
Resonansi
Para Ibu dan Kepedulian Imajiner
Kepedulian perempuan tak sekadar imajiner, tapi juga menyasar hal-hal nyata.
Oleh ASMA NADIA
OLEH ASMA NADIA
"Bodoh banget yang membiarkan anak sekecil itu hampir ketabrak mobil!" "Gimana sih, balita malam-malam masih berkeliaran di jalan raya?" "Ya Allah, itu anak sampai nangis kejer ketakutan! Gimana kalau dia trauma?"
Kecaman di atas diimbuhi beragam cacian dan makian. Termasuk kata-kata tak pantas yang membuat risih telinga. Akan tetapi, siapa yang bisa menyalahkan netizen yang reaktif seperti ini? Kepedulian begitu tinggi terhadap keselamatan dan keamanan seorang anak kecil.
Kepedulian begitu tinggi terhadap keselamatan dan keamanan seorang anak kecil.
Seolah berada dalam satu komando, mereka kompak menghujat siapa pun yang dianggap telah mengancam dan membahayakan sang anak. Sesuatu yang luar biasa.
Terlepas caranya, tapi semua digerakkan naluri keibuan --setidaknya 90 persen bahkan lebih dari yang berkomentar kasar, bukan hanya keras-- adalah kaum ibu.
Masya Allah. Dedikasi mengagumkan, kecuali kenyataan bahwa kalimat-kalimat pedas itu ditujukan untuk membela satu karakter anak dalam sebuah tontonan. Adegan yang mereka protes beramai-ramai adalah seorang anak kecil yang hampir menjadi korban ketabrak mobil.
Dalam tayangan, terlihat satu sedan melesat cepat. Bersamaan dengan seorang anak balita melangkah tertatih. Lampu sorot mobil sempat mengenai wajah sang anak sebelum kendaraan nyaris menabrak si bocah.
Seratus persen ini adegan semata. Keamanan yang diresahkan sebenarnya tidak perlu sebab mobil yang melesat dan si bocah, bahkan tidak berada di lokasi yang sama. Keduanya disyut di dua tempat berbeda.
Bagaimana dengan cahaya lampu yang sempat menyenter sang anak? Ternyata cahaya ini berasal dari lampu biasa, sejenis penerang yang menyala otomatis ketika listrik di rumah mati. Jadi bukan lampu sorot terang benderang apalagi dari sebuah kendaraan yang terus mendekat.
Wajah sang anak pun begitu cepat beralih. "Bukan itu yang kami protes," kilah sebagian mereka saat diberikan penjelasan, "melainkan mengapa adegan yang terkesan berbahaya itu harus diambil?"
Dengan yakin mereka melanjutkan meski sudah dijelaskan berkali-kali, adegan tersebut sejatinya sangat aman. Saya pribadi melihat video behind the scene. Sang anak tidak berjalan jauh sendirian di jalan raya, melainkan hanya menempuh satu-dua langkah.
Menyusuri jalan setapak yang sudah dijaga di kiri dan kanannya oleh bagian produksi hingga tidak ada kendaraan yang berkepentingan bisa melintas. Masih ditambah sang batita dikelilingi puluhan kru.
Banjir kecaman yang terjadi menunjukkan kepiawaian pihak produksi.
Banjir kecaman yang terjadi menunjukkan kepiawaian pihak produksi termasuk editing yang membuat potongan-potongan gambar terasa menyatu dan demikian nyata.
Di sisi lain, reaksi keras ini sekaligus mengungkap ketidakmengertian netizen terhadap teknik pengambilan gambar sampai editing hingga mudah mengambil kesimpulan yang salah.
"Tetap saja, syutingnya sampai semalam itu!" Protes lain, padahal sekali lagi para penonton menyaksikan dari layar dan tidak berada di lokasi.
Pihak produser ini biasa melakukan syuting sehat. Istilah untuk produksi dengan jam syuting layak.
Biasanya lagi, adegan yang melibatkan pemeran anak didahulukan. Hanya dilakukan sepanjang batas toleransi jam aktif anak dan ditemani orang tua. Lagi pula, di dunia syuting yang melibatkan pemain anak, jam pengambilan gambar bisa disesuaikan sebangunnya anak.
Sebab sulit mendapatkan gambar bagus saat anak mengantuk. Apalagi bila bekerja sama dengan batita. Aktor aktris dewasa tentu bisa menyegar-nyegarkan diri saat syuting, tapi anak-anak tidak.
Artinya, kru yang memproduksi umumnya mengikuti jadwal aktor/aktris anak dan bukan sebaliknya. Bagaimana dengan ekspresi tangisan anak tersebut, benarkah dia ketakutan?
Sang ibu saat ditanya menjelaskan, putranya tidak sedang dalam keadaan takut, tapi menangis biasa, sebab diserahkan ke orang lain, sebagaimana lumrahnya anak kecil. "Anak saya kadang diturunkan setelah digendong saja bisa nangis kalau tidak melihat ibunya."
Momen yang tidak disia-siakan tim produksi. Mereka tahu tidak mudah menuntut anak balita bermain peran karena itu menanti momen natural hadir.
Saya tidak sedang mengeluhkan kepedulian sebagai tanda sayang dan begitu invest-nya ibu-ibu penonton tersebut. Sebaliknya, saya takjub dan bangga dengan kepedulian mereka yang sedemikian besar.
Saya takjub dan bangga dengan kepedulian mereka yang sedemikian besar.
Tentu akan lebih tepat jika perhatian luar biasa ini bukan berdasarkan asumsi melainkan didasari pengetahuan memadai. Lebih mengapresiasi lagi bila energi protes dan mengecam ini menyentuh berbagai masalah anak di dunia nyata.
Saya berharap, mereka berkomentar sesemangat itu saat ada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Atau mengetahui ada anak dan remaja kita menjadi korban perundungan. Perundungan tak jarang berujung pada timbulnya korban jiwa.
Sampai saat ini kasus perundungan setiap tahunnya masih begitu banyak dan jarang terselesaikan dengan adil. Sayang sekali masih begitu sedikit yang menaruh perhatian apalagi mengecam secara intens dengan semangat membara.
Buktinya, sampai saat ini kasus perundungan yang memakan korban cedera parah sampai meninggal masih terjadi.
Saya pun amat berharap, mereka yang selama ini aktif mengarahkan kata-kata pedas pada pihak yang dianggap salah juga bersikap seganas itu pada pelaku pelecehan anak atau para pedofil.
Pun kepedulian yang tinggi dan energi sehebat itu tak terlihat ketika viral berita pasangan selebritas yang memiliki jutaan pengikut di media sosial, membawa anak yang belum berusia tiga tahun hanya dengan satu tangan.
Mereka tidak mengenakan pelampung pada bayi ketika mengendarai jet ski itu. Satu keputusan yang teramat bahaya serta berisiko fatal bagi sang anak. Belum lagi bila ditiru jutaan pengikut selebritas tersebut.
Para ibu adalah madrasah pertama, pengawas, dan pencetak peradaban.
Para ibu adalah madrasah pertama, pengawas, dan pencetak peradaban. Sosok yang terbiasa melakukan multiperan. Banyak yang mengatakan, urusan apa pun akan kelar kalau emak-emak yang turun.
Maka sungguh besar harapan saya, kepedulian dan energi sehebat itu dari para perempuan penikmat tontonan, tak sekadar kepedulian imajiner melainkan juga menyasar hal-hal nyata.
Kepedulian terhadap perkara ‘sungguhan’, demi kebaikan serta keselamatan anak-anak ‘sungguhan’ di Indonesia.
Jika saja para ibu tersebut turun, berkicau tiada henti di media sosial, kompak mengecam keras ke pihak yang bersalah, melaporkannya ke lembaga terkait, dan lain-lain, saya yakin ini akan memberi pengaruh signifikan dan perubahan nyata.
Terciptanya ruang nyaman dan aman yang makin kondusif melindungi buah hati kita.
Epistemologi Islam Berkemajuan
Modernisme Islam memang menerima ilmu pengetahuan sebagai gagasan kemajuan.
SELENGKAPNYAMuslimah, Keturunan Afrika, Didepak
Suara-suara kritis terhadap Israel dibungkam di AS.
SELENGKAPNYA