
Analisis
IKN: Titik Pertumbuhan Ekonomi Baru
Pembangunan IKN, kawasan ekonomi khusus lainnya akan menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru Indonesia.
Oleh ADIWARMAN A KARIM
OLEH ADIWARMAN A KARIM
François Perroux, profesor Collège de France, dalam artikel legendaris nya “Note sur la Notion de Pole de Croissance”, mengembangkan teori titik pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi tidak akan seragam di semua wilayah, tapi pertumbuhan akan terjadi di wilayah tertentu yang disebut titik pertumbuhan. Titik pertumbuhan ini ditandai dengan industri inti dan industri pelengkap yang merupakan ekosistemnya.
John Speakman dan Marjo Koivisto, peneliti Bank Dunia, dalam artikel mereka “Growth Poles: Raising Competitiveness and Deepening Regional Integration” menjelaskan kisah sukses penerapan model titik pertumbuhan di negara-negara Afrika. Speakman dan Koivisto juga menjelaskan kisah sukses penerapannya di Indonesia dan Malaysia melalui kebijakan investasi terintegrasi di kawasan ASEAN.
Candra Fajri Ananda, profesor Universitas Brawijaya, dalam artikelnya “Growth Pole dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia” menjelaskan konsep growth pole juga diadopsi dalam strategi pembangunan wilayah di Indonesia. Sayangnya, konsep itu lebih banyak memberikan pengaruh backwash effect di sebagian besar wilayah Indonesia.
Backwash effect di Indonesia terlihat melalui terbentuknya megaurban di berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek dan wilayah Gerbangkertosusila.
Ananda memberikan contoh backwash effect yang terjadi di Indonesia terlihat melalui terbentuknya megaurban di berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek dan wilayah Gerbangkertosusila. Lebih lanjut backwash effect yang terjadi di Indonesia menimbulkan terjadinya ketimpangan wilayah, terutama dalam hal kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya.
Growth Pole Model-nya Perroux merupakan antitesis dari model-model Perencanaan Wilayah lainnya. Perroux mengambil perspektif yang berbeda dengan modelnya Myrdal, pendekatan yang berbeda dengan modelnya Hirschmann, dan keberpihakan yang berbeda dengan modelnya Friedmann.
Myrdal, begawan ekonomi Swedia, dalam karya legendarisnya An American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy, melihat pertumbuhan sebagai proses sirkuler dan kumulasi sebab akibat. Hirschmann dalam bukunya The Strategy of Economic Development mendekati pertumbuhan dari polarisasi dan trickle-down effect.
Friedmann dalam bukunya Regional Development Policy: A Case of Venezuela, mengkaji keberpihakan pusat-daerah dengan penekanan pada kembalinya sumber daya dari daerah ke pusat (backwash effect) dan penyaluran sumber daya dari pusat ke daerah (spreading effect).
Boundeville dalam bukunya Problems of Regional Economic Planning, mengembangkan modelnya Perroux dalam Perencanaan Wilayah dengan merumuskan adanya titik-titik pertumbuhan (growth centers) dan poros-poros pertumbuhan (growth axis). Kota industri yang tumbuh merambah daerah pendukung sekitarnya menjadi kota megapolitan.
Kota industri yang tumbuh merambah daerah pendukung sekitarnya menjadi kota megapolitan.
Kelemahan utama modelnya Perroux adalah penekanan pada proses industrialisasi sehingga pertumbuhan wilayah juga berarti marjinalisasi sektor pertanian, yang pada gilirannya membahayakan ketahanan pangan suatu negara. Misalnya, daerah-daerah di Indonesia yang secara turun temurun menjadi lumbung padi, tergusur berubah menjadi lokasi pabrik-pabrik.
Ketidaksesuaian modelnya Perroux untuk negara berkembang dan negara agraris disempurnakan oleh Mishra yang menyebutnya sebagai Growth Foci Model. Model ini dikembangkan dari tiga model sebelumnya. Model Central Place-nya Christaller, model Spatial Diffusion-nya Hagarstrand, dan tentu modal Growth Pole-nya Perroux.
Model ini memasukkan pertimbangan sosial kemasyarakatan, melibatkan kemajuan kesejahteraan penduduk lokal, memberikan peran strategis tatanan masyarakat pendatang dan masyarakat lokal. Harmonisasi kegiatan ekonomi disertai harmonisasi hubungan sosial.
Model ini dapat pula dipandang sebagai koreksi model pertumbuhan di Amerika Serikat, Australia, dan wilayah lainnya yang menjadikan masyarakat lokal kaum pinggiran, menjadikan profesi mereka tidak lagi relevan, tatanan sosial mereka teralienasi. Akhirnya, hubungan pendatang dan masyarakat lokal menjadi hubungan bantuan belas kasihan berupa subsidi dan karitas.
Akhirnya, hubungan pendatang dan masyarakat lokal menjadi hubungan bantuan belas kasihan berupa subsidi dan karitas.
Ketika Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, situasi pendatang Makkah yang disebut kaum Muhajirin dan masyarakat lokal yang disebut kaum Anshar juga diwarnai dengan perbedaan sosial ekonomi budaya.
Muhajirin Makkah berasal dari kota perdagangan lintas wilayah bersifat kosmopolitan yang terbuka dan heterogen. Anshar Madinah berasal dari desa perkebunan bersifat lokalit dan homogen dalam beberapa klaster.
Ada tiga hal yang dilakukan Rasulullah SAW untuk menjadikan Madinah titik pertumbuhan ekonomi baru.
Pertama, membangun masjid agar interaksi masyarakat tidak tersekat-sekat antara Muhajirin dan Anshar. Kedua, membangun pasar agar muncul kekuatan ekonomi baru sebagai alternatif dominasi kaum Yahudi di pasar Madinah. Ketiga, memberikan peran strategis ekonomi dalam hubungan harmonis antara Muhajirin dan Anshar.
Kaum Muhajirin berbekal pengalaman dagang tanpa membawa harta. Kaum Anshar memiliki tanah perkebunan luas tanpa pekerja yang cukup. Mereka saling melengkapi, saling menuntungkan.
Tanah-tanah yang tidak tergarap oleh kaum Anshar, dikerjasamakan dengan kaum Muhajirin. Hasilnya dibagihasilkan.
Pengangguran menurun, tidak perlu membayar upah pekerja, lahan mati menjadi produktif, produksi meningkat, semua pihak mendapat bagiannya.
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kawasan Industri Batang, kawasan-kawasan ekonomi khusus lainnya akan menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru Indonesia. Beberapa wilayah yang dulu secara ekonomi menjadi titik pertumbuhan, saat ini kehilangan relevansinya sehingga tidak lagi berperan penting dalam perekonomian.
Beberapa wilayah yang dulu secara ekonomi menjadi titik pertumbuhan, kini kehilangan relevansinya sehingga tak lagi berperan penting dalam perekonomian.
Reposisi wilayah-wilayah ini dengan memberikan konteks kekinian akan mengembalikan relevansinya dan kembali menjadi titik pertumbuhan.
Model-model pertumbuhan wilayah di atas dapat digunakan untuk memperkaya kearifan lokal Indonesia, dan menjadikan kearifan lokal itu menjadi relevan dalam konteks kekinian.
Inspirasi kohesitas masyarakat Muhajirin dan Anshar di zaman Rasulullah SAW akan mengikat kearifan lokal Indonesia dalam konteks kekinian. Pertumbuhan ekonomi yang tidak kehilangan arah, pertumbuhan ekonomi yang tetap dilandasi nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.
Model pertumbuhan yang memajukan sekaligus tiga hal. Kemajuan ekonomi, kemajuan sosial, kemajuan spiritual. Inilah yang akan membedakan Indonesia dengan model pertumbuhan lain.
Bismillah.
Jejak Perang Dunia II di Gerbang Pasifik
Pulau Morotai tempat menarik untuk menelusuri sejarah Perang Dunia II.
SELENGKAPNYADari Hudaibiyah ke Kemenangan Nyata
Berbagai peristiwa terjadi menjelang Pembebasan Kota Makkah oleh Nabi Muhammad SAW.
SELENGKAPNYA