
Sastra
Di Pagi yang Girang
Puisi-Puisi Ngadi Nugroho
Di Pagi yang Girang
Secangkir kopi tak hilangkan kantukku malam-malam kemarin. Tentu, masih ada kau istriku. Sekadar berbicara satu dua patah kata. Saat aku masih terkantuk-kantuk di belakang meja. Sesekali kulihat di luar jendela.
Langit masih biru di luar sana. Daun-daun pun masih munculkan tunasnya. Kadang masih juga ada kupu-kupu hinggap di kota ini. Aku kira hanya dalam mimpiku yang asing. Kupu-kupu warna gincu.
Sebentar lagi pagi bergerak ke pukul tujuh. Dengan bunyi tik tok yang bising juga bunyi sepatu. Seolah waktu dengan sengit menggelinding. Memutar jarumnya hingga keropos. Di kota lain, anak-anak semakin tumbuh dewasa. Hanya sesekali datang bersua. Itu pun paling bisa dihitung pakai tiga jari saja. Saat pergantian tahun, saat Lebaran, dan saat hari kematian tiba.
Saat kita bercakap di pagi ini pun yang ada hanya kita berdua. Memilin waktu menjadi satu. Pada getar-getar cinta itu. Meluncur di keriput jantungku menggetarkan relung jantungmu. Dan detak itu kusekap dalam detik waktu. Hanya kita berdua. Di suatu pagi yang girang. Menyulut kenang yang hampir-hampir padam.
Kaliwungu, 2023
***
Kerbau-Kerbau di Sawah
Kerbau itu kembali pulang
Tepat pukul lima sore lebih sedikit
Di belakangnya seorang bocah lugu memegang cemeti
Seperti mobil ambulans yang melaju merangsek lalu lalang
Tak hirau seribu tatap di jalanan
Karena rasa lelah mengajak ia segera pulang kandang
Menekuri malam
Bermimpi padi-padi telah semi
Sebelum ujung cemeti melecut saat pagi kembali
Kaliwungu, 2023
***
Aku Ingin Menemanimu di Suatu Sore
Aku ingin menemanimu di suatu sore. Saat matahari mulai lingsir di matamu yang redup. Dan daun nyiur lambaikan warna perak di rambutmu. Hari-hari mulai gelisah sayangku, dengan kepahitan sunyi.
Aku tahu seteguk rindu itu telah pecah. Berserak tanpa wujud yang jelas. Ciuman kita pun melesap menjadi bangkai masa lalu. Di genggaman tanganmu aku tahu kekosongan ini tak berarti apa-apa.
Seperti juga jejak-jejak di belakang kita. Masih ingat aku tentang kicau burung-burung di dadaku. Saat tatapan matamu menukik, mengusik tidur-tidurku. Namun waktu mengutuk kenangan itu. Menjadi butiran gerimis di sudut mataku.
Ada maut diam-diam membuat dua jalan. Melarutkan kenangan itu pelan-pelan. Betapa dingin perpisahan ini. Saat kenangan kujumput dari matamu yang mulai pejam.
Kaliwungu, 2023
***
Dua Jalur Rel Kereta
Kesenyapan tertulis di dinding. Dingin mencumbuiku meretakkan belikat tulang-tulang beku. Cintamu begitu candu. Melolongkan igauanku tentang namamu. Meski hari ini aku memandangmu.
Sekilas segala matahari retak dan tenggelam. Di ujung cakrawala senyap. Hanya tangan-tangan kecil lembut memelukmu. Mengajak kau tertawa. Mengajak kau melupakan aku. Memang kita telah berbeda. Serupa dua jalur rel kereta.
Mungkinkah riwayatku menuntunmu pada satu titik di ujung sana. Ataukah tersebab nantinya tangisan anak kecil dalam pelukanmu itu menjadi selembar peta. Tentang sebuah jalan saat ayah ibunya pernah bersama. Sekarang aku di sini melihatmu dalam dunia beda. Kita serupa dua jalur rel kereta.
Kaliwungu, 2023
***
Sebuah Rumah dan Sebuah Lonceng
Seolah rumah mengabarkan rindu. Ranting, daun rontok, mengering mendekam tugur. Semak membelukar perdu. Sunyi, lembap, dan basah. Dinding retak berlumut suram. Kenangan mencengkeram menenggelamkan.
Langkah-langkah rupanya masih terpaut, tak mungkin tiba-tiba hilang. Masih kugenggam dongengan dari ibu tentang wasiat. Maka situs-situs itu kudiamkan hingga berkarat.
Seperti juga sebuah lonceng yang menempel di samping pintu. Tak ingin bergerak tetap diam di situ. Angin pun tak mampu menggoyang-goyangkannya.
Walau sekadar bermain di antara tempias hujan. Aku tak habis-habisnya melarungkan kenangan. Saat kaki-kaki kecil datang menggoyangkan lonceng kecil itu. Bunyi langkah sepatu seolah telah sampai mengetuk-ketuk hatimu.
Sekarang di rumah ini hanya kutemukan selembar kenang. Tentang sebuah lonceng yang tak lagi bergoyang. Tak ada seseorang pun benar-benar menunggu, di derap langkah-langkah kita yang tengah berjalan. Walau rindu setinggi mercu.
Kaliwungu, 2023
Ngadi Nugroho, lahir di Semarang, 28 Juni. Seorang lulusan Teknologi Pertanian yang mencoba menggeluti dunia sastra. Beberapa karya sajak/puisinya pernah dimuat di beberapa antologi, sejumlah media massa online juga majalah sastra.
Kisah Hijrah Eks LGBT, Berjuang Kembali ke Fitrah
Karim juga memutus seluruh komunikasinya dengan teman-temannya sesama gay.
SELENGKAPNYAPilih-Pilih Resep Pisang Goreng untuk Dijajal Weekend Ini
Pisang goreng memang sangat cocok untuk mendapatkan gelar sebagai makanan penutup terenak.
SELENGKAPNYA