
Sastra
Merampai Kenang Hafalan Delisa
Puisi-puisi Iis Singgih
Oleh IIS SINGGIH
Ada hari tak habis diceritakan
menyimpan kisahnya sendiri
dalam ingatan yang dalam
tentang gelora lindu menjemput maut
tentang tubuh hanyut tergulung ombak
suara desir angin mendengungkan perih
surau-surau mengumandangkan takwil
di batas senja diriku terpecah dalam sunyi
aku juga seorang perindu yang payah
--tuna pada segala ingatan
juga tidak ulung dalam mengemas kenang
tapi tidak untuk kali ini
Desember begitu diam
itu air - itu gempa - itu jerit
berulang seperti tak habis-habis
meriap resah sesak di dada
teringat potongan hafalan Delisa
mengabur di antara waktu
bersama desah bayang
seperti sebuah dekapan
kuikat semua kisahnya
agar tak berjejal di kepala
sunyi gemeratap tatkala mata mengerjap
di layar lebar tumbuh berbaris cahaya
orang-orang pun bersiap menata hati
anak kecil itu menggores waktu
membawa tualang nyanyian peziarah
dalam hafalan yang ia sempurnakan
saat film itu diputarkan
membayang firdaus
memekar di beranda hati
pada kata harap
terbukalah pintu doa
tak ada lagi tuna ingatan
–di sana cinta melabuh sedu
“Hafalan Shalat Delisa”
merampai kenang di serambi jiwa
Lawang, 9 September 2022
***
Revolusi Kali Besar Kota Lama
“Semoga tahun ini hujan tak datang lebih lama”
Suara hati seorang gadis remaja menjemput pagi berkelindan hangat udara ibu kota.
Ia hanyalah seorang pelintas jaman yang tetap bertahan demi cita.
ooh langit biru
awan-awan beriak
ooh rawa payamu
muntahkan dahak
“Ciih … hoeek!”
“Ciih … hoeek!”
Bau bacin menguar jelma senyawa O2. Kodok berenang di lumpur payau warna bulan, ngoreknya
menyumpal sedu sedan warga. Paru-paru penuh sesak, rupa-rupa tampak ramah, walau hati marah-
marah. Ceracau si gadis mendengung menyebar sejuta renung.
Sya-lalala, guyur hujan
genang air di jalanan
Sya-lalala, riuh angan
berbaur semua ingatan
Plak … keciplak ciplak!
Plak … keciplak ciplak!
Sesampainya di bantaran Kali Besar Kota Tua, gadis remaja itu termenung. Dalam hati yang senyap,
ia merasa setapak jejak terlarung di bantaran sungai. Candu revolusi terus mengajak bergegas lari,
tercatat masai perihal kota dengan segala keseruannya. Sajak cinta melepas rayu saat kendali nasib
tak pernah jinak menguasai jalannya.
Pernik sejarah
Sarat dalam kata
Abadi
Abadi
Abadi
Lalu ia bermusyafir mengais sunyi di risiknya angin Jakarta. Bayang fatamorgana menggoda, semoga
tak menipu mata. Bilakah bahagia hari itu? Melihat kenangan tetap utuh sebagai pelipur, meredam
segala percik api kecemasan.
Seperti ada yang mendengar, “Semoga tahun ini hujan tak datang lebih lama”
Lawang, 25 Agustus 2022
***
Aku dan Tuanku
ah, sudah mulai terasa
aku dan tuanku bersepakat
bangun dari tidur lelap
tanpa senyum yang dipaksakan
(tuanku mulai melihatku)
jujur saja kita tak pernah puas
musim hujan
musim panas
tetap menyesal
tetap menangis
tuanku berkata
“waktu cepat sekali berjalan,
seolah hari ini dan hari esok saling tindih,
sampai-sampai kadang kita
merasa tak memiliki harapan untuk hidup”
dan aku menjawab
sementara bunga-bunga terus bermekaran di pinggir pinggir jalan,
namun kita tetap saja meringkuk dalam kuncup-kuncup bunga di halaman,
asyik mengecup keburaman
perlahan tuanku menyusun pasal-pasal
dari mimpi hangat tengah malam
mengelupas peradaban baru
sedang sintesisku terus menerus
menghujani halaman fantasi
Ya, kita sedang memuaskan dahaga ide
sampai kami merasa suka
: benar-benar suka
lantas, siapakah yang tak ska
jika jarak sedekat jari tangan
satu gambar
satu isyarat
menjadi satu kata
aku dan tuanku
dari hati yang dikepung cita
mengurai kebingungan waktu
di bawah risau cahaya matahari
ah, mimpi tak lagi sekedar igau
selamat datang kearifan baru
gema bahagia getarkan dinding waktu
(tuanku lalu merangkulku)
Jakarta Satu
Lawang, 26 Agustus 2022
***
Seracik Ilusi Wedang Tape
hari-hari seperti berlari dalam angan
malam ini gerimis tak kunjung reda
seperti riuhnya angin ingar-bingar
kau sibuk raih singkap harap
dengan kesahajaan
aku pun mencuri pandang
pada sorot matamu yang penuh kepasrahan
mengumpulkan berlembar keping rupiah
pada detak detikmu yang penuh makna
inilah hidup,
entah sampai kapan asin manisnya akan tercapai
menjadi cita rasa yang nikmat
kelakarmu pada pelanggan
dalam tiap ruap aroma tape
aku menemu riangmu
tersaji membayang hangat
di genang bening gelas
gurihnya santan melarutkan asam
menemu pesan sunyi
yang terperam dalam jiwa
seketika kau terbata
menyebut satu nama
tereguk kisah manis
tentang hari-hari yang terlewati
begitulah romansa tetiba memintas
merabai rindu di dinding malam
dengan sisa-sisa seracik ilusi
pada diri yang telah lama diam
Lawang, 3 Juli 2021
***
Kapal yang Hangus
(I)
dilesapkannya dalam tubuh
tekad demi tekad di ruap waktu
pada pertaruhan setiap detik
memecah rahasia lautan
Kerma yang hilang
emas yang terpendam
“ke manakah pulau itu?”
pasti ada garis peta
menuju jantung labirin
di bawahnya
Ooh suara: suaranya
masuk menyingkap tirai-tirai magis
tawar-menawar sebelum musnah
bukan, bukan pencarian
ini pelarian
betapa semua seakan terbuka
rasian angan disungkup peruntungan
bulan memburam kapal tenggelam
(II)
kau seperti mengais kata di tubuh puisi
jiwa ksatria menangis darah
melihat legam adalah tentang penghabisan—ini luka
“lihat ombak di bawah terus berdebur,
benarkah bulan masih ingin menemani?
padahal kabut begitu menakutkan”
seperti gelombang angin hitam
yang melampaui pusaran air
bangkit berlayar dengan wajah gelap
menjelma sosok malaikat
Mutiara Hitam yang hangus
mencari Isla de Muerta yang misterius
tempat disembunyikannya Peti Cortes yang dubius
“Jack …”
Lawang, 24 Juni 2022
***
Berbincang dengan Puisi
benarkah sendiri itu sepi?
puisi mengajak berbincang
di malam yang rebas
sekelebat bayang
jatuh terhempas
mungkin harus diam sejenak
mengingat ingat “kenapa”
hanya tata kata bercerita
mengikat satu-satu makna
pada tubuh yang risau
puisi adalah puncak gelisah
dalam diam yang berlama-lama
--ada air mata lupa diseka
--ada tawa lupa dilukiskan
haruskah hari kemarin lewat begitu saja?
mimpi-mimpi semakin tak terkejar
terserak di sepanjang titian masa
ilusi luka menjadi nada bahagia
setiap dari hari pasti memiliki pagi
tak ada lagi tangis meski mata keluh
sebab di jantung menggantung kata
dan kita rela kembali sebagai ingatan
--tanda atas diembuskannya napas
Lawang, 14 September 2022
***
Tentang Kabar
hati kita tangguh sejak dini
untuk membela cinta
yang kita dapat
dalam hari yang berdebu
ingatan begitu cerlang
mencatat semua peristiwa
sebuah catatan rebah
di bawah temaram lampu kota
menguraikan rindu dan benci
dalam kebingungan hari
Desember 2022
Iis Singgih, lahir dan besar di kota Malang. Penulis buku "Doa Burung-Burung Urban” aktif mengirimkan karya-karyanya ke media baik daring maupun luring. Bergiat dalam komunitas GENITRI dan pendiri rumah belajar Cemerlang.
Simak Cara Penjual Online Kian Cuan Selama Ramadhan
Sembilan dari 10 masyarakat Indonesia berencana untuk berbelanja pada saat RamadHan tahun ini.
SELENGKAPNYARusuh Wamena, 11 Dikabarkan Meninggal
Kerusuhan belakangan disebut terkait maraknya isu penculikan anak.
SELENGKAPNYASetoran Haji dengan Standar Emas, Bisakah Jadi Solusi?
Calon jamaah bisa membayar dengan mencicil atau menabung di bank syariah yang memiliki tabungan emas.
SELENGKAPNYA