
Nasional
Bantahan KPK Atas Tudingan ‘Pesanan’ Kasus Helikopter AW-101
KPK memastikan penanganan kasus dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku.
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah tudingan menerima "pesanan" dalam mengusut perkara pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU. Lembaga antirasuah itu memastikan penanganan kasus tersebut dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku.
“Kami tidak terpengaruh dengan tuduhan semacam itu. Hal ini sudah biasa. Namun, kami memastikan seluruh proses penegakan hukum di KPK tidak lepas dari aturan hukum yang harus ditegakkan dan semuanya dapat terukur dan diuji secara terbuka,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa (7/1).
Ali mengatakan, pihaknya pun menyayangkan pernyataan Pahrozi selaku kuasa hukum terdakwa tunggal kasus tersebut, Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway. Sebab, Ali menyebut tuduhan itu berada di luar konteks yuridis.

“Kami memberikan kesempatan yang sama pada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan secara yuridis, namun bukan dengan cara serampangan membangun narasi kontraproduktif dengan penegakan hukum itu sendiri,” ujar Ali.
KPK sebelumnya dituding menerima pesanan dalam menindaklanjuti kasus pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU. Pasalnya, KPK terus memaksa untuk memproses kasus itu meski hasil pemeriksaan di internal TNI sudah memutuskan untuk menghentikannya.
Tuduhan tersebut disampaikan oleh Pahrozi, kuasa hukum terdakwa tunggal kasus helikopter AW-101, John Irfan Kenway, dalam sidang pembacaan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (6/2). Pahrozi menyebut pihaknya curiga KPK tidak bekerja secara profesional dalam memproses kasus pengadaan helikopter AW-101.
“KPK bekerja tidak lain karena ada suatu pesanan dari pihak-pihak tertentu. Kami memang tidak dapat menunjuk pihak-pihak tertentu yang mengendalikan KPK tersebut, tetapi kami merasakan hal itu sebagaimana fakta-fakta hukum,” kata Pahrozi dalam persidangan itu.

Pahrozi merujuk salah satu fakta di persidangan, yaitu pernyataan eks panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal kerugian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 tidak didasarkan pada kegiatan investigasi atau wasriksus (pengawasan dan pemeriksaan khusus). Dia menyebut hanya ada nomor surat wasriksus, tapi tidak ada hasil pemeriksaannya, serta dilakukan pada saat kontrak masih berjalan.
“Ini pemufakatan jahat untuk mengkriminalisasi terdakwa serta prajurit dan institusi TNI AU. Maka secara tidak langsung menggambarkan bahwa oknum KPK dan mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo ingin coba-coba tidak memedulikan hukum yang berlaku,” ujar Pahrozi.
Pahrozi juga mengingatkan, penyidikan perkara itu dihentikan oleh papera (perwira penyerah perkara) TNI AU. Ia menyebutkan, helikopter AW-101 sudah menjadi barang milik negara (BMN) dengan masuk dalam laporan keuangan (LK) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) atau TNI 2019. Saat ini, helikopter AW-101 sedang menjalani pemeliharaan dan perawatan oleh Kemenhan.
“KPK dengan ego sektoralnya tetap melakukan proses hukum terhadap terdakwa dan artinya pula KPK sedang merendahkan muruah dan martabat TNI karena tidak mengindahkan penghentian penyidikan oleh papera tersebut,” ucap Pahrozi.

Selain itu, Pahrozi menilai jaksa penuntut umum (JPU) KPK tak berwenang menyatakan TNI AU telah merasa kecewa terhadap helikopter AW-101/646 nomor seri produksi (MSN) 50248. Sebab, menurut dia, tidak ada bukti konkret yang mendukung pernyataan itu.
“Faktanya, TNI AU telah menerima dan kemudian memperoleh anggaran return to service untuk memperkuat TNI. Jika kecewa, tentunya helikopter tersebut akan ditelantarkan dan tidak digunakan,” sebut Pahrozi.
Oleh karena itu, Pahrozi meminta majelis hakim membebaskan kliennya dari segala tuntutan. Apalagi, John Irfan Kenway disebut telah menyerahkan barang hasil pengadaan heli AW-101 kepada TNI AU.
“Nyatanya tidak ada perbuatan terdakwa yang dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,” ujar Pahrozi.
Kami memberikan kesempatan yang sama pada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan secara yuridis.ALI FIKRI, Kepala Bagian Pemberitaan KPK
JPU KPK menuntut Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway dengan hukuman penjara 15 tahun. Menurut JPU, Irfan terbukti bersalah dalam kasus pengadaan heli angkut AW-101 untuk TNI AU.
Hal tersebut terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta pada Senin (30/1). Selain hukuman penjara, Irfan turut dituntut dengan hukuman denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 177 miliar.
Jokowi: NU Layak Berkontribusi di Dunia Internasional
Selama satu abad ini, NU telah memberikan kontribusinya kepada Indonesia, baik keislaman maupun kebangsaan.
SELENGKAPNYAGelegar Suara Gus Yahya Sambut Abad Kedua NU
Gus Mus ingatkan Nahdliyin agar bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
SELENGKAPNYAFikih Peradaban dan Legitimasi Piagam PBB
Perbincangan fikih peradaban absen dalam kanon-kanon fikih yang ditulis para ulama.
SELENGKAPNYA