Opini--Kriminalisasi kritik | Republika/Daan Yahya

Opini

Kriminalisasi Kritik

Setiap kritik juga bisa ditempatkan sebagai stimulan kemajuan.

ABDUL FICKAR HADJARDosen Fakultas Hukum dan Anggota Majelis Amanat Universitas Trisakti

Sejatinya, kritik tidak harus dibatasi arahnya karena ke mana pun dilayangkan sejauh beraspek kepentingan publik, ia akan melahirkan perbaikan dan peningkatan kinerja.

Biasanya, kritik diarahkan pada gagasan (ide), karya, atau pekerjaan yang dihasilkan dari gagasan dan kepada orang atau individu pemilik gagasan ataupun pelaksananya.

Jika diperhadapkan antara kritik dan kekuasaan, sesungguhnya mendekati keadaan ideal meski dalam konteks idealitas trias politika Montesque juga harus memberi peran pada pembuat aturan main yang akan memberi arah perjalanan sejarah sebuah negara.

Kekuasaan memang hadir untuk diawasi meski sejarah mencatat, pengawasan dalam bentuk paling sederhana sekalipun sebagaimana kritik, sering melahirkan kriminalisasi. Prosesnya sering diperankan hukum, yang jadi instrumen efektif membungkam demokrasi.

Seperti kritik yang pernah dikemukakan Plato (427 SM) dan teruji relevansinya sampai kini. Katanya, pada era demokrasi kebebasan yang dimiliki setiap orang dapat melahirkan kesewenang-wenangan karena menganggap dirinya memiliki kebebasan.

 
Tak terhindarkan pada era Reformasi saja, tercatat beberapa kasus yang menggambarkan kritik akan selalu berhadapan dengan kekuasaan.
 
 

Pada siatuasi ini penggunaan hak yang terlalu jauh akan memunculkan hal-hal yang justru tak diinginkan. Tak terhindarkan pada era Reformasi saja, tercatat beberapa kasus yang menggambarkan kritik akan selalu berhadapan dengan kekuasaan.

Egi dan Mita (ICW) yang dipolisikan Kepala Staf Kepresidenan (Moeldoko), Haris Azhar dan Fatia (Kontras) oleh Menko Maritim dan Investasi (Luhut Panjaitan), serta Ubaidilah Badrun (Dosen IKIP) oleh Jokowi Mania.

Beberapa pengaturan yang sesungguhnya bersifat keperdataan (privat) juga diakomodasi di ranah pidana.

Terlanggarnya kepentingan umum sebagai dasar kriminalisasi atau pemidanaan suatu perbuatan yang sesungguhnya perdata itu, didasarkan pada arah mencegah kesewenangan setiap orang pada orang lain.

Dalam hukum pidana Indonesia, dikenal pasal-pasal terkait penggelapan (372), penipuan (378), dan pencemaran nama baik (335) yang sesungguhnya kerugian timbul pada orang perorangan saja.

Pencemaran nama baik dipandang sebagai stigma negatif pada orang lain berdasar fakta tak benar yang dapat memengaruhi kehormatan, wibawa, dan reputasi seseorang baik yang dilakukan secara lisan atau tulisan.

Sebanyak 158 dari 168 negara menempatkan pencemaran nama baik sebagai delik pidana dan selebihnya (10 negara) menempatkannya sebagai permasalahan privat perdata (The atrticle 9 of global campaign of the free expression).

Ini artinya, negara selalu ikut menjaga juga kepentingan privat warganya di ranah publik. Yang menjadi persoalan justru “fasilitas negara” ini lebih banyak dimanfaatkan para pejabatnya untuk melawan masyarakatnya sendiri yang kritis.

 
Yang menjadi persoalan justru “fasilitas negara” ini lebih banyak dimanfaatkan para pejabatnya untuk melawan masyarakatnya sendiri yang kritis.
 
 

Naiknya perkara “Haris Azhar dan Fatia” dari penyidikan di kepolisian ke tingkat penuntutan di kejaksaan menjadi indikasi menarik tentang tingkat sensitivitas pejabat negara menerima kritik dari warganya.

Salah satu faktor mudahnya terjadi kriminalisasi terhadap kritik, tampaknya terletak pada norma hukum tentang pencemaran nama baik yang bersifat formil saja.

Artinya kejahatan ini dianggap telah selesai dilakukan ketika sebuah peristiwa yang dikualifikasi sebagai pencemaran nama baik ini terjadi tanpa harus dibuktikan apa akibatnya.

Misalkan, rusaknya nama baik dan reputasi pejabat publik berakibat ditariknya fasilitas jabatan oleh negara atau diberhentikan sebagai menteri oleh presiden. Dalam khazanah ilmu hukum pidana, ini disebut delik formil, kejahatan yang dihukum tanpa perlu pembuktian terjadinya akibat.

Demikian juga, sering kriminalisasi terhadap kritik terjadi tanpa pandang bulu, peradilan pidana tidak bisa memilah dan memilih mana kritik sebagai masukan dan solusi yang disampaikan ahlinya, mana kritik yang tidak bertanggung jawab.

 
Kritik yang objektif selalu disampaikan secara logis etis yang didasarkan pada data yang dihasilkan penelitian.
 
 

Kritik yang objektif selalu disampaikan secara logis etis yang didasarkan pada data yang dihasilkan penelitian. Karena itu, perlu dilakukan perubahan secara normatif delik pencemaran nama baik ini dari kejahatan bersifat formil menjadi kejahatan bersifat materiel.

Bukti terjadinya kerugian akan menentukan apakah sebuah tindakan dapat dikualifikasi sebagai pencemaran nama baik atau bukan. Juga, penerapan delik ini tak boleh sembarangan, kritik dari seorang ahli dan didasarkan data hasil penelitian harus jadi alasan yang menghapuskan pidana.

Memang sangat mungkin kritik dapat berubah menjadi alat untuk merusak dan menjatuhkan. Namun, setiap kritik juga bisa ditempatkan sebagai stimulantkemajuan karena itu penuntutan terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidia dari Kontras jadi langkah mundur demokrasi.

Doa Tiga Orang Saleh

Tiga orang saleh ini berdoa kepada Allah agar dilepaskan dari keadaan sulit.

SELENGKAPNYA

Pajak Masa Rasulullah SAW, Adakah?

Apakah benar bahwa tidak ada pajak di masa Rasulullah SAW dan para sahabat?

SELENGKAPNYA

Buah dari Kejujuran

Kejujuran merupakan akhlak mulia yang hendaknya melekat pada setiap insan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya