KH Hasyim Muzadi | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Puasa Persembahan untuk Allah

Semua ketetapan Allah mesti diterima dan dijalankan. Tak ada tawar menawar.

Oleh KH HASYM MUZADI

Semua ibadah dalam Islam, mahdhah maupun ghairu mahdhah, didesain untuk kepentingan umat manusia. Manusia butuh ibadah sebagai fasilitas untuk mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Yang mengabaikan apalagi meninggalkan ibadah berarti membuang kesempatan mereguk tujuan hidup: kebahagiaan. Karena itu, siapa yang merasa shalat wajibnya kurang sempurna, agama masih menyiapkan shalat-shalat sunah untuk menambal yang “bolong”.

Agar apa? Agar bahagia. Siapa yang belum yakin zakat wajibnya tertunaikan dengan sempurna, agama juga masih menyediakan zakat sunah. Kita bisa menyempurnakannya dengan memberi sedekah, infak, hibah, wakaf, serta bentuk-bentuk lain di luar zakat wajib. Siapa yang tidak yakin haji wajibnya dilaksanakan sesuai manasik Rasulullah SAW maka masih ada wahana lain sebagai haji sunah melalui ibadah umrah. Semua ada sunahnya. 

Padahal, puasa mestinya kita jadikan sebagai momentum kita berlatih pulang ke hadirat Allah. 
 

Apalagi, jika ibadah-ibadah itu dilakukan pada bulan suci Ramadhan. Menurut banyak keterangan, baik dari kita suci apalagi dari sabda nabi, semua ibadah pada bulan Ramadhan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Ibadah sunah pada bulan lain akan disiapkan pahala ibadah wajib pada bulan ini. Membaca satu ayat Alquran pada bulan Ramadhan disiapkan pahala seperti telah mengkhatamkan semua isi Alquran.

Memberi santunan seharga seribu rupiah akan mendapat pahala seakan telah bersedekah sebanyak sejuta rupiah. Melakukan tadarus, iktikaf di masjid, umrah, sama'an Alquran, memberi penganan buka puasa untuk yatim piatu dan menyiapkan makan sahur untuk fakir miskin akan memperoleh pahala yang berlipat-lipat. Semua pahala dan jaminan keselamatan itu kita peroleh dari Allah SWT untuk kita. Semuanya untuk kita. Ya, semua pahala itu untuk kita.

Padahal, puasa mestinya kita jadikan sebagai momentum kita berlatih pulang ke hadirat Allah. Puasa pada bulan Ramadhan ibarat kita tengah bersiap diri untuk mudik ke kampung halaman paling abadi kita, yakni Allah Allah SWT. Bukankah sering kita dengar Dia berfirman “...Tsumman Ilayya marji'ukum” (Kemudian kepada-Kulah tempat kalian semua pulang). Siap atau tidak, mau atau tidak, pada saatnya kita harus pulang kepada Allah. 

Pada waktu yang sudah ditetapkan, kita akan mudik ke akhirat, kampung halaman kita. 
 

Seperti yang terjadi di dunia, semua orang yang mudik selalu terbesit dalam dirinya untuk pulang membawa banyak persembahan bagi keluarga di kampung. Sebelas bulan lamanya kita bekerja di kota, ingin rasanya ketika mudik bisa memberi persembahan yang bisa membuat keluarga di kampung senang dan bahagia. Semua ingin kita bawa sebagai tanda kasih kita kepada mereka. Setahun sekali, kapan lagi kalau tidak pas mudik ke kampung.

Pada waktu yang sudah ditetapkan, kita akan mudik ke akhirat, kampung halaman kita. Persembahan apakah yang kita yakini dapat membuat Allah senang dan bahagia? Penting untuk selalu ingat bahwa puasa itu memiliki keistimewaan. Amalan lain akan kembali untuk pelakunya dengan kelipatan 10 kebaikan atau lebih. Tapi, tidak untuk puasa. Ibadah ini Allah khususkan untuk diri-Nya. Maka, pahala puasa bisa tak terhingga pahalanya.

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan 10 kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan Rabbnya ….” (HR Bukhari-Muslim). 

Sebagaimana firman-Nya: semua ibadah akan kembali pahalanya kepada manusia tetapi puasa hanya milik Allah semata. 
 

Inilah ibadah yang akan menjadi persembahan kita untuk Allah. Sebagaimana firman-Nya: semua ibadah akan kembali pahalanya kepada manusia tetapi puasa hanya milik Allah semata. Tidak berarti pahala puasa tidak akan kembali kepada kita, tetapi hanya Allah yang berhak menentukan berapa kelipatan yang akan dianugerahkan kepada mereka yang menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesabaran. Bukankah Ramadhan juga Bulan Sabar?

Rasulullah menyebut Ramadhan sebagai Syahrus Shabr (Bulan Kesabaran). Mengapa? Karena pada bulan itu, semua kaum Muslimin harus bersabar untuk taat dan patuh hanya kepada perintah Allah. Pada bulan itu, mereka harus bersabar untuk meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah. Pada bulan itu, kita semua harus bersabar menyikapi semua ketetapan Allah yang menyenangkan atau yang membuat hidup kita getir.

Karena melakukan tiga bentuk kesabaran itu maka pahala yang dijanjikan Allah tak ada batasnya. Batasnya hanya Allah yang memastikan. “Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar: 10). Mereka yang tidak bersabar tidak punya kesempatan menikmati semua macam ibadah pada bulan Ramadhan. Bersabar tidak makan dan tidak minum, biasa. Tapi, bersabar atas ketetapan Allah. 

Semua ketetapan Allah mesti diterima dan dijalankan. Tak ada tawar menawar. 
 

Semua ketetapan Allah mesti diterima dan dijalankan. Tak ada tawar menawar. Kita harus mendahulukan kehendak Allah di atas kehendak kita. Memakan barang halal adalah hak kita. Menikmati minuman milik kita adalah hak kita. Semua yang menjadi milik kita adalah halal untuk kita. Tetapi, karena Allah menetapkan berpuasa pada bulan Ramadhan maka yang halal pun kita tahan sampai tiba waktunya hal itu bisa kita nikmati.

Kesabaran bisa membantu kita menerima dan mematuhi semua ketetapan Allah. Bahkan, Allah mengingatkan kita untuk meminta pertolongan dengan kesabaran dalam menjalani hidup-wasta'iinuu bishshabri. Allah memaklumkan diri-Nya akan bersama dengan mereka yang selalu bersabar. Jaminan “kebersamaan” tidak bisa didapat di semua ibadah. Berbahagialah yang berpuasa dengan kesabaran. Marhaban, Ya Ramadhan! Wallaahu a'lamu bish shawab.

Disadur dari Harian Republika edisi 14 Juni 2015. KH Hasyim Muzadi (1943-2017) adalah ketua umum PBNU periode 2000-2010.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat