Hikmah
Sabar, Puasa, dan Takwa
Puasa di bulan Ramadhan juga melatih diri untuk sabar melakukan ketaatan.
Oleh MUHAMMAD KOSIM
Puasa di bulan Ramadhan sejatinya mengantarkan setiap mukmin ke posisi takwa (QS al-Baqarah [2]: 183). Di antara ciri orang yang bertakwa adalah bersifat sabar (QS al-Baqarah [2]: 177 dan Ali Imran [3]: 17). Puasa Ramadhan melatih dan mendidik sifat sabar agar terbentuk karakter muttaqin.
Rasulullah SAW bersabda, "Al-shaumu nishf al-shabr" (Puasa itu setengah sabar) (HR At-Tirmdizi). Dalam hadis lain, "Al-shabr nishf al-iman (Sabar itu setengah dari iman) (HR al-Hakim). Berdasarkan dua hadis ini, Imam al-Ghazali menyebut puasa itu seperempat iman.
Di antara makna puasa dan sabar ialah menahan. Puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkannya, seperti makan, minum, dan bersetubuh. Sabar juga mencakup makna menahan diri dari segala yang tidak berkenan di hati dan tidak berkeluh kesah.
Puasa yang hakiki mendidik manusia agar mampu mengendalikan hawa nafsunya. Imam al-Ghazali menyebut ada dua bentuk hawa nafsu, yaitu syahwat dan ghadab (marah). Menurutnya, puasa adalah sabar mengatasi dorongan syahwat perut dan syahwat kemaluan.
Puasa yang hakiki mendidik manusia agar mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Jika seseorang tidak mampu menahan syahwat perutnya, akan menimbulkan malapelataka dalam kehidupan pribadi, keluarga, bahkan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sifat tamak dan rakus, memberi nafkah keluarga dengan cara haram, menghalalkan segala cara, termasuk korupsi dan kolusi terjadi karena dorongan syahwat perut yang tidak terkendali.
Begitu pula syahwat kemaluan yang tidak tertahan memicu seseorang berbuat fahsya’, seperti zina dan homoseksual. Keluarga tidak lagi harmonis, perkembangan mental anak rusak, azab Allah pun mengancam negeri akibat kejahatan zina yang semakin leluasa.
Sabda Nabi SAW, "Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri" (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Dengan berpuasa, syahwat perut dilatih untuk tidak mengonsumsi makanan, meskipun makanan itu halal. Setelah berpuasa mesti terbentuk sikap mental yang tangguh untuk menolak makanan haram yang akan mengisisi perutnya.
Setelah berpuasa mesti terbentuk sikap mental yang tangguh untuk menolak makanan haram yang akan mengisisi perutnya.
Demikian halnya syahwat kemaluan. Pasangan suami istri dilarang melakukan hubungan seksual saat puasa dilaksanakan. Jika yang halal saja mampu mereka kendalikan, tentu perilaku haram terkait syahwat kemaluan bisa dihindarkan.
Pengendalian kedua syahwat ini membutuhkan sifat sabar. Itulah yang disebut dengan al-shabr ‘an al-ma’siyat, sabar menghindari perbuatan maksiat sekalipun ada kesempatan untuk melakukannya.
Di samping sabar dari kemaksiatan, puasa juga melatih diri untuk sabar melakukan ketaatan (al-shabr ‘ala al-tha’ah). Menahan tidak makan dan minum seharian butuh sifat sabar.
Begitu pula ibadah lainnya yang mengiringi puasa, seperti qiyamul lail, berbagi pada sesama hingga menunaikan zakat fitrah, turut mengasah potensi sabar yang dimiliki setiap manusia.
Sabar untuk taat dan sabar dari maksiat ketika berpuasa akan menempa diri untuk siap menghadapi berbagai ujian.
Sabar untuk taat dan sabar dari maksiat ketika berpuasa akan menempa diri untuk siap menghadapi berbagai ujian (al-shabr fi al-bala’). Berbagai kesulitan yang dialami oleh umat Islam pasca pandemi yang dampaknya belum sepenuhnya stabil, terutama aspek ekonomi dan kesehatan, membutuhkan sifat sabar untuk menghadapinya dengan senantiasa menyertakan Allah SWT dalam setiap gerak dan tindakan.
Jika puasa sukses ditunaikan dengan sabar, lalu sifat sabar menjadi karakter dan kepribadian di setiap keadaan, niscaya takwa niscaya dapat diraih. Wallahul musta’an.
Barang Branded dan Mewah itu Wajib Zakat?
Apakah barang branded dan mewah wajib dikeluarkan zakatnya?
SELENGKAPNYASemua Ada Tujuannya
Tiada sesuatu pun yang Allah SWT ciptakan selain memiliki tujuan tersendiri.
SELENGKAPNYA