Kehamilan kerap menyebabkan mual di pagi hari | Unsplash/Juan Encalada

Fikih Muslimah

Wanita Hamil dan Menyusui tak Puasa Ramadhan, Apa Hukumnya?

Ada empat pendapat ulama yang berbeda tentang wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa Ramadhan.

Tak lama lagi, kaum Muslimin akan memasuki Ramadhan 1444 H/2023 M. Layaknya Ramadhan sebelumnya, banyak pertanyaan khususnya seputar fikih berpuasa agar tidak ada keraguan saat menjalankan ibadah puasa.

Salah satu yang menjadi permasalahan, khususnya bagi kaum Hawa, yakni tentang hukum wanita hamil dan ibu menyusui apabila tak menjalankan puasa Ramadhan. Para ulama setidaknya memberikan empat pendapat mengenai boleh tidaknya Muslimah dalam kondisi demikian untuk tidak berpuasa. Tak hanya itu, para ulama juga menjabarkan konsekuensi atas hukum meninggalkan puasa Ramadhan bagi keduanya.

Pada hakikatnya, ibu hamil dan menyusui memiliki kondisi tubuh yang berbeda dari orang normal. Dalam ilmu medis, setidaknya bagi ibu hamil terdapat kebutuhan janin dan ibu dari asupan-asupan gizi, terutama bagi ibu hamil di trimester pertama. Sedangkan, bagi ibu menyusui, pasokan ASI juga salah satunya disuplai dari apa yang ibu makan dan minum.

 
photo
ilustrasi ibu menyusui ; air susu ibu ; ibu dan anak ; - (musiron/republika)

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama membagi empat kategori pandangan yang dikenakan kepada dua jenis perempuan yang membatalkan puasanya pada bulan Ramadhan.

Ulama kalangan pertama, sebagaimana dijelaskan Ibnu Rusyd, mereka diwajibkan membayar kafarat saja dan tidak diwajibkan untuk membayar qadha puasa. Pendapat itu dikutip dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam al-Majmu.

Adapun ulama kalangan kedua berpendapat, mereka wajib mengqadha puasa, tapi tidak diwajibkan membayar kafarat. Pendapat itu berkebalikan dengan pendapat yang pertama tadi. Imam Abu Hanifah berikut murid-murid beliau, yakni Abu Ubaid dan Abu Tsaur, menganut pendapat yang seperti itu.

 
Kalangan ulama yang ketiga berpendapat, diwajibkan kepada mereka untuk mengqadha puasa dan diwajibkan pula membayar kafarat.
 
 

Kalangan ulama yang ketiga berpendapat, diwajibkan kepada mereka untuk mengqadha puasa dan diwajibkan pula membayar kafarat. Itu merupakan pendapat dari Imam Syafi'i. Imam Nawawi menambahkan, apabila mereka mengkhawatirkan dirinya bukan yang lain, atau mengkhawatirkan dirinya dan anaknya, mereka diperbolehkan berbuka puasa dan harus mengqadha tanpa membayar fidyah.

Namun, masih menurut Imam Nawawi, jika mereka mengkhawatirkan anaknya, mereka diperbolehkan berbuka dan harus mengqadha. Yang benar, mereka juga diwajibkan untuk membayar fidyah.

Sedangkan, ulama di kalangan keempat berpendapat, wanita hamil diwajibkan mengqadha puasanya. Adapun wanita menyusui diwajibkan mengqadha puasa sekaligus membayar kafarat atau fidyah. Pendapat itu dikemukakan oleh pendapat populer dari Imam Malik.

Kata Ibnu Juzai, menurut Ibnu Wahab yang sejalan dengan pendapat Imam Syafi'i, wanita hamil diwajibkan membayar fidyah. Sedangkan, kata Asyhhab, itu hanya dianjurkan saja.

Lalu, menurut Ibnu al-Majisyun, jika ia mengkhawatirkan dirinya maka yang bersangkutan tidak diwajibkan membayar fidyah karena ia dikategorikan sakit. Namun, jika ia mengkhawatirkan anaknya maka ia diwajibkan membayar fidyah.

photo
Ibu menyusui anak ; ASI ; Ibu dan anak ; air susu ibu ; ibu dan anak ; - (republika)

Sebab silang pendapat

Perbedaan pendapat di antara ulama ini disebabkan adanya dua argumentasi yang berbeda, yaitu wanita hamil dan wanita menyusui disamakan dengan orang yang berkeberatan dengan puasa atau disamakan dengan orang sakit. Hak-hak keringanan dalam beribadah bagi kedua kategori itu pun saling berbeda di dalam fikih.

Bagi ulama-ulama yang menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit, mereka berdua hanya wajib mengqadha puasa saja. Sedangkan, bagi ulama-ulama yang menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan orang yang berkeberatan dengan puasa, mereka berdua hanya membayar fidyah saja, bukan mengqadha.

Hal itu sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Baqarah penggalan ayat 184: “Wa alalladzina yuthiquunahu fidyatun tha’aamu miskinin, faman tathawwa’a khairan fahuwa khairun lahu. Wa in tashumuu khairun lakum, in kuntum ta’lamun.

Yang artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik bagi dirinya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Dan bagi para ulama yang menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan juga orang yang berkeberatan puasa, maka mereka berdua diwajibkan mengqadha puasa. Sebab, mereka identik dengan orang sakit dan juga wajib membayar fidyah karena mereka identik dengan orang yang berkeberatan berpuasa.

Ramai-Ramai Kembangkan Platform Metaverse

Metaverse hadir untuk memberikan pengalaman yang lebih imersif.

SELENGKAPNYA

Kisah Pajak Masa Kolonial

Pajak mulai dikenakan VOC pada abad ke-17

SELENGKAPNYA

Di Mana Letak Dinding Zulkarnain?

Letak tembok yang dibangun Zulkarnain masih menjadi perdebatan sejarawan.

SELENGKAPNYA