UPZ melakukan pengumpulan zakat atas dasar mandat dari Baznas. | Republika/Daan Yahya

Dialektika

Sulit Masyarakat Kelola Zakat

Kegagalan mendapatkan rekomendasi Baznas, membuat banyak LAZ harus beroperasi tanpa perizinan.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; MUHAMMAD ANWAR,Peneliti IDEAS; HUZNI MUBAROK, Peneliti IDEAS; FAJRI AZHARI, Peneliti IDEAS

Dunia zakat nasional diguncang rilis Kementerian Agama tentang "Daftar 108 Lembaga yang Telah Melakukan Pengelolaan Zakat Tanpa Izin Sesuai Regulasi" pada 20 Januari 2023. Langkah Kemenag ini mengejutkan karena kontraproduktif dengan upaya peningkatan kepercayaan publik kepada lembaga zakat dalam rangka optimalisasi potensi dana zakat nasional untuk akselerasi penanggulangan kemiskinan.

Rilis 108 lembaga tak berizin ini, yang seluruhnya adalah lembaga amil zakat (LAZ), adalah kampanye negatif bagi LAZ yang merupakan bentukan masyarakat sipil. Padahal banyak lembaga zakat di dalam daftar tersebut tercatat sudah lama berdiri, bahkan jauh sebelum lahirnya UU No 23/2011.

Mereka umumnya sudah dikenal luas masyarakat, dipercaya, dan memiliki kredibilitas yang tinggi, terlepas dari soal perizinan.

Gerakan Zakat dan UU No 23/2011

Setelah stagnasi panjang pascakemerdekaan, era 1990-an menjadi saksi kebangkitan zakat nasional di tangan masyarakat sipil, memulai gerakan sadar zakat kepada publik secara luas, memperkenalkan pengelolaan zakat secara kolektif dan mendayagunakan zakat secara produktif.

UU No 38/1999 yang merupakan rezim awal pengelolaan zakat nasional, memberi iklim yang kondusif untuk partisipasi masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat nasional.
Di tengah arus besar gerakan zakat ini, lahir UU No 23/2011, menggantikan UU No 38/1999. Berbeda dengan regulasi perizinan LAZ era sebelumnya, regulasi perizinan LAZ era UU No 23/2011 bersifat diskriminatif, tidak proporsional dan membatasi kebebasan warga negara.

UU No 23/2011 memberikan kewenangan pengelolaan zakat nasional hanya pada Baznas (Pasal 5). Dalam arsitektur UU No 23/2011 masyarakat pada prinsipnya dilarang mengelola zakat.

Maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan zakat nasional adalah sebuah pengecualian dan pada dasarnya hanya “membantu” Baznas (Pasal 17). Dengan logika ini, maka pendirian LAZ mendapat restriksi yang ketat, termasuk keharusan mendapatkan “rekomendasi” Baznas (Pasal 18).

Syarat pendirian LAZ bentukan masyarakat sipil dalam UU No 23/2011 adalah sangat restriktif, dengan dua syarat yang paling mematikan, yaitu terdaftar sebagai ormas Islam dan mendapatkan rekomendasi Baznas. Sebagian besar LAZ adalah bukan ormas Islam, sehingga syarat terdaftar sebagai ormas Islam sama artinya memberangus sebagian besar LAZ.

Syarat ini digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 86/PUU-X/2012. Sedangkan syarat rekomendasi Baznas telah menjadi syarat paling krusial sekaligus paling mematikan dalam perizinan LAZ.

Kegagalan mendapatkan rekomendasi Baznas membuat proses perizinan LAZ terhenti meski telah memenuhi semua persyaratan lainnya. Dengan syarat rekomendasi Baznas serupa dengan syarat perizinan LAZ itu sendiri, maka mendapatkan rekomendasi Baznas menjadi serupa dengan proses perizinan LAZ.

Secara de jure perizinan LAZ dikeluarkan oleh Kemenag, tapi secara de facto perizinan LAZ sangat dominan ditentukan oleh Baznas.

Sulit Izin, UPZ Menanti. Data Diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Dalam praktiknya, proses mendapatkan rekomendasi Baznas menjadi ajang “penyaringan” bagi Baznas untuk mengakuisisi LAZ potensial menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat) Baznas, terutama LAZ yang berafiliasi dengan “kavling” Baznas.

PP No 14/2014 menetapkan “pembagian kavling” atas zakat nasional, yaitu Baznas pusat menghimpun zakat dengan membentuk UPZ di lembaga negara, kementerian, BUMN, perusahaan swasta nasional dan asing, dan masjid negara (Pasal 53). Sedangkan Baznas provinsi di kantor SKPD, BUMD, dan perusahaan swasta skala provinsi, perguruan tinggi, dan masjid raya (Pasal 54), dan Baznas kabupaten/kota di kantor SKPD, BUMD dan perusahaan swasta skala kabupaten/kota, masjid/mushala, sekolah/madrasah, kecamatan, hingga desa/kelurahan (Pasal 55).

LAZ yang berbasis atau berafiliasi dengan “kavling Baznas”, sebaik apapun memenuhi persyaratan perizinan LAZ, hampir dipastikan tidak akan mendapatkan rekomendasi Baznas dan diminta menjadi UPZ Baznas.

Kegagalan mendapatkan rekomendasi Baznas dan keengganan untuk mendaftar karena meyakini akan ditolak permohonan perizinannya, membuat banyak LAZ akhirnya harus beroperasi tanpa perizinan, meski sebenarnya mereka layak dan berhak untuk mendapatkan perizinan tersebut.

Namun menjadi tak berizin membuat mereka menghadapi ketentuan pamungkas UU No 23/2011: kriminalisasi terhadap amil ilegal yang beroperasi tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 38) dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 juta (Pasal 41).

Maka, bagi LAZ tak berizin ini, satu-satunya pilihan yang tersedia untuk beroperasi secara legal hanya dengan menjadi UPZ Baznas.

Jejaring Simpul Penghimpunan. Pembentukan UPZ dan penghimpunan dana Baznas (2006-2021). Data Diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

UPZ melakukan pengumpulan zakat atas dasar mandat dari Baznas sebagai pemegang otoritas pengelolaan zakat nasional. UPZ murni, tanpa tugas pembantuan, wajib menyetorkan 100 persen dana terhimpun ke Baznas. Sedangkan UPZ dengan tugas pembantuan dapat mendistribusikan dan mendayagunakan dana terhimpun maksimal 70 persen dan menyetorkan sisanya minimal 30 persen ke Baznas.

Baznas banyak bergantung pada UPZ untuk penghimpunan dana, terutama Baznas provinsi dan Baznas kabupaten-kota. Di Baznas pusat, jumlah UPZ dan kontribusi UPZ dalam penghimpunan dana terlihat semakin besar.

Bila pada 2016 penghimpunan dana Baznas dari UPZ Rp 26,9 miliar, maka pada 2021 angkanya telah menembus Rp 192,3 miliar. Hal ini berjalan beriringan dengan jumlah UPZ Baznas yang juga terus meningkat dari 131 UPZ pada 2018 menjadi 193 UPZ pada 2021.

Tumbuh Tinggi Pasca Regulasi. Data Diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Pasca terbitnya UU No 23/2011, Baznas secara konsisten menjadi satu-satunya OPZ (Organisasi Pengelola Zakat) dengan pertumbuhan penghimpunan dana tertinggi. Dalam periode 2012-2021, Baznas secara mengesankan tumbuh rata-rata 29,6 persen per tahun, jauh di atas pertumbuhan OPZ pada umumnya.

Pada rentang waktu yang sama, Rumah Yatim dan YBM BRI, yang memiliki ukuran relatif sama dengan Baznas pada 2012, masing-masing hanya tumbuh 16,2 persen dan 11,3 persen. Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa bahkan hanya tumbuh rata-rata 6,5 persen dan 7,6 persen sepanjang 2012-2021.

Dengan pertumbuhan yang sangat tinggi sepanjang 2012-2021, hingga 30 persen per tahun, maka kini struktur OPZ nasional mengalami perubahan besar. Bila pada 2012 OPZ nasional terbesar adalah Dompet Dhuafa dengan penghimpunan dana Rp 214,4 miliar per tahun dan Rumah Zakat Rp 175,4 miliar, maka sejak 2020 Baznas telah menjadi OPZ nasional terbesar.

Melambung Kinerja Operator Negara. Data Diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Syarat yang Mematikan

Rekomendasi Baznas menjadi syarat paling krusial dan mematikan bagi LAZ untuk mendapatkan perizinan dari Kemenag (PERBAZNAS No 3/2019). Syarat mendapatkan rekomendasi Baznas menjadi syarat yang tidak lazim dan sangat mematikan bagi LAZ.

Hal ini karena Baznas juga menyandang status sebagai operator zakat sebagaimana LAZ. Dengan conflict of interest yang sangat jelas ini, Baznas memiliki motif, insentif, dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Untuk mendapatkan rekomendasi dari Baznas, LAZ harus memenuhi 13 persyaratan yang bahkan lebih ketat dari syarat perizinan LAZ yang hanya 11 syarat (KMA No 333/2015). Syarat untuk mendapatkan rekomendasi Baznas yang paling mematikan justru tidak ada di Perbaznas No 3/2019, tapi merupakan screening tambahan berdasar tafsiran atas Pasal 53, 54 dan 55 PP No 14/2014.

Screening tambahan ini membuat banyak LAZ, terutama LAZ berbasis korporasi, masjid, pesantren dan universitas, menjadi lembaga zakat tak berizin.

Dalam 8 tahun terakhir, sepanjang 2015-2022, hanya 140 LAZ yang berhasil mendapatkan rekomendasi Baznas, yaitu 37 LAZ nasional, 33 LAZ provinsi, dan 70 LAZ kabupaten-kota.

Dengan jumlah LAZ yang diperkirakan sangat besar, rekomendasi Baznas yang rata-rata hanya 18 buah per tahun, mengindikasikan banyak LAZ yang gagal mendapatkan rekomendasi Baznas. Di saat yang sama, pertumbuhan jumlah UPZ yang progresif mengindikasikan proses akuisisi LAZ sebagai UPZ Baznas diduga berjalan masif.

Ketat Rekomendasi, Ilegal Menanti. Jumlah rekomendasi Baznas untuk Perizinan Laznas (2015-2022). Data Diolah IDES. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Marjinalisasi dan Akuisisi LAZ

Kasus perizinan LAZ berbasis korporasi menjadi contoh paling jelas bagaimana hak masyarakat untuk mengelola zakat dibatasi dan dihambat secara vulgar di bawah rezim UU No 23/2011. Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) PP No 14/2014 bahwa Baznas “dapat” membentuk UPZ di lembaga negara, kementerian, BUMN, perusahaan swasta, kedutaan dan masjid negara.

Baznas menafsirkan ketentuan ini bahwa LAZ dan amil yang sudah beroperasi di institusi-institusi tersebut sebelum UU No 23/2011 harus berubah menjadi UPZ Baznas. Di institusi-institusi tersebut, hanya boleh ada satu amil zakat, yaitu UPZ Baznas.

Hal ini menjadi sumber konflik yang keras dan panjang, terutama antara Baznas dengan LAZ berbasis korporasi, karena LAZ berbasis korporasi berkeyakinan bahwa kewenangan Baznas untuk membentuk UPZ di korporasi tidak menghapus eksistensi mereka.

Atas Nama Institusionalisasi dan Integrasi. Data Diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Dari enam LAZ berbasis korporasi yang telah eksis dan mendapat perizinan sebagai LAZ nasional di era UU No 38/1999, tidak ada satu pun yang mampu bertahan dan kembali memperoleh perizinan sebagai LAZ nasional di era UU No 23/2011.

Bahkan, tiga LAZ nasional berbasis korporasi di era UU No 38/1999 kini telah diakuisisi menjadi UPZ Baznas. Pengecualian terjadi pada LAZ BSMU (BSI Maslahat) yang berhasil mendapat perizinan sebagai LAZ nasional, tapi dengan menerima skema tripartit di mana UPZ Baznas dan LAZ korporasi berdiri bersamaan di korporasi yang sama dengan UPZ Baznas menyetorkan 30 persen dana terhimpun ke Baznas dan LAZ korporasi hanya mengelola 70 persen dana terhimpun.

Dengan kata lain, meski secara formal berstatus sebagai LAZ nasional, tapi substansinya adalah UPZ Baznas dengan Tugas Pembantuan. Kasus serupa ditemui di LAZ Mandiri Amal Insani yang mendapatkan status LAZ nasional dengan skema tripartit: Baznas – UPZ – LAZ korporasi.

Namun secara menarik, dalam tahun-tahun terakhir, LAZ berbasis korporasi berhasil dengan mudah mendapatkan status sebagai LAZ nasional tanpa diminta menjadi UPZ Baznas. Hal ini ditemui di LAZ Hadji Kalla (2020), LAZ CT Arsa (2022), dan terkini LAZ Bakrie Amanah (2023).

Meski secara jelas berbasis di korporasi, proses perizinan ketiga LAZ ini terlihat lancar dan cepat. Tidak ada penjelasan yang memadai dari Baznas mengapa Baznas dengan mudah memberikan rekomendasi bagi ketiga LAZ tersebut. Namun, bersikap sangat keras kepada LAZ korporasi lain meski memiliki rekam jejak yang jauh lebih meyakinkan dan bahkan sudah pernah menyandang status sebagai LAZ nasional di era UU No 38/1999.

Menggugat Rilis 108 LAZ Tak Berizin

Dalam kasus 108 lembaga tidak berizin, sebagian besar dari mereka bukan tidak mau mengurus perizinan, bahkan sebaliknya mereka sangat berkeinginan mendapatkan izin operasional resmi dari pemerintah. Namun mereka tidak pernah mendapatkan izin tersebut.

Secara singkat, mereka bukan "lembaga zakat tidak berizin", tapi "lembaga zakat yang tidak diberi izin".

Tak Diberi Izin, Bukan Tak Berizin. Data Diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Data dari FOZ (Forum Zakat) mengonfirmasi hal ini. Dari penelusuran dan konfirmasi FOZ terhadap 108 lembaga tidak berizin ini, ternyata 27 persen dari mereka sedang mengurus proses perizinan, tapi belum juga mendapatkan persetujuan meski sudah lama mengajukan dan sudah memenuhi semua persyaratan.

Yang menarik, tujuh persen dari mereka sudah berstatus sebagai UPZ Baznas, tapi tetap diumumkan sebagai lembaga tidak berizin. Besarnya lembaga yang tidak terkonfirmasi melakukan pengurusan proses perizinan mengindikasikan banyaknya LAZ yang enggan mengurus perizinan karena melihat proses yang sulit atau merasa yakin tidak akan diberikan izin.

Ke depan, pembentuk peraturan perundang-undangan, yaitu pemerintah dan Kemenag, sebaiknya segera mengubah dan merevisi KMA No 333/2015 agar pelaksanaan UU No 23/2011 terkait syarat pendirian LAZ bersifat terbuka, akuntabel, dan melindungi kebebasan warga negara.

Tidak selayaknya pemerintah membatasi dan kini bahkan melakukan kampanye negatif terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masyarakat.

Pemerintah seharusnya segera mencabut rilis “108 lembaga zakat tidak berizin” dan merevisi syarat perizinan LAZ yang tidak lazim yang selama ini menghambat LAZ untuk mendapatkan legalitas perizinan.

Kisah Hijrah Eks LGBT, Berjuang Kembali ke Fitrah

Karim juga memutus seluruh komunikasinya dengan teman-temannya sesama gay.

SELENGKAPNYA

Menutup Mulut Daun

SELENGKAPNYA

Isra dan Mi'raj: Dari Pancaran Cahaya Menuju Pencerahan

Mukjizat Isra Mi'raj merupakan perpanjangan dari keyakinan kita terhadap mukjizat kenabian.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya