Pengunjung menikmati keindahan dari atas Benteng Marlboroug di Bengkulu. | Republika/Agung Supriyanto

Safari

Menjenguk Bengkulu

Bengkulu merupakan daerah yang mempunyai sejarah panjang dengan kolonialisme Inggris.

Kota ini telah ratusan tahun meretas jalan panjang masa ke masa riwayat Nusantara. Kota Bengkulu menjadi sekeping emas di tengah rantai sejarah kerajaan, hingga kolonialisme bercokol di wilayahnya. Bengkulu disebut-sebut kota yang berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia.

Sederet pujian itu tertuju untuk kota yang berada di pantai barat Pulau Sumatra ini. Hanya satu jam penerbangan, sampailah kami di Bengkulu yang begitu eksotis panorama alamnya. Mayoritas wilayahnya induknya, Provinsi Bengkulu, membujur sepanjang pantai sekitar 525 km. Garis pantai yang sejajar dengan Bukit Barisan membuat wilayah yang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia itu mengundang kekaguman.

Semua aktivitas dan denyut peradaban di daerah berhawa panas ini memang bersandar pada eloknya garis pantai yang dikenal dengan Pantai Panjang tersebut. Kendati begitu, lazimnya wilayah peninggalan kolonial, Bengkulu menyajikan sisa pemetaan kolonial yang begitu ciamik. Morfologi di pusat kota dibangun dalam berbagai sentuhan terpisah, mulai dari peradaban Melayu, Bugis, Cina, Eropa, Arab, hingga India.


Kolonialisme Inggris

Bengkulu merupakan satu-satunya wilayah yang dijajah Inggris di Nusantara. Begitulah sepenggal kalimat yang masih saya rekam dari seorang sejarawan Bengkulu, Agus Setyanto, beberapa waktu lalu. Guru Besar Sejarah Universitas Bengkulu itu paham betul bagaimana tata letak, peradaban, hingga peninggalan Inggris masih bisa jelas terlihat di pusat Kota Bengkulu yang berluas 144,52 km persegi.

photo
Benteng Marlborough peninggalan Inggris yang didirikan oleh East India Company (EIC) tahun 1713-1719 sebagai benteng pertahanan Inggris di Bengkulu. - (Republika/Agung Supriyanto)

"Babak baru Bengkulu muncul pada 1685, saat Inggris datang," ujarnya. Sebelum itu, kata Agus, Bengkulu hanya wilayah yang memiliki beberapa titik pelabuhan milik kerajaan-kerajaan kecil.

Jauh sebelum kedatangan Inggris, kata Agus, Bengkulu merupakan simpul perdagangan yang dikuasai Kerajaan Banten yang saat itu masih dipimpin Sultan Maulana Hasanuddin pada permulaan abad ke-16. Saat itu, titik perniagaan Bengkulu merupakan Pelabuhan Selebar yang berada di pesisir barat Bengkulu. Pada era Banten saat itu, Bengkulu dikuasai kerajaan berbagai suku, semisal Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan Marau Riang. Semua kerajaan tersebut tercatat sebagai daerah vasal (taklukan) Kesultanan Banten.

Sementara itu, Inggris resmi menggoreskan sejarah Bengkulu pada 1685 hingga 1825. Inggris yang saat itu dipimpin Kapten J Andrew datang menggunakan tiga buah kapal: The Caesar, The Resolution, dan The Defence. Selang 44 tahun kemudian, Wakil Gubernur East India Company (EIC) Joseph Collet mendirikan Benteng Fort Marlborough sebagai pusat perdagangan Inggris sekaligus pusat pertahanan militer.

Benteng Marlborough sendiri merupakan sebuah bangunan benteng pertahanan yang terletak di pesisir Pantai Tapak Paderi, Kota Bengkulu. Konon, Benteng Marlborough adalah benteng terbesar yang pernah dibangun oleh Inggris semasa kolonialismenya di Asia Tenggara. Gubernur Inggris yang tersohor, Raffles, juga sempat menjejakkan kakinya di Fort Marlborough pada 19 Maret 1818. Dia bertugas sebagai gubernur jenderal kala itu.

photo
Pengunjung di Benteng Marlborough, di Bengkulu. - (Republika/Agung Supriyanto)

"Ada catatan fisik yang hilang sampai di situ. Sebelum Fort Marlborough, Inggris lebih dulu membangun benteng sederhana, Fort York namanya," kata Agus menambahkan. Lokasi benteng pertama itu berada delapan mil dari benteng saat ini. Kondisinya hari ini sudah tak berbekas.

Beralihnya Bengkulu ke dalam cengkeraman Inggris, kata Agus, tidak terlepas dari upaya Banten yang saat itu coba menghalang-halangi Belanda turut campur dalam lumbung bisnisnya di Bengkulu. Itu adalah hal yang logis, mengingat saat itu Belanda yang telah menguasai Banten pada era Sultan Haji melakukan politik pecah belah yang kemudian meruntuhkan semangat perlawanan Kesultanan Banten. 

 

Sekilas Bengkulu

Pada 1824 lewat Traktat London, Inggris menyerahkan Bengkulu ke tangan Belanda, sedangkan Belanda menyerahkan Malaka dan Singapura ke Inggris. Belanda baru sungguh-sungguh mendirikan administrasi kolonialnya di Bengkulu pada 1868.

Cerita turun-temurun yang didapat, Bengkulu berasal dari kata 'bangkai' dan 'hulu' yang memiliki arti bangkai di hulu. Konon, pernah terjadi perang antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu. Korban perang banyak yang bergelimpangan di hulu sungai Bengkulu. Mayat yang membangkai dikisahkan menjadi suatu wilayah yang kemudian disebut oleh orang-orang Melayu di sana menjadi ‘bengkulu’.

photo
Benteng Marlborough merupakan benteng peninggalan Inggris, Benteng ini didirikan oleh East India Company (EIC) tahun 1713-1719 di bawah pimpinan gubernur Joseph Callet sebagai benteng pertahanan Inggris di Bengkulu. - (Republika/Agung Supriyanto)

Pasca kekuasaan Inggris, wajah Bengkulu tak kemudian simsalabim terbentuk. Ada beberapa fase cukup panjang bagaimana kota ini pelan-pelan semakin ramai dan menjadi magnet bisnis dalam simpul ekonomi Asia dan Eropa. Butuh kurang lebih seratus tahun bagi Bengkulu untuk mempersolek diri, bertransformasi dari milik raja-raja menjadi wilayah monopoli Inggris untuk kebutuhan rempah Eropa.

Sepanjang pembangunan dan peradaban Inggris yang kemudian dibangun, Bengkulu, meski bukan episentrum, namun menjadi seruas medan magnet tersendiri untuk berbagai bangsa lain ikut serta dalam aktivitas perniagaan rempah-rempah yang selalu ramai. Ini yang kemudian membuat keragaman penduduk Bengkulu begitu terasa pada abad ke-18.

Pemukim Cina banyak yang mendiami wilayah sepanjang bibir pantai. "Sampai sekarang masih terdapat daerah yang bernama Kampung Cina," kata Agus Setyanto, sejarawan Bengkulu.

Aktivitas perniagaan yang makin ramai tidak terlepas dari upaya Inggris menjamin keberlangsungan aktivitas dagang di kota ini. Dalam kurun waktu hampir 200 tahun (1685-1825), tidak ada catatan berdarah di sepanjang pantai Bengkulu.

photo
Rumah Khas Bengkulu. - (Republika/Agung Supriyanto;)

Kampung Cina yang berada tak jauh dari Pantai Tapak Paderi, satu pantai di Bengkulu, memang menjadi permukiman khusus orang-orang Tionghoa. Memasuki area pecinan, mata akan puas dibanjiri bangunan-bangunan bergaya arsitektur Asia Timur. Selain Kampung Cina, di Bengkulu sendiri juga terdapat Kampung Jawa, Bugis, Arab, dan beberapa kampung etnis lainnya yang lokasinya relatif tak jauh dari pusat kota.

 

Pemakaman orang-orang Inggris

"Berbeda dengan pemukiman orang India dan Afrika. Mereka yang datang adalah budak yang sengaja didatangkan Inggris sebagai pekerja kasar dan buruh bangunan," kata Agus menambahkan. Pemukim Afrika bermukim di lokasi yang saat ini bernama Kampung Kepiri di Bengkulu.

Hanya saja, Meski masih ada Istana Raffles yang kini menjadi kantor gubernur Bengkulu, tidak banyak juga bangunan-bangunan perkantoran atau pemerintahan yang menandakan sentuhan kolonialisme Inggris di Bengkulu. Namun, dahaga akan sejarah kegemilangan Inggris di kota ini bisa ditengok di salah satu sudut Jalan Veteran, Kelurahan Jitra.

Lokasi inilah yang menjadi penanda elegannya Inggris membangun sebuah peradaban yang begitu glamor. Di lokasi ini masih bisa ditengok kompleks pemakaman orang-orang Inggris. Sering dikenal The Christian Cemetery, kompleks ini merupakan kuburan Inggris terbesar di Asia Tenggara. Di pemakaman ini terbaring banyak orang-orang Inggris berbagai kalangan yang pernah berjasa untuk Inggris di Bengkulu. Mulai dari tentara, pejabat, hingga saudagar.

Lokasi yang kerap menjadi rujukan wisatawan ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Kuburan, yang biasanya dikenal menyeramkan, tidak satupun tergambar dari pemakaman yang berada hanya 800 meter dari Benteng Marlborough tersebut. Kompleks pemakaman yang memenuhi lahan 4,5 hektare ini memiliki pemandangan yang menyajikan banyak corak Eropa. Mulai dari gapura masuk hingga goresan cerita dalam nisan sang penghuni petak makam.

"Kuburan ini juga menjadi kebanggaan masyarakat Bengkulu," kata pegiat kota setempat, Sofian Ramadhan.

Di pemakaman ini pula empat buah hati Raffles dimakamkan. Pada kisaran awal abad ke-19, lingkungan Bengkulu memiliki sanitasi yang begitu buruk. Anak-anak Raffles dari istri keduanya, Sophia Hull, tak kuat menahan wabah yang menyerang. Kematian tak bisa terhindar untuk Leopold Stamford (1819-1821), Stamford Marsden (1820-1822), Charlotte (1818-1822), dan Flora Nightingall (1823-1823). Sejak kedatangan Belanda pada 1825, sebagian lahan pemakaman Inggris difungsikan untuk pemakaman orang-orang Belanda.

Disadur dari Harian Republika edisi 23 Februari 2013 dengan reportase Akbar Wijaya dan Angga Indrawan serta foto-foto Agung Supriyanto

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat