
Safari
Menjelajah Hutan Ujung Timur Jawa
Ekosistem yang dimiliki Alas Purwo mulai dari hutan bakau, hutan bambu, padang rumput, hingga hutan tanaman.
Roda mobil yang mengangkut kami terus berputar. Jalanan aspal pun mulai berganti dengan tanah becek. Di luar kaca mobil, pemandangan didominasi oleh pohon-pohon jati. Sebagian daunnya meluruh sehingga ranting-rantingnya terlihat gundul.
Tak sampai seperempat jam kemudian, sampailah kami di Pos Rawabendo. “Selamat Datang di Taman Nasional Alas Purwo” begitu kalimat yang tertera di gerbang masuk itu. Mobil pun berhenti sebentar.
Hari Bowo, pemandu sekaligus sopir yang mengantar kami, langsung keluar menuju pos tersebut. “Saya urus dulu karcisnya, Mas,” ujar pria berambut gondrong itu.
Pengunjung yang masuk ke kawasan ini memang dipungut biaya. Untuk warga negara Indonesia, cukup membayar Rp 2.500 per kepala. Tapi, dengan catatan, masuknya harus berombongan. Satu kelompok minimal terdiri dari 25 orang.
Sementara, wisatawan mancanegara dikenakan karcis Rp 20 ribu per kepala. Bagi pengunjung yang membawa kendaraan roda empat ada biaya tambahan lagi, Rp 6 ribu untuk tiap kendaraan sekali masuk.
Tak lama berselang, perjalanan pun dilanjutkan. Ini kesempatan pertama buat saya dan Prayogi menjelajahi TN Alas Purwo. Rencana menyambangi hutan belantara di ujung timur Pulau Jawa ini memang sudah kami atur jauh-jauh hari. Dan beruntung, kami dapat menyewa mobil tipe adventure (4x4 WD) dengan harga terjangkau saat berada di Banyuwangi.

Serba unik
Kami sampai di Pos Rawabendo setelah melintasi Desa Tegaldlimo dan Kalipait. Jalur tersebut paling umum digunakan saat menuju Alas Purwo. Selain itu, hutan ini juga bisa dicapai lewat dua jalur alternatif lain. Dari arah barat, pengunjung bisa melalui Pintu Bedul sedangkan dari arah timur (Bali) lewat Pintu Plengkung.
Pos Rawabendo berada sekitar 72 km dari Banyuwangi. Jarak itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun, karena jalan jelek yang harus ditempuh cukup panjang, perjalanan saat itu memakan waktu hampir tiga jam.
Alas Purwo adalah satu dari sekian banyak taman nasional yang ada di Jawa Timur. Hutan seluas 43.420 hektare ini menjadi perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa.
Ekosistem yang dimilikinya mulai dari hutan bakau, hutan bambu, padang rumput, hingga hutan tanaman. Selain beragam vegetasi dan spesies fauna yang mengisinya, berbagai hal unik lainnya bisa kita jumpai di wana ini.

Langit tampak mendung pagi itu. Tanah-tanah di sekeliling pun terlihat lembab. Sepertinya, hujan sempat mengguyur wilayah ini sebelum kami datang. Beberapa saat setelah menembus gerbang, pemandangan di sepanjang pinggir jalan berganti dengan kerimbunan pohon-pohon mahoni. Hanya sedikit cahaya matahari yang masuk ke kawasan ini sehingga segarnya hawa hutan pun makin terasa.
Tujuan pertama kami adalah Pura Agung Giri Salaka yang berjarak sekitar 300 meter dari pos tadi. Saya tak menyangka, di tengah-tengah rimba belantara ini ternyata ada tempat sembahyang umat Hindu yang lumayan luas dan megah.
Sepasang arca Dwarapala bersanding di kanan dan kiri pintu bangunan tersebut. Sementara, dua buah arca lain berjaga di pekarangannya. Jaba pisan (bagian terluar --Red) pura ini seluruhnya terbuat dari batu bata. Kesan kuno yang ditampilkannya mengingatkan saya kepada sejumlah bangunan peninggalan Majapahit di Trowulan, Mojokerto.
Akan tetapi, usia pura ini tidaklah setua itu. “Baru dibangun pada 1997 lalu,” kata sang pelayan pura, Tego (55 tahun).

Ia menyatakan, pura ini kerap diziarahi umat Hindu dari Bali. Biasanya, mereka melakukan kegiatan ritual di tempat ini pada waktu-waktu tertentu. Kebetulan hari itu kami melihat beberapa orang Bali berpakaian upacara tengah menapak tilas di sekitar area tersebut.
Sekitar 80 meter dari pura tadi, terdapat Situs Kawitan. Sebuah cagar budaya berupa bebatuan andesit yang disusun bertumpuk-tumpuk. “Situs ini sudah ada sejak zaman pra-Majapahit, tepatnya era karesian,” tutur Tego.
Kata pria itu, keberadaan situs ini menjadi salah satu alasan pendirian Pura Giri Salaka.
Konon, Situs Kawitan dulunya menjadi tempat pertapaan tahunan Ida Rsi Madura. Dia adalah guru dari Arya Wiraraja, seorang ahli siasat yang membantu Raden Wijaya menaklukkan Kerajaan Kediri pada abad ke-13 silam. Saran-saran dari Arya Wiraraja itulah yang membuat Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit.
Padang rumput
Menurut beberapa literatur, Alas Purwo diyakini sebagai tempat perhentian terakhir para pengungsi dari Majapahit. Yakni, ketika kerajaan itu menghadapi masa keruntuhannya. Situs Kawitan ini diduga telah difungsikan sebagai tempat pemujaan pada masa itu.

Seusai melihat-lihat pura, mobil pun melaju kembali. Selama dalam perjalanan, kami sempat melihat merak hijau (Pavo muticus) beberapa kali. Sayang, setiap kali Prayogi berusaha membidikkan kamera ke arah mereka, unggas itu selalu menghindar dan masuk ke dalam semak-semak.
Menjelang tengah hari, kami tiba di Padang Gembala Sadengan. Lokasinya sekitar 1,5 km dari Pura Giri Salaka. Padang rumput hijau yang menghampar seluas 80 hektare ini diisi oleh ratusan herbivora, seperti rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), dan banteng (Bos javanicus). Hewan-hewan tersebut hidup berkoloni dan merumput sepanjang hari di sini. Selain itu, babi hutan (Sus scrofa) dan sejumlah jenis burung juga kerap ditemukan di tempat ini.
Siang itu, cuaca yang tadinya mendung mulai terasa terik. Puluhan banteng dan rusa tampak berkumpul di bawah sebuah pohon yang tumbuh di tengah-tengah padang, mencari naungan dari sinar matahari.
Padang gembala ini dilengkapi dengan fasilitas menara pandang. Jika beruntung, dari atas menara tersebut, pengunjung dapat menyaksikan langsung ajak (Cuon alpinus) melintas di Sadengan. Kadang kala, anjing hutan itu berusaha memangsa rusa yang ada di sini.

Pesona Pantai
Penjelajahan hari itu masih berlanjut. Lewat Zhuhur, kami sudah berada di Pancur. Kawasan ini menjadi terkenal karena keberadaaan beberapa guanya. Ada Gua Istana, Mayangkoro, dan Padepokan.
“Umumnya mereka yang datang ke gua-gua itu untuk keperluan ritual (semedi-Red),” ungkap Tin Suto, salah satu petugas yang berjaga di Pos Pancur. Untuk mencapai gua-gua tersebut, pengunjung harus masuk rimba dan melewati jalan setapak tanah yang licin. Karena jaraknya dari pos cukup jauh, kami pun mengurungkan niat ke sana.
Pantai di kawasan Pancur memiliki keindahan yang memesona. Beberapa karang yang menyembul tampak hilang-timbul diempas gelombang.
Ombak datang susul-menyusul menuju pesisir pantai, diiringi oleh berisiknya suara laut. Buih-buihnya menjilati hamparan pasir yang masih terjaga. Jauh di selatan sana, gugusan Tanjung G Land (Pantai Plengkung) membentang dengan anggunnya.
Hanya beberapa meter dari bibir pantai, terdapat mata air yang mengalir menuju laut. Alirannya membelah bebatuan yang berada di bawah naungan pohon bogem berukuran besar, hingga membentuk semacam pancuran. Konon, dari sinilah penamaan kawasan ini diambil.

Tanpa terasa, waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB. Kami pun mengganjal perut sambil beristirahat sejenak di salah satu warung di Pancur.
Bagaimana Akses ke Alas Purwo?
Kawasan TN Alas Purwo dapat dicapai dari beberapa daerah, seperti Banyuwangi, Jember, dan Bali. Terdapat tiga alternatif jalur yang bisa ditempuh menuju taman nasional ini:
Alternatif 1: Pintu Rowobendo
Dari Kota Banyuwangi menuju Kalipait, lalu ke selatan menyusuri hutan produksi hingga sampai pintu gerbang Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo.
Bagi para pengguna angkutan umum, setelah sampai di Terminal Ketapang bisa menumpang mikrolet menuju Terminal Karangente. Setelah itu, dilanjutkan dengan bus mini tujuan Kalipait. Dari Kalipait, Pintu Rowobendo dapat dicapai dengan menggunakan ojek.

Alternatif 2: Pintu Bedul
Dari arah Jember melalui Gunung Gumitir. Sesampainya di pertigaan Benculuk, ambil jalan ke kanan menuju Purwoharjo. Dari Purwoharjo, selanjutnya mengikuti petunjuk arah menuju Wisata Mangrove Bedul Taman Nasional Alas Purwo.
Untuk pengguna angkutan umum, bisa menumpang bus dari Jember. Di pertigaan Benculuk ganti dengan angkutan umum tujuan Purwoharjo. Dari Purwoharjo, Pintu Bedul bisa dicapai dengan ojek.
Alternatif 3: Pintu Plengkung
Dari Bali melalui jalur laut menggunakan speed boat menuju Pantai Plengkung.
Disadur dari Harian Republika edisi 6 Januari 2013. Reportase oleh Ahmad Islamy Jamil.
Palestina-Israel dan Konteks ‘Perang Ramadhan’
Perang ini dinamakan demikian karena terjadi pada 10-28 Ramadhan 1393 Hijriyah.
SELENGKAPNYAIsrael Serang Stadion, Mana Sanksinya FIFA?
Pasukan Israel menembakkan gas air mata ke tengah pertandingan final Piala Liga Palestina.
SELENGKAPNYATeladan Buya Hamka Kala Muhammadiyah (tidak) ‘Pecah’
Pada masa rezim Orde Lama, Muhammadiyah sempat terguncang akibat dinamika politik nasional.
SELENGKAPNYA