar desa di markas besar tentaranya di Sambiroto, Kulon Progo, ketika perang mulai berkobar.
“Kamu harus sadar bahwa jalan ke surga atau neraka itu terbuka. Barang siapa di antara kamu yang membelot kepada pihak orang Eropa akan masuk neraka, sedangkan mereka yang tewas dalam peperangan melawan Belanda akan mendapatkan surga,” tegas Pangeran Diponegoro.
Disadur dari Harian Republika edisi Senin, 19 Maret 2012.
Pertemuan Jokowi dan Partai Koalisi, Mega tak Datang, Nasdem tak Diundang
Nasdem mengaku tidak diundang Zulkifli Hasan.
SELENGKAPNYAMenjelajah Hutan Ujung Timur Jawa
Ekosistem yang dimiliki Alas Purwo mulai dari hutan bakau, hutan bambu, padang rumput, hingga hutan tanaman.
SELENGKAPNYAPalestina-Israel dan Konteks ‘Perang Ramadhan’
Perang ini dinamakan demikian karena terjadi pada 10-28 Ramadhan 1393 Hijriyah.
SELENGKAPNYA