Pekerja menyemprotkan disinfektan di depan sebuah gereja di Daegu, Korea Selatan, pada 20 Februari 2020. Gereja itu dihadiri pengikut sekte Gereja Yesus Shincheonji. | Kim Jun-beom/Yonhap via AP

Kisah Mancanegara

Mengapa Sekte Sesat Marak di Korsel?

Sekte sesat di Korsel kian jadi sorotan belakangan.

Pada 16 April 2014, tragedi mengguncang Korea Selatan. Sebuah kapal ferry tenggelam di tengah perjalanan dari Incheon menuju Jeju. Sebanyak 306 penumpang, kebanyakan seusia murid SMA, meninggal dunia dalam kecelakaan kapal terbesar dalam sejarah Korea Selatan tersebut.

Namun, yang jadi perbincangan setelah kecelakaan bukan soal tragedi itu saja. Pemilik kapal itu adalah Yoo Byung-eun, pendiri Sekte Penebusan, salah satu aliran kultus yang tengah naik daun kala itu. Ia disebut merayu anak-anak remaja dengan ajaran-ajaran Kristiani yang menyimpang.

Kejadian itu mengingatkan peristiwa pada 1987, saat jenazah 33 orang yang diikat dan disumpal ditemukan tertumpuk di loteng kafetaria pabrik di Yongin, sekitar 50 mil selatan Seoul. 

Pabrik cinderamata turis itu dimiliki oleh Park Soon-ja (48 tahun), pemimpin sekte yang dipanggil ″Benevolent Mother″ oleh para pengikutnya. Park mengklaim bahwa Tuhan menampakkan diri kepadanya dan menyuruhnya untuk mencari pengikut. Sekte tersebut mengaku sebagai aliran Kristen dan memberitakan bahwa dunia akan segera berakhir.

photo
Penjaga Pantai Korea Selatan mendekati feri Sewol Korea Selatan yang tenggelam di perairan Jindo, Korea Selatan pada 2014. - (Penjaga Pantai Korea Selatan/Yonhap)

Saat Covid-19 mendera Korea Selatan pada 2020, sekte Kristiani kembali jadi sorotan. Kala itu, pemerintah Korea Selatan mengumumkan bahwa kasus Covid-19 di negara itu merebak dari perkumpulan di Gereja Yesus Shincheonji di Daegu.

Aliran itu juga mengajarkan ajaran yang dinilai menyimpang dari ajaran Kristiani. Meski begitu, pengikutnya mencapai ratusan ribu di Korea Selatan.

Sementara belakangan, tayangan film dokumenter Netflix "In The Name of God" melejit kepopulerannya sejak dirilis pada Jumat (3/3). Belum ada sepekan, serial tersebut sudah menduduki Top 10 di Netflix Indonesia.

Disutradarai oleh Jo Seong-hyeon, serial tersebut mengungkapkan laporan terperinci dari penyelidikan terhadap empat pemimpin agama yang beraliran sesat. Salah seorang pemimpin agama adalah Jeong Myeong-Seok (JMS). Namanya sangat populer di kalangan mahasiswa tahun 1980-an. Dia mendirikan gereja dan aliran agama Kristen baru. Saat menyebarkan aliran sesatnya, JMS mendapatkan popularitas pada kelompok anak muda.

photo
Jeong Myeong-Seok - (Netflix)

Dia menargetkan mahasiswa dari perguruan tinggi dan universitas. Untuk memikat pengikut muda, JMS mengadakan acara olahraga dan hiburan agar menarik perhatian remaja dan dewasa muda. Hal lain yang diterima anak muda kala itu adalah ajaran JMS tidak seketat dan konservatif dalam hal berpakaian dan perilaku seperti gereja-gereja lain.

Namun, JMS memiliki niat yang sangat berbahaya. Dia mulai berceramah tentang dirinya sebagai Kedatangan kedua Kristus. Selain itu, dia juga memprediksi hasil pemilihan presiden Korea Selatan, tidak hanya dari segi siapa yang akan menang tetapi dari segi detail klasemen pertama, kedua, dan ketiga. Dengan aura dan pesona yang sangat dipuja banyak orang, JMS berdakwah secara internasional di luar Korea Selatan.

Sekitar tahun 1999, tuduhan penyerangan dan pelecehan seksual akhirnya mulai bermunculan. Ada lebih dari 100 pengikut perempuan yang mengaku telah diperkosa. JMS terus mengatakan kepada korban bahwa mereka sedang melakukan pekerjaan Tuhan.

Ada laporan yang menyatakan JMS juga mengklaim kepada beberapa pengikut dekatnya bahwa misinya adalah melakukan hubungan seksual dengan 10 ribu wanita. Meskipun dia mengajarkan kepada para pengikutnya untuk menjauhi perbuatan nista itu, JMS mengklaim dirinya sebagai “Adam murni.”

Rakyat Vietnam juga belakangan dikejutkan oleh sekte sesat yang berasal dari Korea Selatan yang meluas di sejumlah provinsinya. Pihak kepolisian di Provinsi Quang Nam, Vietnam memerintahkan para pengikut Church of God the Mother atau Gereja Tuhan Ibu untuk berhenti mengikuti agama mereka.

Polisi di Komune Cam Ha dilaporkan menggerebek sejumlah orang yang tengah melakukan ritual agama ilegal di sebuah rumah awal pekan ini. Terdapat enam wanita dan empat pria tengah melakukan upacara agama ilegal.

"Polisi menyita sebuah laptop, tiga speaker komputer, 10 Alkitab, lima buku catatan, 14 sprei putih, dan sebuah podium," lapor Radio Free Asia, seperti dikutip pada Kamis (9/3).

Pada April 2018, komite urusan agama pemerintah Vietnam meminta otoritas pusat dan daerah untuk memantau sekte di komunitas gereja tersebut. Komunitas itu juga dikenal sebagai Gereja Tuhan Masyarakat Misi Dunia atau World Mission Society Church of God.

photo
Warga menonton layar TV yang menayangkan siaran langsung pidato Presiden Korea Selatan Park Geun-hye, di Stasiun Kereta Api Seoul, pada November 2016. Park Geun-hye kala itu disoroti karena hubungannya dengan sekte menyimpang. - (AP Photo/Lee Jin-man)

Ketua komite saat itu, Vu Chien Thang meminta otoritas provinsi dan kota untuk memperkuat kerja propaganda dan memberikan panduan kepada para pemimpin kelompok. Gereja Tuhan didirikan di Korea Selatan pada tahun 1964 oleh Ahn Sahng-hong. Pengikut sekte itu menganggap Ahn sebagai sang "Kristus". Menurut situs webnya, ia memiliki lebih dari 3,3 juta anggota di 175 negara.

Mengapa sekte-sekte tersebut begitu populer di Korea Selatan, negara yang kini telah masuk jajaran negara maju?

The Yonsey Annals menerangkan, sedianya tak ada padanan kata untuk "kultus" dalam Bahasa Korea. Kata yang digunakan biasanya adalah "I-dan" alias "bidah" atau "kesesatan". Kata itu adalah istilah teologis, mengacu pada keyakinan yang menentang doktrin agama ortodoks. Artinya, kultus di Korea dipandang sebagai kelompok yang menyimpang dari doktrin agama tradisional.

Universitas Santa Barbara mengidentifikasi sejumlah kriteria agar sebuah gerakan bisa disebut kultus. Yang pertama, sekte membutuhkan pria atau wanita untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai "yang terpilih". Yang kedua, sekte mengajarkan doktrin yang berasal dari salah tafsir Alkitab.

photo
Lee Man-hee, pemimpin Gereja Yesus Shincheonji, berbicara kepada media di Gapyeong, Korea Selatan. - (Kim Ju-sung/Yonhap via AP, File )

Khusus di Korea Selatan, kultus memilih pendekatan Korea-sentris. Kultus Kristen menafsirkan Korea sebagai tanah pilihan dan pemimpin Korea mereka sebagai mesias baru.

Karakteristik ketiga adalah memberikan peta jalan kepada pengikutnya sebagai panduan langkah demi langkah menuju jaminan keselamatan. Keempat adalah kultus terus-menerus berusaha meningkatkan peluang keberadaan mereka.

Terakhir, ada lokasi tertentu. Karakteristik penting karena tempat fisik memungkinkan untuk kontrol terpusat. Namun, di Korea Selatan, dua kriteria lagi bisa ditambahkan. Salah satunya adalah penipuan dalam bentuk pemerasan uang atau kejahatan seksual yang dilakukan atas nama agama. Yang lainnya adalah sinkretisme, penggabungan dan penyatuan berbagai agama dan filosofi.

Kultus di Korea sering berlandaskan agama Kristen, Budha, atau Shamanisme. Tidak seperti di Barat, berbagai agama hidup berdampingan dengan damai di masyarakat Korea Selatan, dan pada akhirnya, masing-masing saling mempengaruhi.

photo
Warga menyaksikan berita tentang pimpinan Korea Utara Kim Jong Un, di Seoul, pada 2022. Di Korea Utara yang merupakan negara komunis, kultus diarahkan pada pimpinan mereka. - (AP/Lee Jin-man)

Akibatnya, sekte Kristen tak jarang menggunakan teks perdukunan alias shamanisme di samping Alkitab. Dengan cara ini, kultus terkadang menggunakan tradisi perdukunan seperti orang kerasukan yang berbicara dalam bahasa tak dikenal.

Terlepas dari percampuran yang aneh dari praktik-praktik keagamaan yang berbeda ini, seringkali masih sulit untuk membedakan kultus dari gereja yang sah. Kultus Kristen Korea mengidentifikasi praktik mereka di bawah Presbiterianisme, denominasi Kristen paling populer di Korea.

Integrasi kultus yang mendalam dalam masyarakat berasal dari era traumatis dalam sejarah modern Korea. “Sebagian besar kultus didirikan di dua era utama: Perang Korea dan kediktatoran militer,” ujar Profesor Tark Ji-il, seorang profesor dan pakar kultus Universitas Presbiterian Busan, dalam wawancara dengan The Yonsei Annals.

Profesor Tark menjelaskan bahwa ketidakstabilan dan ketidakpastian dari era ini memupuk lingkungan yang ideal bagi kultus untuk tumbuh. Perang memupuk ketakutan dan mendorong orang untuk membentuk kelompok-kelompok agama ini untuk mencari stabilitas. Kultus ini terus berkembang selama tahun 1960-an dan 1970-an, karena kediktatoran militer tidak membedakan antara kultus dari gereja. Kediktatoran militer hanya peduli pada kelompok mana yang memberikan dukungan.

photo
Pekerja yang mengenakan alat pelindung menyemprotkan disinfektan di depan sebuah gereja di Daegu, Korea Selatan, pada 20 Februari 2020. - (Kim Jun-beom/Yonhap via AP)

Saat masyarakat menjadi lebih sekuler dan kurang bergantung pada komunitas agama, kultus dengan cara-cara tradisional menjadi kurang populer. Pendekatan mereka berubah. Mereka kini sering terlibat dalam tindakan amal seperti donor darah atau berpartisipasi dalam gerakan lingkungan untuk menyelamatkan citra mereka.

Masyarakat Korea biasanya melihat kultus hanya sebagai masalah teologis, karena mereka terutama berkonflik dengan gereja. Baru setelah penyebaran Covid-19 oleh Shin-cheon-ji, pemujaan tidak lagi dilihat semata-mata sebagai urusan agama. “Karena kebohongan mereka, kultus itu menjadi korban seluruh masyarakat Korea,” kata Profesor Tark.

“Sejak Perang Korea, banyak keluarga telah dihancurkan secara diam-diam (oleh aliran sesat). Sekarang, masyarakat memiliki pemahaman kritis yang baru ditemukan tentang kultus sebagai masalah sosial.” Persepsi baru ini membuat pemerintah dan masyarakat mewaspadai aktivitas kultus yang bermasalah.

Pandemi juga telah memaksa sekte-sekte memindahkan rekrutmen dan aktivitas mereka ke ranah daring. Ruang daring menawarkan anonimitas kultus dan memungkinkan mereka untuk menargetkan orang yang lebih luas. “Tidak ada lagi waktu atau tempat yang aman. Bahkan mereka yang berada dalam wajib militer pun terpapar pada perekrut,” kata Profesor Tark.

Sang Muslimah Pembela Khalifah Utsman

Dengan berani, Nailah binti al-Farafishah menjadi tameng Khalifah Utsman kala hadapi pemberontak.

SELENGKAPNYA

Jurus Filantropi Dulang Fundraising Ramadhan

Baznas akan meluncurkan label Taat Zakat bagi perusahaan pada Ramadhan ini.

SELENGKAPNYA

Kisah Sahabat Nabi yang Miliki Rambut Gondrong

Sahabat Nabi Muhammad SAW ini mengira beliau tidak menyukai rambut gondrong.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya