Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Mitos, Ideologi, dan Ilmu (2)

Mengenai fakta ideologi melihatnya secara subjektif, sedangkan ilmu melihatnya secara objektif.

Oleh KUNTOWIJOYO

Rupanya kenyataan bahwa Sarikat Islam (SI) cepat berkembang membuat berang pejabat kolonial. Pantas kalau pendirinya, Haji Samanhudi, mendapat cemooh dari pejabat Belanda.

Dr Rinkes dari Kantoor voor Inlandsche Zaken menggambarkannya sebagai penjudi, suka bergaul dengan para wanita buruk, gonta-ganti istri, dan seorang pedagang merangkap sebagai rentenir yang 'awoke one morning and found himself famous' ('bangun suatu pagi, dan tiba-tiba sudah menjadi terkenal'). 

Tidak hanya dari pejabat Belanda, tetapi juga dari priyayi pribumi SI mendapat kecaman, kali ini mengenai penggunaan agama. Dr Radjiman, seorang tokoh Budi Utomo, menyangsikan bahwa agama dapat jadi perekat sebuah gerakan massa.

Ia meramalkan bahwa SI hanya gerakan sementara dari haji, santri, dan orang-orang bodoh. Tentu, para pejabat Belanda dan para priyayi pribumi tidak tahu bahwa SI kemudian mengalami metamorfosis.

Perubahan yang signifikan terjadi pada tahun 1914, ketika kepemimpinan dipegang oleh Tjokroaminoto, pribadi kreatif yang lainnya, seorang elite terpelajar lulusan Osvia (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera), sekolah yang sangat terhormat waktu itu.

Pada tahun 1915 --tepatnya 26 Juli 1915, di Jagalan, Surakarta-- ia memberi bobot ideologis (kata 'ideologi' tidak pernah tercantum dalam organisasi Islam mana pun) pada gerakan SI. Katanya, "de Islam is de godsdienst van de armen en de verdruckten," (Islam adalah agama bagi orang miskin dan orang tertindas).

Sejak itu --kalau kita diminta menunjuk sebuah tanggal-- mulailah sungguh-sungguh kesadaran keagamaan umat berubah dari periode mitos ke periode ideologi. 

Tidak hanya dari pejabat Belanda, tetapi juga dari priyayi pribumi SI mendapat kecaman, kali ini mengenai penggunaan agama. 
 

Tetapi, apakah ideologi itu? Jorge Larrain dalam The Concept of Ideology mengatakan bahwa ideologi 'merujuk pada sistem pendapat, nilai, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan kelas tertentu yang cara berpikirnya mungkin berbeda-beda'.

Dari definisi ini dapat diketahui dengan jelas perbedaan antara ideologi dan mitos. Ideologi jelas pertimbangannya (pendapat, nilai, pengetahuan) mengapa orang bergerak, sedangkan dalam mitos orang bergerak hanya ikut Sang Pemimpin, hanya dengan prasangka.

Perbedaan antara mitos dan ideologi sebagai gerakan sosial ialah: dalam mitos orang tidak peduli dengan ada atau tidaknya fakta tetapi hanya mengikuti pendapat pemimpin, sedangkan dalam ideologi orang melihat fakta-fakta sosial dengan subjektivitas tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam mitos orang hanya menyesuaikan diri dengan kelompok, sedangkan dalam ideologi orang mempunyai kepentingan dan menyalurkannya secara kolektif. Dalam mitos orang mendasarkan diri tidak pada pertimbangan yang masuk akal tetapi pada emosi, sedangkan dalam ideologi orang sudah berpikir berdasar perhitungan-perhitungan.

Mitos hanya meliputi wilayah yang kecil, sedangkan ideologi mencakup wilayah kerja yang luas, wilayah nasional. Dalam mitos orang bergerak tanpa tahu tujuannya dan hanya asal mencari tatanan yang lebih baik, sedangkan dalam ideologi tujuannya ialah membangun kembali masyarakat seperti yang diidamkan. 

Dalam mitos orang hanya menyesuaikan diri dengan kelompok, sedangkan dalam ideologi orang mempunyai kepentingan dan menyalurkannya secara kolektif. 
 

Sebelum kemerdekaan, adanya ideologi dalam kesadaran keagamaan umat Islam diwakili dengan baik oleh SI seperti di atas. Ideologi mereka yang tentu saja tidak tercantum dalam anggaran dasar adalah (1) antikolonialisme dan (2) antifeodalisme, sebab kolonialisme dan feodalisme lah yang dianggap bertanggung jawab atas kemiskinan dan ketertindasan umat.

Ideologi anti-kolonialisme SI tampak setidaknya dua kali --sekalipun kedua-duanya secara tidak terus terang.

Pertama, meskipun SI-SI lokal dan pada mulanya para pemimpin, termasuk Tjokroaminoto, tidak setuju, tetapi CSI dengan segan menerima militie plicht (wajib militer) pada 1915.

Kedua, SI Solo mencoba mempermalukan otoritas Belanda dengan mendukung nasionalisme Jawa; pada tahun 1915 SI Solo ikut merayakan secara besar-besaran perkawinan kedua Pakubuwono X. Adapun sikap anti-feodalisme itu tampak di antaranya dalam upacara, bahasa, dan agama.

Dalam upacara-upacara SI akan menggunakan tambur dan bukan gamelan seperti layaknya priyayi. Dalam bahasa dengan bersemangat SI mendukung gerakan Jawa Dipo (bahasa Jawa ngoko tanpa tataran) yang bergerak dari Surabaya mulai 1918.

Dalam agama SI menuntut diadilinya penghina Nabi dari Solo yang pasti dari tradisi abangan (yang menyebut Nabi sedang mabuk waktu menerima wahyu) pada 1918 dengan membentuk Comite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad di SI-SI lokal. Penghina Nabi dari tradisi abangan itu tidak bisa diadili karena masih tergolong bangsawan yang ada di bawah yurisdiksi Sunan. 

Marxisme mulai berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia sekitar Perang Dunia I. 
 

Marxisme mulai berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia sekitar Perang Dunia I. Penyebar Marxisme dengan tepat memilih SI Semarang untuk disusupi, sebab Semarang menyediakan SDM untuk tumbuhnya gagasan kesadaran kelas. Semarang adalah kota pelabuhan dan stasiun kereta api. Sudah ada organisasi buruh kereta api.

Kaum buruh itu sudah mengalami proletarianisasi. SI Semarang yang ada di bawah Semaun pada 1916 berkembang dengan pesat. SI Semarang yang telah terpengaruh oleh Marxisme itu menjadi penentang CSI dalam taktik melawan kolonialisme; CSI kompromistis dan SI Semarang radikal.

Pada tahun 1920 Semaun menjadi Ketua PKI (Perserikatan Komunis di India) tanpa melepas keanggotaan SI. Pada 1923 ada 'SI-Merah' dan ada 'SI-Putih' yang menunjukkan bahwa SI telah pecah menjadi SI kiri dan SI kanan.

Akan tetapi, dalam kongres tahun 1923 itu juga SI menerapkan disiplin partai untuk menghabisi pengaruh 'SI-Merah'. 'SI-Merah' kemudian menjadi Sarekat Rakyat dan akhirnya melebur ke dalam PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam tahun 1924.

Dengan meleburnya Sarekat Rakyat ke dalam PKI, maka lengkaplah sudah perangkat organisasi kesadaran kelas. PKI berhadapan dengan SI, Marxisme dengan Pan-Islamisme. Pertentangan antara kesadaran kelas dan kesadaran keagamaan itu terus dibawa ke sesudah kemerdekaan. 

Wakil dari periode ideologi setelah kemerdekaan yang paling vokal ialah Masjumi. 
 

Wakil dari periode ideologi setelah kemerdekaan yang paling vokal ialah Masjumi. Sebagai pewaris dari SI, Masjumi selalu mencetak kembali buku Tjokroaminoto, Socialisme Islam (1924) berkali-kali. Rekonstruksi sejarah mengenai ideologi ini semata-mata berdasar apa yang dikerjakan, tidak bedasarkan apa yang tercantum dalam asas.

Ideologi Masjumi ialah (1) antikomunis, (2) negara demokrasi (yang sering dipersangkakan sebagai negara Islam), dan (3) antidiktatorisme.

Sebagai kekuatan antikomunis lewat Hisbullah-Sabilillah Masjumi aktif dalam penumpasan pemberontakan komunis pada 1948. Sejak itu sampai membubarkan diri pada 1960 Masjumi jadi musuh PKI dengan isu 'Negara Islam' yang dibeli oleh orang luar dan umat Islam sendiri.

Sebagai demokrat ia ikut dalam demokrasi parlementer, kabinet, pemilu, dan Konstituante. Sebagai antidiktatorisme Masjumi yang melihat tanda-tanda itu dalam Demokrasi Terpimpin dan pada 1957 mencoba menolaknya, tetapi justru peran politiknya yang berakhir. Pada 1960 Masjumi menyatakan diri bubar.

Praktis tidak ada partai politik Islam di masa Orde Baru, bahkan sebelum deideologisasi partai dan ormas secara resmi berlaku pada 1985. Sesudah Reformasi pada 1998 memang ada partai-partai lama dan baru dengan ideologi Islam, seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang), dan PK (Partai Keadilan). Tetapi, belum jelas benar apa arti ideologi itu bagi mereka, masih bersifat formal. 

Praktis tidak ada partai politik Islam di masa Orde Baru, bahkan sebelum deideologisasi partai dan ormas secara resmi berlaku pada 1985. 
 

Periode Ilmu

Mobilitas sosial vertikal yang mendatangkan kekayaan berkat perdagangan, bagi umat Islam selain melahirkan ideologi, juga mempersiapkan Islam memasuki periode ilmu. Keduanya mempunyai perbedaan dan persamaan.

Perbedaannya ialah lahirnya ideologi pada awal abad ke-20 sangat cepat evolusinya, periode ilmu evolusinya memerlukan waktu yang jauh lebih lama, yaitu sekitar 75 tahunan.

Persamaannya ialah periode ideologi didahului dengan mitos, periode ilmu juga ada pendahulunya. Periode ilmu yang merupakan proses ambil-alih ilmu-ilmu modern, didahului dengan proses ambil-alih substansi dan metodenya, sebelum pada akhirnya ia diberi substansi keislaman.

Apakah beda antara ideologi dan ilmu? Keterangan di bawah ini akan membuat keduanya jelas. Mengenai fakta ideologi melihatnya secara subjektif, sedangkan ilmu melihatnya secara objektif.

Barangkali sebuah contoh konkret akan memperjelas perbedaan ini. Pada tahun-tahun 1960-an PKI melihat fakta secara subjektif dengan tidak memasukkan Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi Cina perantauan) sebagai borjuasi, hanya karena PKI berkepentingan dengan dana mereka.

Padahal, jelas-jelas Baperki adalah borjuasi tulen. Mengenai analisis, ideologi akan melihatnya berdasar norma organisasi, sedangkan ilmu melihatnya sesuai dengan fakta di lapangan. Lagi-lagi kita contohkan bagaimana PKI melihat situasi.

Di desa-desa di mana tuan tanah tidak ada, PKI terpaksa mengangkat lurah desa yang mempunyai tanah dan bengkok lebih lima hektar sebagai tuan tanah, karena demikianlah norma partainya. 

Mengenai fakta ideologi melihatnya secara subjektif, sedangkan ilmu melihatnya secara objektif. 
 

Mengenai metode, struktural artinya ideologi menggunakan perangkat politik, sedangkan kultural artinya ilmu menggunakan kekuatan kebudayaan. Rekonstruksi total, artinya ideologi menghendaki supaya masyarakat berubah secara keseluruhan dan serempak. Rekonstruksi parsial, artinya ilmu hanya menghendaki perubahan yang terperinci dan satu per satu.

Sejarah munculnya periode ilmu itu demikian. KH Ahmad Dahlan adalah pribadi kreatif yang memulai gerakan Islam, Muhammadiyah, pada 1912 di kampung Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah mengadopsi ilmu-ilmu modern sepenuhnya dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, kepanduan, dan perkumpulan sepak bola.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah menyebabkan dan mendorong adanya mobilitas sosial. Mula-mula mobilitas itu hanya melahirkan elite terpelajar yang terdiri dari guru, pegawai negeri, dan pegawai perusahaan, seperti pada umumnya sekolah-sekolah Belanda.

Namun, pada sekitar 1980-an mobilitas itu --sekalipun tidak selalu terkait dengan Muhammadiyah-- telah melahirkan elite baru, yaitu kaum profesional yang terdiri dari eksekutif, akademisi, pegawai tinggi, intelektual, dan sebagainya.

Peristiwa yang merupakan hasil evolusi sosial yang panjang itu secara resmi ditandai dengan munculnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) pada 1990, organisasi Islam non-politik dan ormas non-sektarian.

Disadur dari Harian Republika edisi 28 Agustus 2001. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Cegah Politisasi Puasa

Puasa itu membela yang lemah karena dilemahkan dan membantu yang miskin.

SELENGKAPNYA

Misteri Hubungan Jawa dengan Imperium Utsmani

Sistem kepangkatan di dalam pasukan Pangeran Diponegoro juga dibuat sesuai dengan Turki Utsmani.

SELENGKAPNYA

Sejarah Permulaan Penulisan Sirah

Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya