Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Jawa

Seolah-olah Jawa itu satuan yang tidak pernah berubah.

Oleh KUNTOWIJOYO

Gugatan pada budaya Jawa yang melupakan daulat rakyat dan hanya memperhatikan daulat negara baru-baru ini dikemukakan oleh WS Rendra dalam Pidato Kebudayaan Megatruh pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-29 Taman Ismail Marzuki pada 10 November 1997 (Republika, edisi 12 November 1997). Ini kemudian dibenarkan oleh Soetjipto Wirosardjono (Republika, edisi 13 November 1997).

Gugatan itu dapat dimengerti, karena semua aib nasional (otoritarianisme, feodalisme, nepotisme, korupsi, dan kolusi) dilakukan orang bersamaan dengan mengucapkan kata-kata muluk dari khazanah budaya Jawa, seperti, memayu hayuning bawana, sehingga seolah-olah kelakuan itu bersumber pada nilai-nilai Jawa.

Mereka yang menyandang aib sebenarnya sekadar kekudhung walulang macan, menutupi tindakan dengan berpura-pura budaya Jawalah sebagai sumber kelakuannya. Alangkah kasihan budaya Jawa! Gugatan kepada budaya Jawa sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum itu.

Melihat kekumuhan kota Surakarta, RMH Purwo Lelono yang mengunjungi kota itu pada tahun 1865 sudah merasakan perbedaan antara pemukiman daerah gubernemen dengan daerah kejawen. Alasannya lebih berdasarkan pada soal fisik, soal bangunan. Kemudian dalam Polemik Kebudayaan pada 1935-1939 muncul lagi gugatan atas budaya Jawa. Kali itu atas nama etik, karena budaya Jawa dianggap telah menyebabkan fatalisme dan stagnasi.

 

 
Alangkah kasihan budaya Jawa! Gugatan kepada budaya Jawa sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum itu.
 
 

 

Gugatan WS Rendra berbeda dengan kedua macam gugatan terdahulu (fisik, etik). Gugatan itu bersifat politik. Kita lihat bahwa gugatan itu semakin lama semakin keras. Gugatan itu penting karena baik WS Rendra maupun Soetjipto Wirosardjono adalah Javanophile; gugatan oleh orang Jawa yang mencintai budaya Jawa.

Gugatan yang sama sebenarnya telah dikemukakan juga oleh Mochtar Lubis, tapi orang bisa menuduhnya sebagai mempunyai bias non-Jawa. Siapa meragukan kejawaan WS Rendra dan Soetjipto Wirosardjono? Jawa digugat anak-anak terbaiknya sendiri! Dapat diramalkan bahwa pada era pasca-Soeharto gugatan politik semacam itu akan semakin santer.

Dengan budaya Jawa, kebanyakan yang dimaksud adalah kebudayaan yang ada di daerah Kejawen (Vorstenlanden; Yogyakarta, Surakarta), pewaris kerajaan Mataram. Budaya Jawa pada umumnya dianggap sebagai apa yang disebut Redfield sebagai great tradition yang berpusat di istana, sedangkan di luar istana adalah little tradition. Istana sebagai pusat yang memencarkan dan memancarkan budaya. Memang, istana menjadi pusat di mana kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan dibagikan.

 

 
Dengan budaya Jawa, kebanyakan yang dimaksud adalah kebudayaan yang ada di daerah Kejawen, pewaris kerajaan Mataram.
 
 

 

Akan tetapi, pandangan itu kiranya tidak jujur pada kenyataan. Selain istana, masih ada pedesaan dan pesantren. Kalau kita membaca Centhini akan nampak bahwa pedesaan dan pesantren merupakan satuan budaya tersendiri dalam satuan besar yang disebut budaya Jawa. Jadi, kita tidak bisa memandang budaya Jawa secara monolitik.

Budaya Jawa itu mempunyai tiga pusat: istana, pedesaan, dan pesantren. Masing-masing dengan nilai dan simbolnya sendiri.

Tari Bedaya adalah budaya istana. Kuda lumping adalah budaya desa. Selawatan adalah budaya pesantren. Tapi tidak berarti bahwa ketiganya eksklusif. Ronggowarsito, misalnya, juga mengenal budaya pesantren sewaktu ia nyantri di Ponorogo, dan mengenal sabung ayam dari budaya desa. Permainan nini thowok masuk istana lewat para pembantu yang berasal dari desa. Wulangreh karangan Pakubuwono IV dan Wedhatama karangan Mangkunegara IV dibaca orang desa dalam macapatan.

Sementara itu wayang yang berasal dari budaya istana juga dikenal di pedesaan dan pesantrean (Lihat otobiografi Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren). Karya-karya Ronggowarsito adalah karya ''universal'', melingkupi setidaknya dua pusat budaya (istana, pedesaan).

 

 
Budaya Jawa itu mempunyai tiga pusat: istana, pedesaan, dan pesantren.
 
 

 

Dua kesalahan

Ada dua macam kesalahan berpikir mereka yang menggugat budaya Jawa. Pertama, yaitu pars pro toto; dan kedua, anakronisme. Kesalahan pertama, pars pro toto ('sebagian untuk keseluruhan), terjadi karena orang menemukan kebudayaan istana, lalu menganggapnya sebagai totalitas budaya Jawa, seolah-olah budaya Jawa itu hanya satu -- padahal sebenarnya tiga.

Orang mengira bahwa satu-satunya representasi budaya Jawa ialah kebudayaan istana. Konsep tentang kekuasaan bahwa raja adalah gung binathara (penjelmaan dewa) dan ambaudhendha (berkuasa mutlak) adalah konsep raja menurut kebudayaan istana. Menurut kebudayaan istana, raja mempunyai tiga macam kekuasaan (wahyu), yaitu wahyu nurbuat (hak berkuasa atas seluruh jagad), wahyu hukumah (berhak mengadili), dan wahyu wilayah (hak mewakili Tuhan).

Konsep manunggaling kawula gusti (bersatunya rakyat dengan penguasa) berasal dari hierarki yang dibuat oleh kebudayaan istana. Hierarki lain ditunjukkan dalam tingkatan-tingkatan bahasa (undha usuk), di mana basa kedhaton (bahasa keraton) mempunyai kedudukan istimewa, di samping pembagian tiga (krama, madya, ngoko).

Cita-cita demokrasi memang sama sekali tidak nampak dalam kebudayaan istana yang demikian. Status berdasarkan hubungan darah (genealogi) mendominasi kebudayaan istana, sehingga mobilitas sosial berdasarkan ekonomi tidak mendapat pengesahan. Orang besar adalah orang besar, orang kecil bagaimanapun (kaya, berilmu, saleh) tetap orang kecil.

 

 
Cita-cita demokrasi memang sama sekali tidak nampak dalam kebudayaan istana yang demikian.
 
 

 

Akan tetapi, kalau kita melihat dua pusat budaya lainnya -- yaitu pedesaan dan pesantren -- gambaran kita mengenai Jawa akan lain. Pedesaan yang didominasi oleh bahasa ngoko menunjukkan tidak adanya hierarki. Konsep gotong-royong, gugur-gunung, dan sambatan menunjukkan adanya egalitarianisme. Konsep mengenai kekuasaan bersifat primus inter pares (''pertama dari yang sama'').

Di pesantren ada hierarki antara kyai-santri, di mana keluarga kyai memperoleh penghormatan spesial (isteri disebut nyi, anak laki-laki gus). Namun, mobilitas sosial tetap dimungkinkan, tidak segan-segan kyai menjodohkan anak dengan keluarga non-kyai, terutama dengan kriteria keilmuan.

Kesalahan kedua, anakronisme (tidak cocok waktunya), merujuk pada waktu dari mana konsep-konsep Jawa diambil. Jawa yang diambil adalah Jawa yang ageless. Seolah-olah Jawa itu satuan yang tidak pernah berubah: dari dulu sampai sekarang Jawa ''ya begitu''. Kalau orang mengritik budaya Jawa, patut ditanyakan: Jawa kapan?

 
Kalau orang mengritik budaya Jawa, patut ditanyakan: Jawa kapan?
 
 

Kebudayaan Jawa dari tiga pusat budaya itu semuanya berubah. Kebudayaan istana sekarang jauh lebih mempunyai perhatian pada syariat Islam daripada dulu. Penulis pernah diceritai (almarhum) Pak Bakri Syahid (mantan rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta) yang diceritai Pak Sudjak (pimpinan pusat Muhammadiyah) bahwa raja zaman itu (tahun 1910/1920-an) kalau junub tidak perlu mandi sendiri. Seorang abdi dalem yang bertugas akan membunyikan kentong, kemudian seorang abdi dalem kapangulon akan masuk kolam.

Tapi Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah seorang haji. Keraton Yogyakarta juga sering menyelenggarakan acara semaan Alquran. Hamengkubuwana IX terkenal sebagai raja "tahta untuk rakyat". Baru-baru ini Keraton Yogyakarta juga menyeponsori Gelar Budaya Rakyat (GBR). Keraton Yogyakarta semakin meng-Islam dan merakyat.

Di Surakarta, dalang-dalang terkenal (Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudharsono) berasal dari luar keraton. Berdirinya sekolah-sekolah kesenian di luar kraton sesudah Kemerdekaan adalah bukti bahwa kebudayaan Jawa istana berubah. Karenanya, menggugat budaya Jawa hanya berarti menggugat kebudayaan Jawa klasik versi istana.

 
Karenanya, menggugat budaya Jawa hanya berarti menggugat kebudayaan Jawa klasik versi istana.
 
 

Mobilitas budaya semacam itu juga terjadi pada kebudayaan Jawa pedesaan dan pesantren. Gerakan budaya kromo dipo muncul dari kalangan Sarekat Islam pada tahun 1918, sebuah gerakan antifeodalisme, mencoba menghapuskan tataran bahasa dengan bertumpu pada bahasa ngoko.

Mobilitas budaya mengikuti mobilitas sosial. Tidak diragukan lagi setelah ada mobilitas sosial wong cilik dari pedesaan dan pesantren. Substansi budaya Jawa pun berkembang: novel sudah dimulai pada 1920-an dengan tulisan RB Soelardi Serat Riyanto. Puisi Jawa (geguritan) telah membebaskan diri dari klasikisme bentuk (tembang).

Crita cekak (cerita pendek) berkembang dalam bentuk buku dan majalah. Pusat-pusat budaya Jawa juga menyebar secara geografis. Penjebar Semangat dan Djajabaja terbit di Surabaya, tidak di Kejawen. Pengaruh Barat juga masuk budaya Jawa. Demikian pula proses indonesianisasi dan modernisasi perlu diperhitungkan. Gugatan pada budaya Jawa seharusnya beralamat kepada kebudayaan Jawa istana klasik.

Disadur dari Harian Republika edisi 27 November 1997. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Kala Muslimah Memilih untuk Jomblo

Melajang bagi kaum wanita juga menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan ulama.

SELENGKAPNYA

Para Puan Dalam Sejarah Ilmu Islam

Pada masa awal, ada banyak Muslimah terpelajar yang berperan dalam perkembangan syiar agama.

SELENGKAPNYA

Muslimah Kawin Lari, Apa Hukumnya?

Wali bagi calon pengantin perempuan diwajibkan karena dia tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.

SELENGKAPNYA