
Islamia
Etika Eskatologis Ibn Sina Menurut An-Nakhjuwani
Ibn Sina perlu mengevaluasi cara pandang mengenai kebahagiaan.
OLEH AKHMAD ROFII DAMYATI; Direktur STAI al-Mujtama’ Pamekasan
Etika adalah cabang filsafat yang menjawab pertanyaan praktis tentang perbuatan manusia; tentang nilainya, prinsipnya, normanya yang memastikan tindakan itu layak atau tidak, baik atau tidak, menguntungkan atau tidak bagi dirinya.
Masalahnya, dalam banyak literatur klasik, cabang etika ini selalu membicarakan isu kebahagiaan; yakni sejauh mana pemahaman kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan seseorang. Apa hubungan kebahagiaan dengan filsafat etika dan kebahagiaan itu menjadi isu penting dalam etika.
Melihat Tradisi Etika Yunani
Tren filsafat etika di Yunani bisa dikatakan bernuansa Socrates-Plato-Aristotelianis yang berlandaskan kepada konsep kebijaksanaan (wisdom). Pada konsepnya, kebijaksanaan inilah yang melahirkan kebajikan-kebajikan (virtue) yang menjadi dasar pada konsep kebahagiaan (happiness), di mana kebahagiaan merupakan tujuan akhir dalam kehidupan manusia. Dengan adanya keinginan mencapai kebahagiaan tersebut, seseorang secara serius berpikir dan bertindak merealisasikan keinginannya tersebut. Itulah yang melahirkan tindakan etis bagi manusia dan dari sanalah filsafat etika itu dibangun.
Plato dalam Republic-nya, dalam rangka menjelaskan pemikiran Socrates, menegaskan bahwa negara ideal haruslah bermula dari individu-individu yang terlebih dahulu mengenal dan menjalankan kebijaksanaan yang terpuji. Sebab, individu adalah “replika” masyarakat. Dengan kata lain, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada di masyarakat mesti dirujuk kepada individu-individu mereka yang telah berhasil berlaku adil terhadap diri, jiwa, dan raga mereka.
Maka, di sini tema “kebahagiaan” menjadi penting. Sebab, bagi Plato, dengan mengikuti Socrates, kebahagiaan itu tercapai apabila mengikuti kebajikan (virtue), dan itu bukan sekadar mengurus diri secara eksternal, tetapi lebih kepada pengurusan diri secara internal (Francis Macdonald Conford, The Republic of Plato, hlm 139).
Sebab, individu adalah “replika” masyarakat.
Aristoteles dalam the Nicomachean Ethics-nya menyatakan bahwa memang orang-orang akan berbeda-beda di dalam melihat kebahagiaan yang menjadi dasar kepada etika. Ada yang orientasinya kepada perkara-perkara luar, seperti kelezatan, kekayaan, kehormatan. Bagi orang sakit, kebahagiaan itu adalah sehat. Bagi orang miskin, kebahagiaan itu kekayaan. Bagi orang yang kurang terhormat, kebahagiaan itu adalah kehormatan.
Namun, semua itu sifatnya tidak hakiki. Sehingga apabila dijadikan sandaran kepada etika maka melahirkan etika yang sekelas hayawani. Sementara, menurut Aristoteles, ada kebahagiaan hakiki di luar yang sifatnya hayawani, yaitu apabila orang mencapai kebajikan tertinggi. Yaitu mereka yang bisa berbuat adil dan bijak kepada dirinya, “al-mu’tadil al-hakim li nafsihi” (Aristoteles, al-Akhlaq ila Niqumakhus, tr Ahmad Lutfi al-Sayyid, jilid 1, hlm 194).
Dari tradisi pemikiran mereka terlihat bahwa pembahasan etika di antara mereka selalu berkaitan dengan konsep kebahagiaan. Para filosof Muslim yang menyerap filsafat Yunani, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina, juga tidak jauh-jauh dari konsep kebahagiaan ini. Sebab, tradisi filsafat yang berkembang saat itu masih lagi erat kaitannya dengan tradisi Socrates, Plato, dan Aristoteles walaupun pengembangannya tentu saja lebih banyak dan unsur keislamannya lebih terlihat.
Dari tradisi pemikiran mereka terlihat bahwa pembahasan etika di antara mereka selalu berkaitan dengan konsep kebahagiaan.
An-Nakhjuwani yang mensyarahi kitab Ibn Sina al-Isyarat wa’t-Tanbihat juga mengikuti alur uraian Ibn Sina yang dari awal memulai pembahasan etika dengan mengurai konsep kebahagiaan ini. Baru setelah itu beranjak kepada konsep jiwa manusia sebagai pelaku dari kebahagiaan tersebut.
Di konsep jiwa inilah filsafat masyriqi mempunyai momentumnya, yaitu etika kebahagiaan ini bertemu dengan konsep-konsep spiritual dari Islam, sebagaimana nanti akan diuraikan.
Memaknai Kebahagiaan
Dalam membangun definisi etika, menurut an-Nakhjuwani, Ibn Sina perlu mengevaluasi cara pandang beberapa mazhab pemikiran mengenai kebahagiaan. Bagi an-Nakhjuwani di sini ada beberapa kelompok cara pandang. Pertama, ada orang yang melihat kebahagiaan itu sekadar kesenangan fisik. Kedua, ada orang yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu adalah kehormatan.
Ketiga, ada orang yang berpegangan bahwa kebahagiaan itu apabila mencapai kepuasan intelektual. Dari sana, an-Nakhjuwani menyimpulkan bahwa letak perbedaan cara pandang dalam konteks kebahagiaan ada pada penerimaan atau penolakan terhadap adanya tempat kembali setelah kematian (al-ma’ad).
Jika tidak menerima terhadap kehidupan setelah kematian maka akan menganggap segala bentuk kenikmatan terbatas kepada yang bersifat duniawi. Sebaliknya, jika mengakui ada tempat pulang setelah kematian maka ada kenikmatan lain di luar kenikmatan duniawi tersebut.
Dari itu, an-Nakhjuwani membagi tiga kelompok cara pandang kebahagiaan, yaitu: (1) kebahagiaan yang berorientasi kepada kenikmatan fisik; (2) kebahagiaan yang berorientasi kepada akal dan ruh atau spiritual; dan (3) kenikmatan berorientasi kepada keduanya sekaligus.
Di sini, an-Nakhjuwani menyebut akal dan ruh dalam satu kelas.
Di sini, an-Nakhjuwani menyebut akal dan ruh dalam satu kelas. Bisa diartikan bahwa an-Nakhjuwani membayangkan bahwa akal dan ruh itu terkait erat dan menjadi instrumen penting bagi kebahagiaan tertinggi.
Dari kesimpulannya ini, beberapa kelompok mazhab pemikiran kebahagiaan bisa diperinci lebih detail lagi menjadi (1) materialis murni, yaitu orang yang hanya menerima kebahagiaan jika berupa materi yang dapat dirasakan oleh panca inderanya. Kelompok ini betul-betul tidak mengenali bahkan tidak menerima ma’ad: tempat kembali seluruh kewujudan ini, seperti yang Ibn Sina sampaikan. (2) Mengakui ma’ad, tetapi pandangannya awam, di mana orientasinya tetap dunia.
(3) Mengakui ma’ad, tetapi kebahagiaan baginya hanyalah yang rasional belaka. Orang-orang seperti ini banyak kita dapatkan di kalangan filosof peripatetik yang merasa berada di puncak kebahagiaan manakala sudah bisa merasionalkan pandangannya dan bahkan bisa mengalahkan argumen-argumen orang lain.
(4) Mengakui ma’ad, tetapi kebahagian bagi mereka seharusnya berdasarkan spiritualitas belaka. Orang-orang seperti ini terkadang tidak rasional, tapi lebih merasa bahagia lantaran menemukan kebahagiaan di tingkat spiritual. (5) Mengakui ma’ad dan mengakui semua jenis kebahagiaan, baik fisik maupun nonfisik, intelektual maupun spiritual. Menurut an-Nakhjuwani, kelompok terakhir inilah yang betul-betul memahami hikmah Ilahiyah.
Tentu saja kelompok kelima adalah kelompok yang paling selamat dalam pandangan an-Nakhjuwani.
Tentu saja kelompok kelima adalah kelompok yang paling selamat dalam pandangan an-Nakhjuwani. Kelompok ini bisa dipastikan menolak pandangan yang membatasi kebahagiaan semata-mata berbentuk fisik. Bagi orang awam, kenikmatan materi adalah kenikmatan yang paling dekat dan mudah dirasakan secara langsung.
Karena itu, orang awam menganggapnya sebagai kenikmatan paling kuat dalam benak mereka. Namun, sebagaimana Ibn Sina dalam berbagai argumennya, ternyata kenikmatan materi sangat lemah dan dengan mudah terabaikan oleh adanya kenikmatan-kenikmatan lainnya yang tidak berupa fisik.
Beberapa kasus diajukan oleh Ibn Sina sebagai bukti betapa kenikmatan fisik itu lemah. Di antaranya, pertama, apabila seseorang sedang asyik bermain catur, lalu ditawari makanan, bahkan yang berbau seksual pun bisa ditolak lantaran ia sedang berhasrat menang dalam permainan catur tersebut.
Atau, kedua, kenikmatan, baik makanan maupun seksual, sudah di depan mata dan seseorang begitu berhasrat untuk menikmatinya, tapi ditahannya karena ada orang yang diseganinya. Atau, kasus ketiga, kenikmatan makanan tersebut sudah siap santap, tapi ada orang lain yang lebih memerlukan makanan tersebut, lalu terpaksa menahan diri untuk menyantapnya dan menyerahkan makanan tersebut kepada orang tersebut.
Semua itu menunjukkan bahwa kenikmatan materi bisa terkalahkan oleh rasa ingin menang
Semua itu menunjukkan bahwa kenikmatan materi bisa terkalahkan oleh rasa ingin menang, untuk kasus pertama, yang merupakan kenikmatan imajinatif seseorang; oleh rasa segan dan menjaga kehormatan, untuk kasus kedua, yang merupakan kenikmatan lain yang tidak terlihat; oleh rasa ingin memberi, untuk kasus ketiga, yang merupakan kenikmatan diri dalam jiwa seseorang yang dermawan. Dari tiga kasus tersebut bisa menjadi bukti bahwa kenikmatan materi yang dirasakan manusia sehari-hari begitu mudah terabaikan oleh adanya kenikmatan lainnya yang tidak berupa materi.
Baik di level kenikmatan fisik, kenikmatan imajinatif, maupun intelektual, kenikmatan itu akan hadir apabila terpenuhi dua syarat, sebagaimana Ibn Sina sampaikan. Pertama, pemahaman (idrak), dan kedua, pencapain (nayl). Bagi an-Nakhjuwani, idrak ini adalah genus (al-jins) yang bisa saja seseorang kenikmatan (ladzdzah) atau bahkan merasakan absennya kenikmatan tersebut sehingga terasa sebaliknya, yaitu sakit (alam).
Suatu kenikmatan walaupun sudah dicapai, tapi tidak dipahami oleh seseorang, maka tetap saja tidak membuahkan kebahagiaan. Ibarat di depannya ada air, tapi dirinya tidak haus, maka instrumen idrak-nya tidak mengenal adanya kebahagian pada air tersebut. Bahkan, air bisa menjadi petaka apabila berlebihan, seperti keadaan banjir.
Suatu kenikmatan walaupun sudah dicapai, tapi tidak dipahami oleh seseorang, maka tetap saja tidak membuahkan kebahagiaan.
Atau idrak-nya merasa perlu atau haus sudah ada, tapi air tidak ada. Maka, kenikmatan air tersebut juga tidak tercapai. Dan ini artinya syarat kedua juga tidak ada. Maka, kebahagiaan pun absen darinya. Ada syarat tambahan agar kenikmatan itu betul-betul tercapai, yaitu (wajib) tidak sibuk dengan suatu yang lain (syaghil). Sebagaimana rasa haus sudah ada dan air yang mau diminum juga ada.
Semestinya rasa nikmat terhadap air tersebut sudah tercapai. Namun, itu tidak terjadi apabila seseorang sedang sibuk dengan yang lain; diganggu oleh sesuatu yang lain. Seperti sedang dalam situasi perang yang berkecamuk sehingga tidak ada waktu untuk minum air, maka bisa dipastikan nikmatnya air itu absen darinya.
Kenikmatan juga tidak bisa hadir apabila sesuatu yang kontras dengan kenikmatan tersebut (madhad) hadir hingga menjadi penghalang sampainya kenikmatan tersebut. Seperti contoh manisnya rasa gula yang dirasakan dapat hilang tatkala lidah sedang dilanda sakit.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa suatu kenikmatan betul-betul dikatakan nikmat apabila bisa dimengerti, bisa diperoleh, tidak ada gangguan, tidak ada penghalang. Semua itu berlaku di semua instrumen pengetahuan manusia (alat al-idrak), baik di level indra luar, indra dalam, intelektual, maupun spiritual. Semua instrumen pengetahuan yang menjadi alat untuk mendeteksi kebahagiaan sudah tersedia di dalam diri manusia. Oleh karena itu, syarat-syarat tercapainya kebahagiaan manusia bergantung individunya, apakah berkehendak atau tidak.
Sampai di sini sudah tergambarkan bahwa kenikmatan itu di berbagai tingkatan mempunyai instrumen masing-masing yang sudah tersedia di dalam diri manusia. Permasalahannya, apakah semua instrumen tersebut digunakan oleh manusia atau tidak. Bahkan, peringkat instrumen kebahagiaan tertinggi sudah ada dan pencapaian terhadap hal tersebut sangat mungkin bagi jiwa. Jika jiwa manusia tidak merasakannya, berarti jiwa tersebut tidak berupaya dan bersiap dalam merealisasikannya.
Di samping itu, kebahagiaan dalam etika hendaknya dilihat secara lebih lengkap di mana dimensinya meliputi duniawi dan ukhrawi. Penyempitan terhadapnya hanya akan membatasi rahmat Allah SWT yang telah begitu lengkap menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ribuan Jamaah Hadiri Istighatsah Kubra di Cianjur
Istighosah ini momentum penting untuk memperkuat persatuan umat.
SELENGKAPNYAPengajian Ibu-Ibu, Riwayatmu
Majelis taklim dekat sejarahnya dengan dakwah di Indonesia.
SELENGKAPNYA