
Resonansi
Menulis, Perintah Tersirat Pertama
Kata 'bacalah' diulang dua kali dalam lima ayat yang merupakan wahyu pertama yang turun.
Oleh ASMA NADIA
Perintah pertama saat ayat pertama turun pada bulan Ramadhan adalah iqra atau bacalah. Tidak hanya sekali, bahkan kata 'bacalah' diulang beberapa kali.
“Iqra (bacalah)!” begitu disampaikan Jibril kepada seorang pemuda. Dengan terkejut, pemuda bernama Muhammad menjawab, “Saya tidak dapat membaca.”
Jibril mendekap hingga lelaki yang kemudian menjadi teladan utama umat itu merasa sesak, sebelum kemudian melepaskan Muhammad sembari berkata lagi, “Bacalah.”
Mendengar ini, Muhammad menjawab, “Apa yang akan saya baca?”
Jibril kemudian membacakan wahyu pertama, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya...” (QS al-Alaq: 1-5).
Kata 'bacalah' diulang dua kali dalam lima ayat yang merupakan wahyu pertama yang turun. Ada banyak bahasan terkait ayat pertama ini.
Ada yang membahas kata ‘bacalah’ mempunyai dua makna, baca secara maknawi dan baca secara harfiah. Baca maknawi berarti berpikir, merenung, mengambil ibrah, menganalisis, mengamati, atau mempelajari. Sedangkan Rasulullah SAW saat mendengar perintah itu, merespons makna kata ‘baca’ secara harfiah.
Ada juga yang membahas betapa ayat dan kata pertama dalam Alquran itu menunjukkan, Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Menghargai pendidikan dan pengajaran.
Ada juga yang membahas betapa ayat dan kata pertama dalam Alquran itu menunjukkan, Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Menghargai pendidikan dan pengajaran. Bahkan, sejak awal Islam sudah memberi penekanan betapa pentingnya informasi.
Namun, jarang yang mengungkap, dengan turunnya ayat pertama tersebut ada perintah implisit yang beriringan dengan pesan bacalah, yaitu menulislah.
Dalam ilmu fikih, ada kaidah Maa laa ya-tim-mul-waa-ji-bu il-laa bi-hi fa-hu-wa waa-jib atau sesuatu yang menjadi syarat bagi sebuah kewajiban, maka hukumnya juga menjadi wajib.
Jika membaca adalah sesuatu yang diperintahkan, menulis menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jika tidak ada yang menulis lalu apa yang dibaca? Ini alasan, kegiatan menulis dalam Islam mempunyai kedudukan yang mulia.
Jika membaca adalah sesuatu yang diperintahkan, menulis menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jika tidak ada yang menulis lalu apa yang dibaca?
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang anak Adam meninggal dunia, amal perbuatannya terputus kecuali tiga hal; sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).
Menulis mempunyai peran yang mencakup ketiga hal tersebut. Pertama, amal jariyah. Salah satu amal jariyah bisa didapatkan dengan menulis. Menulis adalah amal yang berkelanjutan.
Jika tulisan kita memberi informasi atau inspirasi kebaikan, apalagi terus disampaikan dari generasi ke gererasi berikutnya, atas semua kebaikan yang tersebar, sang penulis mendapat manfaat kemudian.
Bayangkan betapa banyak amal jariyah yang terkumpul untuk Imam Bukhari, Muslim, dan para perawi hadis. Dari perjalanan mereka meriset, meneliti, menemukan hadis, dan menghasilkan kitab hadis yang fenomenal.
Meski telah melewati bilangan lebih dari seribu tahun, mereka tetap mendapat pahala atas kerja keras selama hidupnya. Ilmu yang bermanfaat juga erat kaitannya dengan menulis.
Meski telah melewati bilangan lebih dari seribu tahun, mereka tetap mendapat pahala atas kerja keras selama hidupnya. Ilmu yang bermanfaat juga erat kaitannya dengan menulis.
Sebagian besar ilmu yang kita dapatkan saat ini bisa tetap berkembang dari generasi karena ada orang yang menuliskan pengetahuan itu pada masa lalu. Lalu ilmu itu dikembangkan dengan tulisan pada masa selanjutnya. Setiap pengaruh atas manfaat itu akan menjadi amal jariyah di akhirat.
Sayangnya, justru kini banyak orang yang menjadikan tulisannya menjadi dosa jariyah. Misalnya, mereka yang menulis hal yang buruk, termasuk di media sosial lalu menginspirasi orang lain hingga akhirnya tersosialisasikan.
Tidak sedikit orang menyebarkan hoaks lewat tulisan dan mengakibatkan kerusakan. Mereka lupa, orang yang menjadikan menulis sebagai amal buruk bisa menciptakan dosa jariyah bagi dirinya.
Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kalian siapakah orang yang muflis (bangkrut) itu? Para sahabat menjawab, ‘Orang yang muflis (bangkrut) di antara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya harta."
Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang muflis (bangkrut) dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) melaksanakan shalat, menjalankan puasa, dan menunaikan zakat, tetapi ia juga datang (membawa dosa) dengan mencela si ini, menuduh si ini (memfitnah), memakan harta ini dan menumpahkan darah si ini serta memukul si ini. Maka akan diberinya orang-orang tersebut dari kebaikan-kebaikannya. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum ia menunaikan kewajibannya, diambillah keburukan dosa-dosa mereka, lalu dicampakkan padanya dan ia dilemparkan ke dalam neraka. (HR Muslim No. 2581).
Doa anak yang saleh juga bekal amal yang berkelanjutan setelah kita meninggal. Lalu apa hubungannya dengan menulis?
Doa anak yang saleh juga bekal amal yang berkelanjutan setelah kita meninggal. Lalu apa hubungannya dengan menulis?
Bagaimanapun, untuk bisa mendidik anak saleh kita butuh wawasan keilmuan. Dan dari mana ilmu itu berasal?
Di antaranya dari mereka yang menuliskan beragam hal, terkait pengetahuan, agama, parenting, tentang adab dan kesalihan, serta ajaran kebaikan, dan lain-lain.
Jika membaca adalah perintah pertama dalam Alquran, menulis adalah perintah pertama tersirat yang mengiringinya.
Maka mulailah menulis apa saja yang memberi kebermanfaatan, menguatkan, mencerdaskan, dan membawa banyak pengaruh baik lain. Pendeknya, mencipta tulisan yang kemudian menjelma cahaya bagi pembacanya.
Ramadhan Bulan Pencerahan
Ramadhan didesain sebagai bulan penuh cinta: cinta Tuhan dan cinta kemanusiaan.
SELENGKAPNYAVirus Negara Pancasila
Banyak perilaku anak bangsa yang sejatinya mengandung virus menggerogoti eksistensi negara Pancasila.
SELENGKAPNYARamadhan, Puasa, dan Takwa
Seorang hamba tidak akan pernah mancapai derajat takwa sampai ia berhasil mengambil jarak dari yang halal.
SELENGKAPNYA