
Safari
Menyusuri Jejak Kerajaan Kanjuruhan di Candi Badut
Penggunaan nama badut pada candi berhubungan dengan nama kecil Raja Gajayana.
OLEH WILDA FIZRIYANI
Jika membahas Kerajaan Kanjuruhan di Malang maka tidak boleh melupakan keberadaan Candi Badut. Candi yang terletak di Kelurahan Karangbesuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang, ini termasuk peninggalan dari kerajaan yang berjaya pada abad kedelapan Masehi tersebut.
Candi Badut termasuk tempat pendharmaan dari Resi Agastya atau nama lain dari Dewa Guru. Resi murid Shiva dari India yang bertugas menyebarkan agama Hindu ke selatan, termasuk Indonesia. Candi itu sendiri dibangun oleh Raja Gajayana yang memerintah kerajaan Kanjuruhan.
Berdasarkan strukturnya, candi terdiri atas tiga tingkatan. Pertama yakni kaki candi, melambangkan manusia yang masih dikuasai oleh nafsu rendah. Beberapa di antaranya seperti keserakahan dan kebohongan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hawa nafsu.

Selanjutnya, tingkatan badan candi yang merupakan lambang dari usaha manusia untuk mengalahkan nafsu keduniawian. Tingkatan ketiga berupa atap candi yang melambangkan kehidupan manusia yang sudah mencapai titik kesempurnaan.
Berdasarkan keterangan tertulis di sekitar candi, sisi-sisi bagian badan candi seharusnya terdapat sejumlah arca penting. Arca-arca yang dimaksud antara lain Durga Mahisasuramardhini Ganesha, Agastya, Mahakala, dan Nandiswara.
Dari sejumlah arca tersebut, hanya Durga Mahisasuramardhini yang masih berdiri tegak di sisi badan candi. Namun, struktur arca Durga memang tidak lengkap karena bagian atasnya tampak rusak. Dari laporan yang diterima Republika, temuan arca-arca penting di candi tersebut memang sudah tidak lengkap sejak pertama kali ditemukan.
Di lingkungan candi juga dapat ditemukan beberapa benda penting dan bersejarah lainnya. Benda-benda yang dimaksud antara lain satu lingga, dua yoni, dua altar, dan satu fragmen arca Nandi.
Catatan sejarah menyebutkan, Candi Badut ditemukan secara tidak sengaja oleh kontrolir Belanda, Maureen Brecher, saat mengadakan inventarisasi di wilayah Malang pada 1921. Saat ditemukan, kondisi candi sudah dalam keadaan rusak. Dua tahun kemudian, arkeolog Belanda, B De Haan, membuat laporan dan merekonstruksi ulang candi tersebut.
Adapun alasan penggunaan nama "badut" pada candi tersebut berhubungan dengan nama kecil dari Raja Gajayana. Hal itu merupakan pendapat Profesor Poerbatjaraka. Pendapat tersebut merupakan satu dari sebagian pandangan dari versi-versi lainnya yang berkembang di masyarakat.
Raja Gajayana memiliki nama kecil berupa Liswa. Jika diterjemahkan dalam bahasa Jawa, kata itu bermakna pelawak atau badut.
Menurut Poerbatjaraka, Raja Gajayana memiliki nama kecil berupa "Liswa". Jika diterjemahkan dalam bahasa Jawa, kata itu bermakna 'pelawak' atau 'badut'. Oleh karena itu, candi tersebut juga sering disebut sebagai Candi Liswa karena merujuk pada nama kecil Raja Gajayana.
Di sisi lain, ada juga pendapat berbeda yang berkembang di masyarakat mengenai nama Candi Badut. Kata "badut" dinilai telah diambil dari nama pohon yang tumbuh di atas reruntuhan candi.
Untuk dapat mengunjungi candi, wisatawan cukup menggunakan kendaraan motor atau mobil. Wisatawan yang datang tidak akan dikenakan biaya atau tiket masuk. Mereka hanya diminta untuk menuliskan nama di daftar kunjungan yang tersedia di pintu masuk.
Saat mengunjungi Candi Badut, wisatawan juga tidak boleh lupa untuk menjaga adab dan etika. Terutama, pengunjung tidak boleh merusak atau mencoret batu-batu candi. Sayangnya, Republika menemukan ada sejumlah bagian candi yang dicoret oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Sanksi Menanti Maskapai yang tak Izinkan Pramugari Berjilbab
Pemerintah diminta membuat aturan tegas untuk mendukung para pramugari yang ingin berjilbab.
SELENGKAPNYASuara Hati Pramugari yang Dilarang untuk Berjilbab
Mereka mendapatkan informasi ketika wawancara rekrutmen awal bahwa jilbab belum boleh dikenakan.
SELENGKAPNYASeabad Observatorium Astronomi Modern Indonesia
Teleskop sepanjang 11 meter yang didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928 tersebut menjadi alat pengamatan bintang terbesar serta menjadi ikon observatorium itu.
SELENGKAPNYA