
Kisah
Kala Gembong Musyrikin Yakin Nabi tak Pernah Dusta
Umayyah bin Khalaf percaya bahwa Nabi SAW tak pernah berdusta, tapi enggan beriman.
Salah seorang tokoh Quraisy yang memusuhi Islam pada masa Nabi Muhammad SAW ialah Umayyah bin Khalaf. Lelaki dari Bani Jumah ini memiliki harta berlimpah dan keluarga besar. Dialah juru kunci Ka'bah. Sumber utama kekayaannya adalah perniagaan, yang sangat ramai terutama kala musim haji tiba.
Ketika itu, ziarah dilakukan orang-orang ke Masjidil Haram tidak lagi murni didasari niat beribadah kepada Allah Ta'ala, melainkan menyembah berhala-berhala di sekitar Ka'bah. Karena itu, sahabat Abu Jahal tersebut sangat khawatir bila status quo Makkah sebagai pusat paganisme tergantikan oleh apa pun jua, termasuk tegaknya agama tauhid.
Kepada setiap peziarah yang datang dari pelbagai penjuru Jazirah Arab ke Makkah, ia selalu menyebarkan desas-desus. Dikatakannya bahwa Nabi Muhammad SAW sudah gila atau kerasukan setan. Ia terus menjadi yang terdepan dalam mencela Rasulullah SAW.
Perangai dirinya dan rekan-rekannya amat buruk karena hendak menjatuhkan reputasi Nabi SAW. Allah SWT menurunkan surah al-Humazah karena kelakuan mereka.
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sungguh, dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Neraka Huthamah." (QS al-Humazah: 1-4).
Sebagai seorang kaya raya, Umayyah bin Khalaf mempunyai banyak budak. Seorang di antara mereka adalah Bilal bin Rabah. Ia amat murka begitu mengetahui bahwa hamba sahayanya itu telah memeluk Islam.
Umayyah pun meringkus dan lalu menyiksa Bilal. Amat keji siksaan yang dijatuhkannya atas Muslim berkulit hitam itu. Salah satu bentuk kelalimannya adalah, ia menindih Bilal dengan sebuah batu besar.
Umayyah pun meringkus dan lalu menyiksa Bilal. Amat keji siksaan yang dijatuhkannya atas Muslim berkulit hitam itu. Salah satu bentuk kelalimannya adalah, ia menindih Bilal dengan sebuah batu besar. Sementara itu, sang Mukmin dibaringkan di atas gurun yang panas di tengah teriknya matahari.
Selama berhari-hari, Bilal disiksa dengan cara demikian. Dalam kondisi itu, budak tersebut tetap tabah. Imannya tidak goyah sedikit pun. Lisannya terus mengucapkan, "Ahad", mengisyaratkan keyakinannya bahwa Allah Maha Esa.
Diriwayatkan bahwa siksaan atas Bilal baru berhenti sesudah Abu Bakar melewati tempat itu dalam perjalanannya ke kampung Bani Jumah. Sahabat bergelar ash-Shiddiq itu lalu menawarkan kepada Umayyah agar mau menukar Bilal dengan seorang budak lelakinya yang bernama Nisthas.
Sebenarnya, Nisthas lahir sebagai orang merdeka. Namun, dalam sebuah pertempuran ia dan kaumnya mengalami kekalahan sehingga dirinya menjadi tawanan. Nisthas lalu dijadikan budak; uangnya yang sebesar 10 ribu dinar pun dirampas. Sesudah itu, ia dibeli Abu Bakar.
Ash-Shiddiq pernah menawarkan kepadanya agar masuk Islam dan menyerahkan harta miliknya. Namun, tawaran itu ditolak. Akhirnya, Nisthas ditukar dengan Bilal. Dalam riwayat berbeda, Bilal dibeli oleh Abu Bakar dari Umayyah dengan harga segantang emas.
Murah hatinya ayahanda 'Aisyah RA itu mendapatkan pujian dari Allah Ta'ala. Beberapa mufasir mengatakan, sosok yang dipuji sebagai "orang yang memberikan harta di jalan Allah dan bertakwa serta membenarkan surga" dalam surah al-Lail ialah Abu Bakar.
Matinya diramalkan
Sesudah Nabi Muhammad SAW dan para pengikut beliau hijrah, orang-orang musyrik terus memikirkan cara agar dapat berhasil menyerang Madinah. Bagaimanapun, tidak semua orang kafir Makkah menghendaki musnahnya umat Islam. Ambil contoh, Umayyah bin Khalaf.
Ia memang sama seperti rekan-rekannya yang menginginkan kematian Rasulullah SAW. Namun, ada beberapa kawan lamanya yang kini di Madinah. Salah satunya adalah Sa'ad bin Mu'adz.
Antara Umayyah dan Sa'ad memang sudah dekat sejak zaman Jahiliyah. Bedanya, yang belakangan itu memeluk Islam dan setia membela Nabi SAW.
Suatu ketika, Sa'ad mengunjungi Makkah. Sebelum kembali ke Madinah, Muslim ini sempat bertamu ke rumah Umayyah. Keduanya lalu berjalan-jalan di dekat Masjidil Haram.
Begitu melihat Ka'bah, ingin sekali Sa'ad bertawaf. Karena merasa simpati, Umayyah pun membiarkannya walaupun tahu bahwa, bila ketahuan, kawannya itu akan dicerca orang-orang musyrik. Tiba-tiba, muncul Abu Jahal yang kemudian mendekati mereka.
"Demi Allah, kalau engkau melarangku tawaf, aku akan memblokade jalan perniagaanmu ke Syam!" ancam Sa'ad kepada Abu Jahal.
Kedua orang itu lalu terlibat adu mulut. Bukannya membela kawan lama, Umayyah justru membujuk Sa'ad agar memuliakan tokoh musyrik yang digelarinya Abu al-Hakam itu.
Merasa kecewa, Sa'ad lalu berkata kepadanya, "Ketahuilah, Umayyah! Aku pernah mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda, engkau termasuk yang akan dibunuh Muslimin."
"Muhammad berkata begitu!?" kata Umayyah, "di mana Muslimin akan membunuhku?"
"Aku tidak tahu," timpal Sa'ad.
Langsung saja Umayyah bergegas pulang. Wajahnya mengguratkan kepanikan. Di rumah, ia berkata kepada istrinya.
"Tahukah kamu apa yang disampaikan kawanku dari Yastrib (Sa'ad)? Dia bilang bahwa Muhammad mengatakan, aku akan dibunuh Muslimin! Demi Allah, Muhammad tidak pernah sekalipun berdusta!"
Demi Allah, Muhammad tidak pernah sekalipun berdusta!"
Sejak saat itu, Umayyah selalu dihinggap ketakutan. Beberapa bulan kemudian, tercetuslah kabar.
Quraisy Makkah akan menyerang Nabi SAW dan para pengikut beliau. Perang Badar di depan mata.

Tiada penolong baginya
Di Lembah Badar, umat Islam dengan izin dan pertolongan Allah SWT memenangkan pertempuran. Padahal, jumlah pasukan Muslimin begitu sedikit bila dibandingkan dengan tentara musyrikin. Banyak tokoh kafir Quraisy yang mati bergelimpangan di medan perang tersebut.
Sebenarnya, Umayyah bin Khalaf enggan mengikuti Perang Badar. Sejak di Makkah, ia terus sembunyi dalam rumah. Namun, ejekan dari Abu Jahal akhirnya membuatnya mau pula ke medan pertempuran.
Abu Jahal mengejeknya sebagai perempuan bila tidak mau membersamai pasukan musyrik. Mendengar wibawanya sebagai pria dilecehkan, Umayyah pun keluar dari rumahnya dan ikut ke Badar.
Maka begitu perang usai, Umayyah sedikit bisa menarik nafas lega: dirinya tidak tewas! Ia memang kalah. Harapannya, ia menjadi tawanan yang kebebasannya bisa ditukar dengan harta tebusan.
Di Lembah Badar, Umayyah terus sembunyi sampai kedua matanya melihat Abdurrahman bin Auf. Kawan lamanya itu tampak membawa tameng besi.
"Ya Abdul 'Amr! Ya Abdul 'Amr! Ini aku, Umayyah, kawan lamamu!" katanya.
Dipanggil berkali-kali, Ibnu Auf tidak menengok. Mengertilah Umayyah bahwa panggilan itu tidak disukainya.
"Wahai Abdullah!"
Barulah Abdurrahman bin Auf menghampirinya. "Ada apa?" tanya sahabat Nabi SAW ini.
"Jadikanlah aku tawananmu. Sungguh, aku lebih merasa aman bila menjadi tawananmu daripada yang lain. Aku bersedia memberikan ratusan unta bunting sebagai tebusan untuk kebebasanku," katanya.
Abdurrahman bin Auf menjawab, dirinya tidak tertarik dengan tawaran itu. Sebab, jihad dilakukannya dengan niat membela agama Allah, bukan harta sebanyak apa pun. Namun, pada saat yang sama ia merasa kasihan. Maka dijadikannya Umayyah sebagai tawanannya.
Begitu mendekati tenda-tenda pasukan Muslim, Umayyah terkejut bukan kepalang. Ia melihat Bilal bin Rabah di kejauhan. Sekuat apa pun upayanya menghindar, orang musyrik ini lalu terlihat oleh mantan budaknya itu.
Bilal pun terkejut. Langsung saja ia dekati bekas majikannya itu. "Sungguh, orang ini adalah Umayyah bin Khalaf!" katanya kepada Ibnu Auf.
"Dia tawananku sekarang. Pergilah engkau," kata Abdurrahman.
"Sekali-kali tidak. Sungguh, aku tidak akan selamat jika ia selamat," kata Bilal lagi. Perkataan itu bermakna, "aku atau dia yang mati."
Karena tidak diberi kesempatan untuk mendekati Umayyah, Bilal pun berteriak agar didengar Muslimin kaum Anshar di sekitar mereka, "Wahai kaum penolong Rasulullah! Inilah gembong kaum kafir! Aku tak akan selamat jika ia selamat!"
Datanglah orang-orang Anshar menyergap Umayyah, yang masih dalam keadaan terbelenggu rantai Abdurrahman. "Merunduklah di belakangku!" kata Ibnu Auf kepadanya.
Namun, sahabat Nabi SAW itu tidak bisa pula menyuruh orang-orang Anshar dan Bilal agar menghentikan tindakannya. Bahkan, kaki Abdurrahman sempat terluka sedikit akibat tersabet pedang seorang Anshar. Mereka memang tidak bermaksud menyakitinya, melainkan hendak menyerang Umayyah yang jongkok di belakangnya.
Akhirnya, Abdurrahman berkata kepada Umayyah, "Sudahlah. Sekarang, kau selamatkan dirimu sendiri. Aku tak bisa lagi menyelamatkanmu."
Maka Umayyah tewas di tangan Bilal dan beberapa Anshar. Kabar kematiannya semakin menjatuhkan moral orang-orang musyrik Quraisy di Makkah.
Sejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYAKala Tokoh Musyrik Terpesona Keindahan Alquran
Terpesonanya tokoh musyrik ini akan Alquran ternyata tidak berarti hatinya menerima Islam.
SELENGKAPNYAShalat Tahajud Berjamaah, Benarkah Makruh?
Riwayat lain dari Imam Ahmad memberi sinyal bahwa hukum shalat Tahajud berjamaah boleh dilakukan.
SELENGKAPNYA