
Resonansi
Arab Bergeser dari AS ke Cina
Cina-Saudi-Iran tampaknya akan jalan terus.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
Ini hanya berandai-andai. Andaikan kita mengikuti rapat Presiden Joe Biden dengan timnya di Gedung Putih, membahas kesepakatan Beijing yang telah mengakurkan Saudi dengan Cina.
Apakah Presiden Biden marah besar dengan menggebrak meja, misalnya, karena Cina telah berani memasuki Timur Tengah untuk pertama kalinya, dengan meredakan perseteruan Saudi-Iran? Atau Joe Biden justru hepi-hepi saja karena Cina telah membantu meredakan ketegangan di Timur Tengah yang selama ini AS gagal lakukan?
Lantaran hanya berandai-andai, kita pun belum tahu hasil rapat Joe Biden. Gedung Putih pun belum mengeluarkan pernyataan tegas. Yang kita tahu, AS selama ini menganggap Cina pesaing utama dalam percaturan pengaruh global, termasuk di kawasan Timur Tengah. Terutama sejak Cina menjelma jadi kekuatan kedua ekonomi terbesar sedunia.
Diperkirakan, beberapa tahun ke depan Cina akan merebut singgasana nomor satu yang kini ditempati Amerika.
Diperkirakan, beberapa tahun ke depan Cina akan merebut singgasana nomor satu yang kini ditempati Amerika.
Persaingan global itu telah menyebabkan hubungan kedua negara sangat sensitif, bahkan terkadang eksplosif. Dari masalah sederhana seperti balon raksasa Cina —balon mata-mata versi AS— yang melintasi wilayah Amerika, soal negara Taiwan, virus Covid-19 yang AS katakan bersumber dari Wuhan, hingga ke persoalan ekonomi, persaingan dagang, dan lainnya.
Apapun, ada banyak hal —kecil maupun besar— yang bisa menjadi bahan saling kritik atau serang antara kedua negara.
Dalam persaingan global itu, terutama di kawasan Timur Tengah, AS —dan juga negara-negara Barat— lebih banyak melakukan pendekatan keamanan dan militer. Terkadang juga melalui pendekatan HAM (hak asasi manusia), demokrasi, kebebasan, atau kemerdekaan.
Namun, ukurannya sering tidak jelas. AS dalam banyak hal lebih menggunakan standar ganda, terlalu berat sebelah membela Israel. Negara Yahudi ini sering diperlakukan sebagai negara bagian ke-51 Amerika Serikat.
Namun, ukurannya sering tidak jelas. AS dalam banyak hal lebih menggunakan standar ganda, terlalu berat sebelah membela Israel.
Bila militer Israel menyerang Palestina dikatakan membela diri. Sebaliknya, jika pejuang Palestina yang menyerang Israel, mereka dianggap menyerang negara berdaulat, negara merdeka.
Mereka tidak pernah mau mengakui pendudukan Israel atas tanah dan wilayah Palestina sebagai penjajahan suatu bangsa terhadap bangsa lain. Bila AS dan sekutu Baratnya terus bersikap seperti itu, lalu kapan bangsa Palestina bisa merdeka?
Di lain pihak, ketika militer AS menginvasi Irak pada masa Saddam Husein pada 2003, alasan pun bisa dibuat sesuka hati. Pada awalnya, rezim Saddam dituduh menyimpan senjata pemusnah massal. Namun, hingga sang presiden jatuh dan dieksekusi mati, senjata pemusnah massal itu tidak pernah terbukti, dan tidak ada satu pihak pun yang menuntut Gedung Putih.
Alasan lain AS menginvasi Irak adalah untuk mengenyahkan penguasa diktator-otoriter yang sangat kuat, Presiden Saddam Husein. Penguasa seperti ini dianggap bisa membahayakan negara-negara lain, seperti ketika Saddam menginvasi Kuwait. Amerika ingin mengganti rezim penguasa seperti ini dengan sistem demokrasi —tentu saja versi Barat.
Namun, 20 tahun sejak rezim Saddam jatuh dan Irak satu-satunya negara Arab yang diakui Presiden Biden telah menerapkan demokrasi, apa yang terjadi? Kehidupan politik Irak justru tidak menentu.
Setiap pergantian pemerintah selalu diwarnai kekerasan. Demokrasi justru menjerumuskan rakyat Irak dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Setiap pergantian pemerintah selalu diwarnai kekerasan. Demokrasi justru menjerumuskan rakyat Irak dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Begitu juga di negara-negara Arab yang militer Amerika dan sekutunya terlibat dalam menjatuhkan para pemimpinnya, seperti Libya. Negara-negara itu kini justru terjerumus dalam perebutan kekuasaan. Yang menjadi korban tentu rakyat.
Dalam hal program nuklir di Timur Tengah, Amerika dan sekutu Baratnya juga tidak adil terhadap Iran. Di satu sisi mereka ngotot agar program nuklir Iran diawasi ketat, berikut berbagai sanksinya, tapi di pihak lain mereka membiarkan Israel mengembangkan program nuklirnya tanpa pengawasan.
Bahkan, mereka tidak bisa berbuat banyak ketika negara Zionis itu menolak bergabung dalam Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir. Dengan begitu mereka bebas mengembangkan program nuklir tanpa pengawasan internasional.
Lalu bagaimana perlakuan Cina terhadap negara-negara lain, sehingga berhasil menjadi penengah dua musuh bebuyutan, Saudi-Iran? Cina, kata Abdul Rahman Shalgham, kolomnis yang juga mantan Menteri Luar Negeri Libya paham betul bahwa tatanan internasional baru tidak akan lahir dari perang dunia.
Ada kekuatan baru dunia yang berbeda dari sebelumnya. Kekuatan baru itu adalah ekonomi, teknologi, kerja sama regional, dan kerja sama untuk mengendalikan tantangan lingkungan. Dalam bahasa Shalgham, ekonomi merupakan senjata yang menyejahterakan dan bukan membunuh.
Dalam bahasa Shalgham, ekonomi merupakan senjata yang menyejahterakan dan bukan membunuh.
Cina kini merupakan negara pengekspor terbesar sedunia. Investasinya ada di mana-mana, termasuk di negara-negara Arab. Ia mempunyai proyek global yang dikenal sebagai ‘Jalur Sutra’.
Menurut Shalgham, Cina tidak akan terlibat dalam perang bersenjata dengan kekuatan apa pun. Bahkan ia tidak akan menyerang Taiwan atau mencaploknya. Cina akan menyelesaikan Taiwan dengan cara diplomasi, seperti ketika mereka mengambil Hong Kong.
Pendekatan Cina ini, menurut Dr Muhammad Ali al-Saqqaf, kolomnis dari Yaman, sangat berbeda dengan yang ditempuh Rusia serta Amerika dan beberapa negara Barat lainnya.
Pendekatan Rusia di Timur Tengah adalah lewat jalur militer, seperti di Suriah dan Libya. Sedangkan Amerika dan sejumlah negara-negara Barat gagal mendekati Iran karena mereka terfokus pada program nuklir.
Pendekatan Rusia di Timur Tengah adalah lewat jalur militer, seperti di Suriah dan Libya. Sedangkan Amerika dan sejumlah negara-negara Barat gagal mendekati Iran karena mereka terfokus pada program nuklir.
Mereka terus mendesak agar Iran tidak bisa mengembangkan proyek nuklir guna memastikan keamanan kawasan Timur tengah, terutama keamanan Israel. Mereka juga menerapkan sanksi yang berat terhadap Iran. Namun, mereka lupa memperhitungkan bahwa pengucilan Iran justru akan membahayakan keamanan dan keselamatan negara-negara Teluk.
Pada waktu yang sama, Cina justru menempuh pendekatan dari sisi ekonomi sebagai prioritas hubungannya dengan negara-negara di kawaan Timur Tengah. Dan, salah satu pintu masuk Cina ke kawasan Timur Tengah adalah keberhasilannya mencapai kesepakatan antara dua kekuatan regional di Semenanjung Arab dan Teluk, Saudi-Iran.
Kesepakatan ini jelas merupakan peristiwa geostrategis dan geopolitik yang menandai lahirnya keseimbangan kekuatan baru di tingkat global. Inilah yang juga menjadi salah satu alasan utama buat Saudi dan Iran untuk mencapai kesepakatan di antara mereka.
Kini Cina memperoleh minyak dan gas dari Saudi dan Iran. Tidak kurang dari 40 persen kebutuhan energinya didapat dari dua negara itu.
Dari Saudi saja, Cina mengimpor dua juta barel per hari dan akan terus meningkat. Sedangkan Amerika hanya mengimpor 300 ribu barel minyak mentah per hari dari Saudi, sekitar tujuh persen dari kebutuhannya, dan itu akan terus berkurang. Persentasenya kecil jika dibandingkan dengan lebih dari 50 persen yang diimpor Amerika dari tetangganya Kanada.
Washington bisa hidup tanpa minyak Saudi dan Teluk. Cina tidak bisa. Karena itu, Cina sangat berkepentingan dalam mendekatkan Riyadh dengan Teheran.
Di pihak Amerika memang telah muncul suara-suara kritis "Bahwa Cina ingin membawa Saudi keluar dari pengaruh Gedung Putih". Atau "Cina ingin melepaskan Iran dari belenggu sanksi yang selama bertahun-tahun telah diterapkan oleh Amerika, dengan mengakurkannya dengan Saudi yang menjadi seteru bebuyutannya".
Cina-Saudi-Iran tampaknya akan jalan terus. Tidak peduli dengan kritik di pihak lain. Toh, sebuah negara pada akhirnya hanya akan memutuskan berdasarkan kepentingannya. Termasuk bila kepentingan itu harus bergeser dari Amerika ke Cina.
Cegah Politisasi Puasa
Puasa itu membela yang lemah karena dilemahkan dan membantu yang miskin.
SELENGKAPNYASejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYA