
Konsultasi Syariah
Zakat Fitrah dengan Uang (Senilai 1 Sha') Keliru dan Talfiq?
Bagaimana penjelasan zakat fitrah senilai satu sha' ini?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya mendengar penjelasan yang terjadi setiap bulan Ramadhan bahwa kebiasaan masyarakat Indonesia yang menunaikan zakat fitrah dengan uang dan nilainya merujuk pada satu sha’ (pendapat mayoritas ahli fikih) itu keliru, karena itu talfiq.
Maksudnya, membolehkan zakat fitrah dengan uang itu mazhab Abu Hanifah tetapi takarannya mengikuti pendapat mayoritas. Saya mohon penjelasan dari Ustaz apakah itu benar dan seperti apa penjelasan fikihnya? -- Syahrudin, Pamulang
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Agar jawabannya runut, coba saya jelaskan dalam poin-poin berikut ini.
Pertama, isu syariah. Untuk memperjelas pertanyaan, maka perlu dijabarkan ulang. Jadi isu fikih dalam pertanyaan adalah biasanya masyarakat Indonesia itu ada yang berzakat fitrah dengan uang, misalnya Rp 35 ribu / Rp 50 ribu per orang (wajib zakat fitrah).
Menurut penanya, berzakat fitrah dengan uang senilai Rp 35 ribu / Rp 50 ribu itu keliru (talfiq) karena yang membolehkan berzakat uang itu adalah Abu Hanifah. Sedangkan, nilai Rp 35 ribu / Rp 50 ribu itu merujuk pada satu sha’ kurma / 3,5 kg beras.
Padahal menurut asumsi penanya, pendapat Abu Hanifah itu bukan satu sha’ (Rp 35 ribu / Rp 50 ribu), tetapi setengah sha’ atau Rp 17.500 / Rp 25 ribu.
Sehingga dalam ushul fiqih ini tidak ada konsistensi atau melanggar salah satu kaidah ijtihad yaitu talfiq (menggabungkan pendapat Mazhab Abu Hanifah dalam kebolehan berzakat fitrah dengan uang dengan mazhab mayoritas ahli fikih tentang takaran minimum zakat fitrah).
Kedua, kesimpulanmya sudah sesuai dan tidak ada talfiq. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang berzakat fitrah dengan uang senilai satu sha’ kurma (sebagaimana pendapat seluruh ulama) itu sudah sesuai syariah dan tidak ada unsur talfiq.
Hal ini didasarkan pada [1]. Ukuran satu sha’ kurma atau sha' sya’ir itu disepakati seluruh ulama (ijma). Seluruh ulama, baik mayoritas ahli fikih maupun mazhab Hanafi itu sepakat bahwa takaran zakat fitrah adalah minimum satu sha’ kurma atau satu sha' sya’ir (jelai/gandum putih).
Kesimpulan ijma tersebut sebagaimana dilansir Ibnu al-Mundzir dalam kitabnya (al-Ijma). "Seluruh ulama telah ijma’ (konsensus) bahwa takaran kurma dan sya’ir dalam zakat fitrah itu minimum satu sha’.” (Al-Ijma’, Ibnu al-Mundzir, hal. 32).
Dan dijelaskan Ibnu Rusyd, “Seluruh ulama sepakat bahwa zakat fitrah itu ditunaikan minimum satu sha’ kurma atau sya’ir sesuai dengan hadis Ibnu Umar.” (Bidayatul Mujtahid, hal. 29).
Serta ditegaskan asy-Syaukani, “Seluruh riwayat tersebut di atas menunjukkan bahwa objek makanan yang menjadi wajib zakat fitrah yang disebutkan dalam hadis itu satu sha’, semua sepakat tanpa ada perbedaan pendapat kecuali dalam burr dan zabib.” (Nail al-Authar, Asy-Syaukani, hal. 1389).
Hal ini sebagaimana hadis Ibnu Umar RA. Ibnu Umar RA meriwayatkan dan berkata, "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadan minimum takaran 1 sha' kurma atau satu sha' sya'ir terhadap setiap Muslim, baik itu hamba atau merdeka, baik laki-laki atau perempuan, baik anak atau orang dewasa." (HR Jama'ah).
Jadi, baik Abu Hanifah maupun mayoritas ahli fikih telah sepakat (ijma') bahwa takaran sha’ yang dirujuk itu sha' tamr (kurma) dengan takarannya itu satu sha’.
[2]. Perbedaan pendapat terjadi hanya pada selain kurma dan sya'ir. Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat terkait berapa jumlah takaran saat zakat fitrah yang ditunaikan itu dengan selain kurma dan sya’ir (jelai/gandum putih).
(a) Mayoritas ulama )Madzhab Maliki, Madzhab Syafii, dan Madzhab Hanbali) berpendapat bahwa jika qamh (gandum) yang ditunaikan, maka minimum takarannya satu sha’.
(b) Madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika berzakat fitrah dengan burr (gandum merah), maka minimum takarannya setengah sha’.
Oleh karena itu, perbedaan antara mayoritas ulama dengan ulama Hanafiyah itu terbatas pada objek zakat fitrah selain kurma dan sya’ir (jelai/gandum putih).
[3]. Sumber perbedaan. Yang menjadi sumber perbedaan adalah ada beberapa nash hadis yang zahir atau tekstualnya itu kontradiktif. Di antaranya hadis Abu Sa’id al-Khudry, “Kami mengeluarkan zakat fitrah pada masa Rasulullah SAW satu sha’ makanan, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ sya’ir, atau satu sha’ anggur kering." (HR Bukhari Muslim).
Dalam hadis Abi Sa’id menurut Ibnu Rusyd, lafaz tha’am dalam hadis itu qamah (gandum). Sedangkan az-Zuhri itu meriwayatkan dari Abi Sa’id dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Zakat fitrah itu minimum satu sha’ burr antara dua, atau satu sha' sya'ir, atau satu sha' kurma dari setiap orang.” (HR Abu Dawud).
Kemudian Ibnu al-Musayyab berkata, “Zakat fitrah pada masa Rasulullah SAW itu minimum setengah sha’ hinthah atau satu sha’ sya’ir atau satu sha’ kurma."
Para ulama yang mengambil dan berdalil dengan nash-nash di atas, mereka berpendapat bahwa jika burr yang menjadi objek zakat fitrah, maka takarannya minimum setengah sha’.
Sedangkan para ulama yang berdalil dengan zahir hadis Abi Sa’id dan menganalogikan burr dengan sya’ir, maka mereka menyamakan dalam hal kewajiban ketentuan burr dan sya’ir.
Sebagaimana penjelasan Ibnu Rusyd, “Para ulama berbeda saat yang ditunaikan adalah gandum; di mana Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat minimum satu sha’, sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat jika yang ditunaikan burr maka minimum setengah sha’.
Sumber perbedaannya adalah beberapa atsar yang berbeda makna. Mereka yang berdalil dengan hadits tersebut berpendapat setengah sha’ burr. Sedangkan yang berpendapat dengan zahir hadis Abi Sa’id dan menganalogikan burr dengan sya’ir, maka menyamakan keduanya dalam ketentuan wajibnya." (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal.29).
Menurut asy-Syaukani, perbedaan pendapat antara sha’ dan nisfu sha’ itu kemungkinan perbedaan takaran satu komoditas di satu daerah dengan daerah yang lain.
Sebagaimana yang disampaikan oleh sahabat Mu’awiyah terkait dengan pandangannya dua mud sebagai takaran untuk zakat fitrah karena itu sama dengan satu sha’. Ia mengatakan setengah sha’ untuk komoditas daerah sama dengan satu sha’ di Madinah saat itu.
[4]. Pendapat terpilih (rajih). Syeikh Ali Qurah Dhagi memilih pendapat yang kesimpulannya bahwa zakat fitrah itu boleh didahulukan yang ditunaikan dalam bentuk uang (qimah) senilai dengan satu sha’ tamr atau sya’ir karena itu adalah mazhab mayoritas sahabat dan tabi’in, salah satunya Umar bin Abdul Aziz.
[5]. Madzhab Hanafi (1 sha' kurma dan syarih) di seluruh literatur fikih. Peta perbedaan pendapat sebagaimana dijelaskan dalam poin pertama dan kedua itu dijelaskan dalam semua literatur fikih mazhab dan fikih muqaran.
Misalnya dalam literatur hadis ahkam seperti Nail al-Authar juga dijelaskan perbedaan tersebut. Begitu pula dalam literatur fikih mazhab dan muqaran, seperti Bidayatul Mujtahid, dan lain-lain.
Oleh karena itu, pandangan bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat zakat fitrah dengan setengah sha’ kurma atau sya'ir itu tidak ada dalam literatur fikih.
Ketiga, jika didasarkan pada pendapat Imam Abu Hanifah yang membolehkan berzakat fitrah dengan uang, maka kurma tersebut dianalogikan dengan beras di Indonesia karena keduanya makanan pokok.
[c]. Selanjutnya, jika beras senilai satu sha’ itu adalah 3,5 kg atau senilai Rp 35 ribu / Rp 50 ribu, maka angka Rp 35 ribu / Rp 50 ribu itu sudah tepat didasarkan pada kurma yang menurut takaran Abu Hanifah dan mayoritas ulama itu satu sha’.
Wallahu a'lam.
Istri tak Perawan, Bolehkah Dicerai?
Keperawanan tidak termasuk alasan diperbolehkannya gugat cerai dari suami atau istri.
SELENGKAPNYAIkhtiar Indonesia Mencegah Perang Irak
Pada awal 2003, marak aksi menentang serangan AS ke Irak.
SELENGKAPNYA