Rektor UNU Purwokerto, Dr Ir Achmad Iqbal. | DOK IST

Hiwar

Kampus-Kampus NU Perlu Sinergi

Saat ini, jumlah perguruan tinggi Nahdlatul Ulama di bawah LPTNU berjumlah 30 unit.

Nahdlatul Ulama (NU) baru-baru ini memperingati Hari Lahir (Harlah) ke-100 atau Satu Abad NU di Sidoarjo, Jawa Timur.

Kini, salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia ini bersiap meningkatkan kapasitasnya dalam pelbagai bidang, termasuk pendidikan tinggi.

Menurut Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto Dr Ir Achmad Iqbal, jumlah perguruan tinggi yang berafiliasi dengan NU saat ini sekitar 250 unit. Namun, lanjut dia, kampus-kampus tersebut hingga kini masih "berserakan", belum berada dalam satu naungan.

Iqbal mengatakan, perguruan-perguruan tinggi NU yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdhatul Ulama (LPTNU) baru berjumlah 30 unit. Karena itu, ia berharap di abad kedua NU kampus-kampus tersebut bisa bersatu. Dengan demikian, mereka berkolaborasi dalam lebih mengembangkan dunia pendidikan tinggi NU.

"Sekarang sudah mulai ada kesadarannya untuk mengumpulkan perguruan-perguruan NU di Indonesia. Kalau sekarang, (kampus-kampus) ada yang berada di bawah yayasan dari pondok pesantren. Ada yang berada di bawah yayasan yang didirikan oleh orang-orang NU," ujar akademisi kelahiran Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, itu.

Ia menuturkan, UNU Purwokerto secara kelembagaan berada di bawah naungan PBNU. Didirikan pada 30 November 2016, kampus ini terus berfokus dalam mencetak generasi muda yang islami, kompetitif, dan berjiwa entrepreneur.

"Visi misinya UNU Purwokerto itu untuk menghasilkan, menciptakan sarjana yang berjiwa kewirausahaan, menguasai teknologi dan berkarakter Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah," ujar mantan Rektor Universitas Jenderal Soedirman ini.

Lantas, apa saja yang perlu dilakukan NU agar perguruan tingginya lebih maju? Bagaimana perkembangan di kampus-kampus Nahdliyin, khususnya UNU Purwokerto kini?

Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama Dr Achmad Iqbal.

Menyongsong abad kedua NU, bagaimana pengembangan perguruan tinggi Nahdliyin ke depan?

Perguruan-perguruan tinggi di NU itu ada sekitar 250 unit, tetapi masih "berserakan". Artinya, tidak berada di bawah naungan PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Yang berada di bawah naungan (PBNU) itu hanya 30 unit.

Harapan saya, kalau semua kampus itu bersatu di bawah satu nanungan, saya yakin, secara keseluruhan akan menjadi kuat. 

Namun, sekarang sudah mulai ada kesadaran untuk mengumpulkan perguruan-perguruan NU di Indonesia. Kalau sekarang, ada yang dibawah PBNU. Ada yang berada di bawah yayasan dari pondok pesantren. Ada yang berada di bawah yayasan yang didirikan oleh orang-orang NU. Jadi, perguruan-perguruan tinggi NU itu terbagi menjadi tiga jenis itu.

Bagaimana urgensi penyatuan dan kolaborasi antarperguruan tinggi NU?

Itu semua harus disatukan biar jadi kekuatan. Kalau sudah disatukan, enak nanti. Misalnya, mahasiawa saya nantinya juga bisa melanjutkan kuliah di UNU lainnya. Kami juga bisa mengundang ahli-ahli dari UNU-UNU lain yang (spesialisasinya) kami belum punya.

Jadi, bisa lebih saling membantu, bahu-membahu, dan berkolaborasi. Sekarang, arahnya insya Allah ke situ. Itu yang diupayakan oleh Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf.

Apa saja kendala dari belum sinkronisasinya seluruh perguruan tinggi NU?

Terus terang, kami masih banyak kekuarangan di LPTNU (Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama). Misalnya, ketika akan membuat peraturan, saya tidak punya dasarnya, tidak punya petunjuknya. Sebab, di pusat tidak ada (acuan).

Jadi, dari LPTNU sendiri tidak ada. Kurikulum, misalnya, tentang aswaja. Aswaja seperti apa (yang dimasukkan dalam kurikulum), itu tiap kampus (NU) membuatnya sendiri-sendiri.

Perguruan-perguruan tinggi NU "berserakan", padahal jumlahnya banyak. Warga Nahdliyin, katanya, terbesar di Indonesia. Bahkan, organisasi ini dipandang terbesar di dunia. Namun, realitasnya begitu. Belum bisa mengoordinasi. Kalau dijadikan satu (perguruan-perguruan tinggi NU), insya Allah jadi kekuatan besar itu.

Sebagai rektor, bagaimana Anda mengembangkan UNU Purwokerto menuju abad kedua? Apa visi dan misinya?

Tiap UNU sudah punya visi-misinya. Adapun visi misi UNU Purwokerto ini adalah untuk menghasilkan dan menciptakan sarjana yang berjiwa kewirausahaan, menguasai teknologi, serta berkarakter Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah. Jadi, di UNU Purwokerto ini akan diciptakan sarjana-sarjana yang berjiwa entrepreneur atau kewirausahaan.

Visi-misi itu sudah ada sejak awal, tetapi kemudian dirumuskan oleh saya. Sebab, UNU ini masih baru dan belum ada statutanya. Kemudian, saya buat statuta. Saya tegaskan kalau memang mau menghasilkan lulusan yang berjiwa entrepreneur, maka harus dimasukkan di dalam visi-misi.

Setelah itu, harus diaplikasikan dalam kurikulum. Barulah kemudian, kami bisa menghasilkan (lulusan dengan) jiwa entrepreneur.

Bagaimana penerapan visi dan misi itu?

Ketiga visi itu harus disesuaikan dengan kurikulumnya. Pertama, terkait visi menciptakan sarjana yang berjiwa entreprenenur, tentu mata kuliah kewirausahaan di UNU ini harus ada. Selain itu, juga harus banyak praktik ke lapangan yang berhubungan dengan kewirausahaan.

Salah satu di antaranya, kami telah buat nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan Pak Menteri BUMNErick Thohir. Jadi, kami akan kirim mahasiswa-mahasiswa ke perusahaan-perusahaan.

Kemudian, visi menguasai teknologi. Ke depannya, mahasiswa UNU ini harus kian menguasai teknologi. Dengan begitu, mereka lebih bisa beriwirausaha tanpa terbelenggu kendala dana atau modal. Misalnya, melalui yang dinamakan Nusantara Ojek atau Nujek. Itu kan tidak punya modal. Sebab, motor atau mobilnya itu adalah milik drivernya. 

Yang ketiga adalah visi berkarakter Aswaja an-Nahdliyah. Walaupun belum ada aturannya, kami sudah menetapkan bahwa mahasiswa wajib selama satu semester mengambil sebanyak 20 SKS untuk kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang berkaitan dengan karakter Aswaja. Banyak di antara mereka yang kami tempatkan di pondok-pondok pesantren.

Masih banyak warga NU yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan, bagaimana NU atasi persoalan itu?

Memang, banyak mahasiswa yang kuliah di sini berasal dari kalangan tidak mampu. Ada yatim piatu dan dhuafa, misalnya. Yang mampu membayar itu kurang dari 20 persen. 

Visi saya, dengan adanya UNU, jangan sampai ada warga Nahdliyin tidak sampai kuliah. Walaupun tidak mampu, tetap harus kuliah. Nanti untuk mereka, dicarikan beasiswa. Kalau tidak dapat, misalnya, maka biayanya nanti bisa dibayarkan setelah bekerja.

Jadi, saya minta jangan sampai ada mahasiswa yang drop-out hanya gara-gara tidak mampu secara ekonomi.

Waktu pertama saya masuk ke sini (UNU Purwokerto), mahasiswanya sendiri hanya berjumlah 300 orang. Kemudian, tahun lalu setelah saya masuk, alhamdulillah, yang mendaftar atau yang masuk meningkat menjadi 600 orang. Nah, saya programkan bahwa tahun ini harus minimal seribu orang.

Makanya, saya sosialisasikan dan promosikan terus ke desa-desa, terutama Muslimat, Fatayat NU, dan Ma'arif NU. Saya wajibkan itu setiap ranting NU untuk membawa dua mahasiswa masuk ke UNU.

Di tengah kemajuan teknologi dan informasi, bagaimana UNU Purwokerto mendidik mahasiswanya?

Ya, seluruh elemen NU, terutama dari kalangan pemangku kepentingan pendidikan, harus mempersiapkan itu. Baru-baru ini, kami sudah kerja sama di bidang IT (information technology), termasuk matakuliahnya menjadi pelajaran wajib. Bukan belajar IT dasar lagi, tetapi sudah aplikasi mengikuti perkembangan zaman.

Kita harus mempersiapkan masa depan anak-anak muda seperti itu. Kalau tidak begitu, bisa ketinggalan zaman.

Makanya, waktu Pak Erick Thohir ke sini (UNU Purwokerto) bertanya kepada mahasiswa, "Ingin jadi apa?" Semua menjawab, akan jadi wirausaha. Sebab, memang itu orientasinya kami. Visinya kami. 

Jadi, banyak mahasiswa yang ke sini memang tujuannya wirausaha. Makanya kita memberikan dua opsi kepada mahasiswa di tingkat akhir. Pertama, kalau dia mau melanjutkan S2, maka tugas akhir S1-nya harus penelitian.

Kedua, kalau dia tidak mau melanjutkan S2 dan mau berwirausaha, maka tugas akhirnya cukup praktik ke perusahaan-perusahaan selama enam bulan atau sesuai dengan SKS-nya dan itu dilaporkan di bawah bimbingan. Jadi, tugas akhir di kita itu pilihan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Lukisan Mural di Lokasi Gempa Suriah

Seniman mural memanfaatkan tembok bangunan yang tersisa sebagai kanvas lukisan.

SELENGKAPNYA

Israel-Palestina Coba Berdamai Jelang Ramadhan

Perundingan damai Israel-Palestina telah terhenti hampir sedekade.

SELENGKAPNYA

Setan Merah Akhiri Puasa Gelar

MU Masih berpeluang memperoleh 3 trofi dari Liga Primer, Europa Cup, dan FA Cup.

SELENGKAPNYA