
Kisah
Si Mental Jahiliyah yang Penuh Ironi
Harits bin Qais dengan mental Jahiliyah, mengingkari ajaran Rasulullah SAW.
Khususnya dalam fase Makkah, Nabi Muhammad SAW menghadapi banyak penentang yang secara terang-terangan menghalangi dakwah. Mereka merasa di atas angin karena pada saat itu Muslimin pada umumnya terdiri atas kaum lemah, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Bagaimanapun kerasnya permusuhan orang-orang ini, Rasulullah SAW tidak mundur sedikit pun dalam menyebarkan risalah Islam.
Salah seorang pembenci Nabi SAW kala itu adalah Harits bin Qais bin Uday. Sosok ini lebih populer dengan sebutannya, Ibnu al-Aithalah. Masyarakat Arab mengenalnya sebagai seorang ahli pahat. Kepiawaiannya diakui luas dalam mengubah sebongkah batu atau kayu menjadi patung berwujud manusia atau hewan.
Keahliannya dalam seni rupa justru menjadikannya lalai. Bahkan, dengan pandirnya ia melakukan dan mengajak orang-orang agar menyembah patung yang dibuatnya sendiri. Watak Jahiliyah amat merasuk dalam jiwanya, mengakar dalam diri lelaki itu.
Harits bin Qais termasuk orang-orang yang diberi tanggung jawab untuk mengurus berhala-berhala yang bertebaran di kawasan Ka’bah pada masa itu.
Harits bin Qais termasuk orang-orang yang diberi tanggung jawab untuk mengurus berhala-berhala yang bertebaran di kawasan Ka’bah pada masa itu. Berbeda dengan mereka yang bertugas membersihkan benda-benda mati tersebut, ia berperan dalam “membetulkan” patung yang telah rapuh atau rusak. Dalam hal ini, kehebatannya terkenal luas.
Kedua matanya dengan cermat bisa mengenali jenis-jenis batu yang berkualitas untuk dijadikan bahan pembuatan patung. Tangannya dengan cermat memahat bongkahan itu sehingga menghasilkan detail bentuk bagian-bagian tubuh manusia. Ketika karyanya itu sudah jadi, ia pun mengumumkannya kepada khalayak.
Orang-orang musyrik meyakini, berhala-berhala adalah representasi Tuhan di muka bumi. Mereka percaya, manusia tidak bisa beribadah langsung kepada-Nya, melainkan harus menyembah-nyembah sejumlah patung yang mewakili Diri-Nya. Bahkan, tidak segan-segan kaum sesat ini memohon kepada benda-benda tak bernyawa itu, bukannya kepada Allah.
Karena itu, musyrikin—termasuk Harits bin Qais—menganggap diri mereka sebagai hamba Allah. Tentu saja, anggapan itu berbeda dengan keyakinan Mukminin dan Muslimin yang percaya bahwa hamba Allah berarti tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.
Mengingkari akhirat
Seperti umumnya orang-orang Quraisy yang bermental Jahiliyah, Harits bin Qais pun mengingkari adanya akhirat. Baginya, kehidupan hanyalah ada di dunia ini. Begitu seorang insan meninggal, maka jasadnya akan habis terurai dalam tanah. Tidak ada kebangkitan dan pertanggungjawaban atas apa-apa yang telah diperbuat.
Maka, menurut Harits dan seluruh orang kafir, kehidupan duniawi adalah segala-galanya. Kepuasan dunia mesti dikejar dan dinikmati dengan segala cara. Ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan firman Allah mengenai akhirat dan Hari Pembalasan, mereka selalu membantah dan mengolok-olok beliau.
Turunlah surah al-Mu`min ayat keempat.
مَا يُجَادِلُ فِىۡۤ اٰيٰتِ اللّٰهِ اِلَّا الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا فَلَا يَغۡرُرۡكَ تَقَلُّبُهُمۡ فِى الۡبِلَادِ
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah engkau (Muhammad) tertipu oleh keberhasilan usaha mereka di seluruh negeri.”
Pernah suatu saat, Harits mengatakan kepada orang-orang, “Muhammad telah menipu dirinya sendiri dan para pengikutnya. Bagaimana mungkin dia menjanjikan kepada mereka bahwa Allah akan menghidupkan kembali manusia setelah mati? Sungguh, waktu dan pergantian hari itulah yang akan membinasakan semua.”
Terkait dengan ucapannya itu, Allah menurunkan firman-Nya, surah al-Jatsiyah ayat ke-24 hingga 26.
وَقَالُوۡا مَا هِىَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنۡيَا نَمُوۡتُ وَنَحۡيَا وَمَا يُهۡلِكُنَاۤ اِلَّا الدَّهۡرُؕ وَمَا لَهُمۡ بِذٰلِكَ مِنۡ عِلۡمٍ ۚ اِنۡ هُمۡ اِلَّا يَظُنُّوۡنَ
وَاِذَا تُتۡلٰى عَلَيۡهِمۡ اٰيٰتُنَا بَيِّنٰتٍ مَّا كَانَ حُجَّتَهُمۡ اِلَّاۤ اَنۡ قَالُوا ائۡتُوۡا بِاٰبَآٮِٕنَاۤ اِنۡ كُنۡتُمۡ صٰدِقِيۡ
قُلِ اللّٰهُ يُحۡيِيۡكُمۡ ثُمَّ يُمِيۡتُكُمۡ ثُمَّ يَجۡمَعُكُمۡ اِلٰى يَوۡمِ الۡقِيٰمَةِ لَا رَيۡبَ فِيۡهِ وَلٰكِنَّ اَكۡثَرَ النَّاسِ لَا يَعۡلَمُوۡنَ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’ Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.
Dan apabila kepada mereka dibacakan ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain mengatakan, ‘Hidupkanlah kembali nenek moyang kami, jika kamu orang yang benar.’
Katakanlah, ‘Allah yang menghidupkan kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan lagi; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’”
Yang sungguh ironi adalah, Harits dan kaum musyrikin lainnya meyakini bahwa tidak ada kehidupan sesudah kematian ragawi. Sementara itu, pada saat yang sama, mereka meyakini bahwa benda-benda mati dapat mengabulkan doa manusia. Bahkan, benda-benda itu adalah buatan tangan mereka sendiri, termasuk Harits sebagai si pembuat patung.
Karena itu, sejatinya yang orang-orang ini sembah adalah hawa nafsu mereka sendiri. Terkait fenomena ini, Allah berfirman dalam surah al-Jatsiyah ayat ke-23.
اَفَرَءَيۡتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰٮهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلۡمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمۡعِهٖ وَقَلۡبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً ؕ فَمَنۡ يَّهۡدِيۡهِ مِنۡۢ بَعۡدِ اللّٰهِ ؕ اَفَلَا تَذَكَّرُوۡنَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Ironi lainnya dari sosok Harits bin Qais adalah kenyataan bahwa seluruh anak-anaknya justru memegang teguh ajaran Rasulullah SAW. Bukan hanya berislam, mereka pun tampil sebagai mujahid-mujahid nan tangguh.
Abu Qais bin Harits gugur sebagai syuhada Muslim dalam Perang Yamamah pada 12 Hijriyah, yakni era Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.
Ironi lainnya dari sosok Harits bin Qais adalah kenyataan bahwa seluruh anak-anaknya justru memegang teguh ajaran Rasulullah SAW. Bukan hanya berislam, mereka pun tampil sebagai mujahid-mujahid nan tangguh.
Harits bin al-Harits bin Qais pun gugur dalam pertempuran Muslimin versus Romawi di Ajnadin pada 634 M. Akhir yang sama juga dialami saudaranya, Tamim bin Harits.
Kemudian, seorang lelaki yang dikenal pula sebagai seorang penyair pembela Nabi SAW, Abdullah bin Harits gugur dalam perang melawan orang-orang Thaif di Perang Hunain pada 8 Hijriyah.
Selanjutnya, Hajjaj bin Harits dan Sa’ib bin Harits juga meninggal dalam perang yang sama. Begitu pula dengan Bisyr dan Ma’mar bin Harits.
Sa’id bin Harits gugur dalam Perang Yarmuk, yakni Muslimin melawan Bizantium pada 15 Hijriyah.
Maka, sang ayah mereka mengalami akhir yang sama sekali berlainan. Tidak jauh berbeda dengan kawan-kawannya yang memusuhi Nabi Muhammad SAW, Harits bin Qais pun mati mengenaskan.
Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan bahwa dirinya menemui ajal usai diazab Allah SWT. Seperti dituturkan Muqatil bin Sulaiman, yang meriwayatkan sebagai berikut.
Suatu ketika, Rasulullah SAW berjalan melewati Harits bin Qais. Kemudian, turunlah Malaikat Jibril, yang lantas bertanya kepada beliau, “Bagaimana menurutmu orang itu?”
“Ia adalah seburuk-buruknya hamba Allah,” jawab Nabi SAW.
Maka Jibril memegang kepala Harits hingga tubuh orang itu membengkak. Tidak lama kemudian, ia pun meninggal.
Puasa Persembahan untuk Allah
Semua ketetapan Allah mesti diterima dan dijalankan. Tak ada tawar menawar.
SELENGKAPNYAAswad bin Abdul Yaghuts, Lisan Si Anti-Islam
Aswad bin Abdul Yaghuts dengan lisannya memusuhi Islam dan Rasulullah SAW.
SELENGKAPNYAMutiara Ramadhan Hari Ini
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.. QS AlBaqarah 183
SELENGKAPNYA