Sunarsip | Daan Yahya/Republika

Analisis

Menuju Transisi Energi

Transisi energi adalah jalan menuju transformasi sektor energi global menjadi nol karbon.

Oleh SUNARSIP

Transisi energi kini menjadi agenda global di tengah upaya untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Sesuai istilahnya, transisi energi berarti terdapat proses dalam menekan emisi karbon yang menyebabkan perubahan iklim (climate change).

Transisi energi adalah jalan menuju transformasi sektor energi global menjadi nol karbon. Hal ini mengacu pada pergeseran sektor energi global dari energi berbasis fosil (gas alam, minyak, dan batu bara) ke sumber energi terbarukan atau renewable energy (RE) seperti angin, matahari, air, yang lebih ramah lingkungan.

Sejauh ini, proses transisi energi tersebut telah berlangsung. Namun demikian, perjalanan transisi energi di tingkat global maupun domestik tampaknya tidak akan mudah.

 
Perjalanan transisi energi di tingkat global maupun domestik tampaknya tidak akan mudah.
 
 

Di tingkat global, tanda-tandanya sudah terlihat dari komitmen setiap negara dalam memenuhi target penurunan emisinya. Sebagai bukti, menjelang Conference of the Parties ke-27 (COP27) pada November 2022 lalu, hanya 26 dari 193 negara yang telah menyampaikan updated nationally determined contributions (updated NDC’s) terkait target penurunan emisi pada 2030.

Lambatnya komitmen penurunan emisi, antara lain, disebabkan oleh krisis energi global, terutama di Eropa akibat perang Rusia-Ukraina.

Di tingkat korporasi, sejumlah korporasi energi global yang awalnya bersemangat dengan bisnis RE kini mulai berpikir ulang. Grup korporasi energi asal Inggris BP, misalnya, pada 2020 lalu mengumumkan akan mendekarbonisasi portofolionya, memotong produksi minyak dan gas (migas) hingga 40 persen dari level 2019 pada 2030 dan menyalurkan miliaran dolar ke proyek angin (wind) dan surya (solar).

Namun, seperti diberitakan Financial Times 13 Maret 2023 lalu, BP kini menyatakan “mundur” dari komitmen tersebut. Kepentingan jangka pendek para pemegang saham (shareholders value) menjadi salah satu pertimbangannya. BP akhirnya “mengkalibrasi ulang” target pengurangan migasnya dari semula 40 persen menjadi 25 persen pada 2030.

BUMN migas global atau national oil companies (NOC’s) juga melakukan hal yang sama. Kewajiban dekarbonisasi secara nasional memang mendapat perhatian lebih besar dari NOC’s. Namun, hal ini masih ditempatkan sebagai prioritas kedua setelah masalah keamanan pasokan (security of supply).

Indonesia termasuk negara yang relatif agresif dalam memenuhi NDC’s-nya. Pada COP27, Indonesia memperbaharui komitmen target penurunan emisinya (updated NDC’s) menjadi 31,89 persen (sebelumnya 29 persen) tanpa dukungan internasional dan 43,2 persen (sebelumnya 41 persen) dengan dukungan internasional pada 2030.

 
Indonesia menghadapi tantangan tak mudah untuk memenuhi target tersebut.
 
 

Namun demikian, Indonesia menghadapi tantangan tak mudah untuk memenuhi target tersebut. Tantangan itu, antara lain, berupa tingginya kebutuhan investasi RE, daya beli masyarakat, ketersediaan “energi transisi”, dan tak kalah penting adalah kapasitas fiskal.

Perlu diketahui bahwa investasi RE, seperti di pembangkitan tidak berdiri sendiri. Dibutuhkan investasi besar pula bagi pembangunan transmisi dan jaringan untuk mendistribusikan listrik ke konsumen.

Sebagai ilustrasi, berdasarkan perkiraan McKinsey (2019) dari total investasi ketenagalistrikan (termasuk pembangkit fosil) secara global selama 2018-2025 sebesar 719 miliar euro, sebanyak 286 miliar euro (atau sekitar 40 persen) merupakan investasi berupa transmisi, distribusi dan penyimpanan (storage).

Sejauh ini, investasi pembangkitan dapat dilakukan oleh swasta atau independent power producer (IPP). Namun, untuk transmisi dan distribusi masih menjadi tanggung jawab PLN. Dengan kata lain, kapabilitas finanansial PLN menjadi kritikal bagi pengembangan RE di Indonesia.

Sejauh ini, teknologi RE tergolong masih mahal. Dibutuhkan investasi awal (initial cost) yang besar untuk mengembangkan RE. Konsekuensinya, harga energi yang dihasilkan dari RE saat ini juga mahal.

Problem keterjangkauan (affordable) menjadi tantangan. Sejauh ini, keterjangkauan harga energi di Indonesia masih ditopang oleh subsidi dan kompensasi dari pemerintah.

Kalau harga energi semakin mahal, tentunya subsidi dan kompensasi yang harus disediakan pemerintah akan semakin besar. Sehingga, kemampuan fiskal kita pada akhirnya harus dipertimbangkan.

Transisi energi memang menghadapi dilema. Oleh karenanya, tahapan-tahapan pelaksanaan transisi energi perlu dilakukan secara terukur dan realistis, tapi konsisten.

 
Empat tahapan yang dapat dilakukan Indonesia dalam menjaga proses transisi energi.
 
 

Sehubungan dengan ini, penulis mengusulkan empat tahapan yang dapat dilakukan Indonesia dalam menjaga proses transisi energi.

Pertama, dimulai dengan upaya peningkatan efisiensi emisi karbon pada infrastruktur energi existing. Di pembangkitan listrik, misalnya, dengan mengganti teknologi pembangkit existing dengan teknologi yang rendah emisi (lower emission), mengombinasikan penggunaan bahan bakar RE (seperti biomassa) pada pembangkit batu bara (co-firing), serta mengganti unit-unit pembangkit skala kecil dengan pembangkit berskala lebih besar dan memiliki efisiensi penggunaan bahan bakar yang lebih tinggi dan lower emission. Tak kalah pentingnya adalah pengendalian kualitas energi primer (grade batu bara).

Langkah ini, antara lain, dilakukan Cina melalui BUMN energi yang dimilikinya. SASAC (Kementerian BUMN-nya Cina) menetapkan target konversi energi dan pengurangan emisi pada BUMN-BUMN-nya Cina sejak 2008.

Studi Fitch Rating (2015) menyebutkan bahwa selama periode 2005-2014, Cina berhasil menurunkan rata-rata standar konsumsi batu bara dari 374g/kWh (2005) menjadi 318g/kWh.

Kedua, transisi dari energi fosil beremisi tinggi ke energi fosil beremisi lebih rendah. Dalam praktiknya, transisi energi tidak diawali dengan beralih ke RE sepenuhnya. Sebagai misal, di industri bahan bakar (fuel) dapat dimulai dengan mengombinasikan antara minyak (oil) dengan non-minyak (biofuel) seperti dari minyak sawit (CPO).

Di Indonesia, kita mengenal B30 yang merupakan campuran 30 persen biofuel dalam setiap liter BBM yang dihasilkan. Kemudian, di sektor kelistrikan dapat dialihkan dari batu bara ke energi fosil yang lebih rendah emisi, seperti gas (terutama gas pipa).

Namun demikian, untuk menopang transisi energi ini diperlukan kebijakan intervensi dari pemerintah. Ini mengingat, kedua sumber energi transisi tersebut dipergunakan pula untuk aktivitas ekonomi penting lainnya.

Kecukupan pasokan dan harga akan sangat menentukan keberhasilan dari transisi energi ini. Untuk mencapai tahapan ini diperlukan upaya seperti mempercepat pembangunan infrastruktur gas, dari upstream ke hilir (user) yaitu pembangkit.

Sedangkan untuk memastikan ketersediaan pasokan gas ataupun CPO, kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) perlu dipertimbangkan.

Ketiga, mendorong investasi di infrastruktur RE. Dalam konteks kelistrikan, strategi mendorong investasi RE ini antara lain dilakukan dengan ketiga pendekatan.

Pertama, mendekatkan pembangunan pembangkit RE pada sumber energinya. Dalam konteks di Indonesia, potensi RE terbesar terdapat di luar Jawa (lihat Tabel).

Kedua, prioritaskan pengembangan pembangkit RE pada daerah-daerah yang memiliki kapasitas pembangkit masih rendah.

Ketiga, prioritaskan pengembangan pembangkit RE yang dapat menghasilkan listrik dengan harga yang paling murah sesuai dengan potensi RE di setiap daerah.

 
photo
Tabel: Potensi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia per Teknologi (GW). Data diolah Sunarsip. - (IRENA, Renewables Energy Prospects: Indonesia)

Keempat, mempercepat infrastruktur kelembagaan untuk mendorong transisi energi. Kelembagaan tersebut, antara lain, dalam rangka mewujudkan nilai ekonomi karbon (carbon pricing), baik dengan menggunakan instrumen perdagangan (carbon trade) maupun nonperdagangan (carbon tax).

Menurut peta jalan (roadmap) transisi energi, Indonesia akan memberlakukan carbon trade pada 2025. Dalam rangka mendorong kegiatan investasi di RE, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan penetapan alokasi tertentu (earmarking) pada dana hasil pajak karbon.

Dana hasil pajak karbon tersebut kemudian diberikan, antara lain, berupa insentif fiskal seperti dalam bentuk kredit pajak (tax credit) untuk setiap kegiatan investasi teknologi terkait investasi di RE.

Ikhtiar Indonesia Mencegah Perang Irak

Pada awal 2003, marak aksi menentang serangan AS ke Irak.

SELENGKAPNYA

Merintis Ilmu Hadis

Pembukuan hadis mulai berkembang pesat pada masa Dinasti Umayyah.

SELENGKAPNYA

Gayus Kiri ... Gayus Kiri..

Masyarakat tak punya pilihan selain menggunakan humor untuk menghibur diri.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya