Opini
Belajar Berdamai dengan Bumi Selama Ramadhan
Sudah saatnya Ramadhan tahun ini dijadikan permulaan proses perdamaian kita dengan bumi.
ANGGI AZZUHRI, Kandidat Doktor Studi Hukum Islam di Universitas Islam Internasional Indonesia
Salah satu fenomena unik yang hanya terjadi pada Ramadhan, setidaknya selama beberapa dekade ke belakang, adalah meningkatnya penjualan makanan siap santap menjelang berbuka puasa, terutama di daerah urban.
Peningkatan ini tentunya dipicu tren penyiapan takjil yang sepertinya harus variatif. Ditambah dengan dorongan psikologis rasa lapar yang membuat konsumen sulit mengimbangkan antara keinginan dan kebutuhan.
Tak heran kita temukan di meja makan kita sendiri rangkaian makanan dan minuman yang sangat menggugah. Bahkan, setidaknya ada dua jenis minuman manis yang tersedia saat iftar. Jika minuman manis tidak tersedia, kesyahduan berbuka puasa dirasa tidak hadir.
Banyak yang berdalil dengan satu statemen: Berbukalah dengan yang manis. Saya meragukan asal-muasalnya dalam literatur hadis, bahkan saya meyakini statemen ini muncul dari usaha marketing salah satu produk minuman di Indonesia.
Ironisnya, makanan dan minuman yang sudah disiapkan untuk berbuka puasa ini jarang ditemukan dalam keadaan habis.
Ironisnya, makanan dan minuman yang sudah disiapkan untuk berbuka puasa ini jarang ditemukan dalam keadaan habis. Lumrahnya, seseorang akan merasa kenyang setelah meminum dua jenis minuman manis dan beberapa kue basah.
Padahal, pembelian yang telah dilakukan menghasilkan volume makanan yang lumayan banyak. Begitu banyaknya bahkan volume memungkinkan untuk menjadi makanan selama dua sampai tiga kali berbuka puasa ke depannya.
Lebih unik lagi, meski terkadang kesadaran bahwa persiapan menu iftar tadi berlebihan muncul menjelang azan Isya, hal yang sama terulang besok harinya. Fenomena ini biasanya disebabkan faktor psikologis orang yang belum makan dan minum selama beberapa jam.
Barangkali istilah sederhana yang dapat menggambarkan kondisi ini adalah lapar mata. Kondisi yang membuat apa yang terlihat di pusat jajanan terlihat enak dan menarik untuk dibeli meskipun kenyataannya, tidak terlalu dibutuhkan.
Hasil akhir dari pembelian mata yang lapar tadi adalah makanan yang terbuang, baik karena memang tidak sanggup dihabiskan maupun disebabkan basinya makanan tersebut. Kedua kondisi tadi hanya punya satu kelanjutan, yaitu menjadi sampah makanan.
Hasil akhir dari pembelian mata yang lapar tadi adalah makanan yang terbuang, baik karena memang tidak sanggup dihabiskan maupun disebabkan basinya makanan tersebut.
Problem serius
Problematika sampah makanan ini sudah sangat mengkhawatirkan jika dibicarakan dalam konteks di luar Ramadhan. Pada 2019, di Jakarta Barat saja produksi sampah makanan meningkat lebih tinggi sejak hari pertama puasa.
Memang, sampah makanan didominasi sampah organik yang mudah membusuk, tetapi bukan berarti tidak mengancam lingkungan. Volume sampah yang besar ini tentu butuh ruang dia bisa ditempatkan agar pembusukannya tidak mengganggu aktivitas manusia.
Sayangnya, barangkali karena minim edukasi, sampah makanan sering berakhir di sungai atau selokan. Belum lagi, biasanya sampah makanan dibungkus dalam plastik, pastinya menyeret problematika lainnya. Mungkin bagi sebagian orang, sampah makanan bisa disepelekan.
Efek makro sampah makanan terasa dalam jangka panjang, boleh jadi yang merasakan bukan manusia, melainkan makhluk lain di ekosistem sungai atau selokan.
Saya pernah mendengar celetukan, “memangnya apa yang bisa diakibatkan sepotong kue basi ini selain bau tak sedap?” Efek makro sampah makanan terasa dalam jangka panjang, boleh jadi yang merasakan bukan manusia, melainkan makhluk lain di ekosistem sungai atau selokan.
Perbuatan ini bisa—dan sangat layak—dikategorikan akhlak buruk terhadap bumi. Berakhlak buruk selama Ramadhan pasti berlawanan dengan esensi berpuasa.
Sederhananya, sekalipun seseorang berhasil mencapai puasa yang sangat ideal pun jika masih berlebihan dalam berbelanja iftar dan menghasilkan sampah makanan, puasanya tetap masuk kategori sia-sia.
Perlu diperhatikan, Rasulullah SAW tak berlebihan dalam berbuka. Memakan beberapa butir kurma atau hanya meminum air putih tidak mesti dimaknai sebagai sikap sederhana Rasulullah, tetapi bisa juga dimaknai sebagai usaha untuk hanya mengonsumsi pada kadar yang dibutuhkan.
Bukankah segelas minuman manis dan beberapa buah kue basah sudah cukup untuk melepaskan dahaga dan lapar setelah berpuasa? Lantas mengapa persiapan takjilnya harus melebihi dari itu?
Sederhananya, sekalipun seseorang berhasil mencapai puasa yang sangat ideal pun jika masih berlebihan dalam berbelanja iftar dan menghasilkan sampah makanan, puasanya tetap masuk kategori sia-sia.
Berdamai dengan bumi
Meski demikian, keunikan ini menjadi salah satu tradisi yang membuat Ramadhan dirindukan banyak orang. Dari perspektif ekonomi, peningkatan penjualan dan konsumsi makanan ini bisa dipandang positif sebagai salah satu bentuk pertumbuhan ekonomi.
Tidak sedikit orang sukses dalam bisnis food and drink-nya selama bulan puasa, bahkan melanjutkan usahanya ke tahap lebih serius.
Maka bisa dikatakan, tradisi ini juga punya sisi positif dari segi ekonomi. Namun, ekonomi bukan hanya soal menghasilkan profit dan keberhasilan bisnis. Terpenuhinya kebutuhan primer manusia juga merupakan salah satu tujuan ekonomi itu sendiri.
Menarik kembali kondisi yang sudah dijelaskan di awal tulisan, kita bisa mengasumsikan, tren berbelanja takjil merupakan indikasi kuatnya daya beli masyarakat.
Andaikan tingginya daya beli tadi bisa dialirkan manfaatnya kepada mereka yang tidak punya kemampuan serupa. Bisa dipastikan masih ada orang yang kesulitan memenuhi kebutuhannya untuk berbuka puasa secara layak.
Memang, pada dasarnya air putih saja cukup untuk berbuka puasa, tetapi kelayakan dalam konteks saat ini setidaknya ketersediaan makanan dengan lauknya.
Tentunya tidak dengan menghilangkan tradisi dan potensi ekonomi yang lahir dari peningkatan daya beli masyarakat, tetapi dengan meminimalisasikan sampah makanan dengan pengelolaan makanan yang lebih efisien.
Jika memang hasil dari lapar mata bisa langsung dialihkan kepada kerabat terdekat, mereka yang belum mampu untuk mempersiapkan menu iftar layak, setidaknya satu problematika: sampah makanan bisa diminimalisasikan —jika “menghilangkannya” tidak mungkin.
Sudah saatnya Ramadhan tahun ini dijadikan permulaan proses perdamaian kita dengan bumi. Tentunya tidak dengan menghilangkan tradisi dan potensi ekonomi yang lahir dari peningkatan daya beli masyarakat, tetapi dengan meminimalisasikan sampah makanan dengan pengelolaan makanan yang lebih efisien.
Tidak ada yang salah dari mengurangi variasi menu berbuka, tidak ada sunah Nabi SAW yang tereliminasi, justru usaha ini merupakan bentuk menghidupkan tuntunan Nabi SAW. Apalagi, jika potensi besar ini dialirkan untuk tujuan sosial dan altruisme manusia.
Bukan hanya relasi manusia-bumi yang akan membaik, bahkan sesama manusia pun menjadi lebih harmonis. Bukankah ini yang diinginkan oleh kehadiran Ramadhan.
Cegah Politisasi Puasa
Puasa itu membela yang lemah karena dilemahkan dan membantu yang miskin.
SELENGKAPNYASejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYAMemahami Makna Shalat Tarawih, Qiyamulail, dan Tahajud
Shalat pada malam hari dinamakan qiyamulail sekaligus juga tahajud
SELENGKAPNYA