vp,,rm
Opini--Bekal Memadai Pendidikan | Republika/Daan Yahya

Opini

Bekal Memadai Pendidikan

Tampak beragam kemudahan untuk belajar secara pintas.

ANGGI AFRIANSYAH, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

 

Masa depan lebih kompleks dan memiliki ketidakpastian. Situasi global yang memanas akibat kompetisi atau bahkan konflik antarnegara, sumber daya alam yang semakin terbatas karena kerakusan manusia, ragam penyakit karena pola eksploitatif manusia, hadir pada hari-hari ini.

Kehadiran berbagai teknologi terbaru banyak membantu aktivitas keseharian manusia. Inovasi yang dihadirkan membuat hidup lebih mudah. Beberapa tahun lalu, untuk mendapatkan barang yang diinginkan harus datang, memeriksa, menimbang, lalu membeli.

Saat ini, kita dimudahkan berbagai platform jual beli daring. Tinggal klik, membandingkan harga dan kualitas di berbagai toko, lalu kita dapat membeli sesuai kebutuhan dan tentu saja sesuai uang yang dimiliki.

Bahkan, karena algoritma internet, apa yang kita cari di mesin pencari juga muncul di media sosial kita. Seolah membujuk kita segera membelinya. Kadang atas nama gaya hidup, kita terbujuk membeli barang yang tak diperlukan. Jebakan konsumerisme tak mudah dilawan.

Konteks pendidikan

Demikian pula dalam konteks pendidikan. Tampak beragam kemudahan untuk belajar secara pintas. Tampaknya, tak perlu menempuh pendidikan formal jika semata ingin mendapatkan pengetahuan melimpah.

Di YouTube, TikTok, Instagram dan kanal media sosial lainnya, dengan mudah kita mendapatkan saran-saran mengenai keterampilan yang dibutuhkan pada era saat ini. Seolah ragam keterampilan tersebut mudah dipelajari dan digenggam.

Lalu, pendidikan formal dianggap kehilangan pamornya. Apakah demikian? Lalu apakah benar, dengan adanya teknologi semua menjadi lebih mudah dan pendidikan dapat terakselerasi? Jika ditilik saksama, masyarakat tetap berharap pada sekolah.

 
Lalu, pendidikan formal dianggap kehilangan pamornya. Apakah demikian?
 
 

Sekolah-sekolah negeri favorit tetap diminati, sekolah swasta favorit meski berbiaya mahal tetap diburu. Lihat saja pendaftaran sekolah swasta favorit. Meski tahun ajaran dimulai pada Juli, pembukaan pendaftaran sudah dimulai dari setahun sebelumnya.

Bahkan di beberapa sekolah, orang tua harus mengantre karena daftar tunggunya sudah panjang. Keluarga kelas menengah-atas memiliki privilege mengakses sekolah yang diinginkan dan relatif lebih memiliki imajinasi untuk mengonstruksi anak-anaknya pada masa depan.

Meski pada masa pandemi peluang membangun pendidikan lepas dari pendidikan formal kembali ke keluarga dan komunitas, ternyata kerinduan sebagian besar masyarakat ke sekolah begitu kuat. Terutama, orang tua yang merasa kewalahan mendidik anak di rumah.

 
Kita memang kadung membedakan peran pendidikan di rumah, sekolah, dan masyarakat.
 
 

Ternyata menghadapi anak sendiri tidak mudah. Emosi mudah meluap ketika mengajari anak di rumah. Ternyata menjadi pendidik itu tidak mudah. Kita memang kadung membedakan peran pendidikan di rumah, sekolah, dan masyarakat. Sudah sedemikian mengakar.

Sehingga ketika lepas dari situasi pembatasan sosial, kembali ke sekolah disambut gegap gempita, baik oleh orang tua maupun guru.

Bekal memadai

Jika bicara perjalanan, kita membutuhkan bekal. Lalu bekal apa yang dapat diberikan kepada anak-anak agar tahan banting menghadapi dunia yang fleksibel dan penuh ketidakpastian?

Dalam Laporan bertajuk Work for a Brighter Future yang dirilis Global Commission on the Future of Work, International Labour Office (2019) disebutkan beberapa poin yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat.

Pertama, hak universal untuk belajar sepanjang hayat yang memungkinkan orang memperoleh dan meningkatkan keterampilan.

Kedua, meningkatkan investasi dalam institusi, kebijakan, dan strategi yang akan mendukung orang-orang melewati masa transisi pekerjaan.

Ketiga, melaksanakan agenda transformatif dan terukur untuk kesetaraan gender.

Keempat, memberikan perlindungan sosial secara universal sejak hari lahir. Berbasis poin tersebut, dalam konteks Indonesia banyak sekali tantangan mengadang.

Tirtosudarmo (2013) menyatakan, Indonesia sebagai suatu kesatuan (sosial, ekonomi, politik, kebudayaan) tak mungkin dihindarkan dari dua dimensi demografis dan geografis. Besaran dari kedua dimensi ini membuat pelaksanaan ragam kebijakan tak mudah diimplementasikan.

Dalam pandangan Tirtosudarmo (2013), ketika negara gagal mengelola dinamika demografi misalnya, penduduk usia muda yang berjumlah besar bisa dipastikan menjadi political threat dan bukan economic asset.

Catatan lain yang perlu diperhatikan adalah telaah kritis Gert Biesta (2016) dalam The Beautiful Risk of Education dengan menggunakan pemikiran filsuf Jacques Ranciere mengenai emansipasi. Biesta mempertanyakan makna emansipasi di dalam pendidikan.

Dalam sisi tertentu, pendidikan menurut pandangan Biesta tidak akan pernah meraih kesetaraan, tetapi justru mereproduksi ketidaksetaraan yang menyebabkan seseorang tak akan beranjak dari posisi awalnya. Artinya, mobilitas vertikal karena pendidikan tidak selalu terjadi.

 
Mobilitas vertikal karena pendidikan tidak selalu terjadi.
 
 

Apakah kemudian, dalam konteks Indonesia, keempat kapabilitas yang diajukan ILO sudah dilakukan? Apakah pendidikan sudah memberi ruang emansipasi bagi para peserta didik? Pertanyaan ini tentu membutuhkan penelaahan yang mendalam.

Misalnya, dalam beberapa rilis, pemerintah menekankan pentingnya digitalisasi dunia pendidikan. Namun, prasyarat untuk mengoptimalkan berbagai teknologi digital terhambat kesenjangan penggunaan internet antara individu, rumah tangga, desa-kota, dan provinsi.

Berdasarkan Indeks Pembangunan TIK 2021 yang dirilis BPS, secara individu penetrasi internet di Indonesia mengalami peningkatan, tetapi masih terdapat kesenjangan penetrasi internet individu di perkotaan (71,81 persen) dan perdesaan (49,30 persen).

Hal tersebut, misalnya, justru menimbulkan ketimpangan pendidikan. Sebab, penduduk yang tidak memiliki akses semakin tertinggal dalam mendapatkan akses informasi mengenai ragam kebijakan dan metode baru pendidikan yang disebarluaskan melalui internet.

Tak heran, guru-guru di sekolah minim akses perlu pergi ke kota hanya untuk mengisi berbagai dokumen administratif atau memperbarui informasi terkait kurikulum atau kebijakan pendidikan baru. Belum lagi terkait peluang bagi siswa yang terbuka akses atas ragam informasi.

Maka itu, kemudahan-kemudahan yang dipaparkan di awal tulisan ini, terpatahkan saat tiadanya akses TIK memadai. Mochtar Buchori (2001) mengajukan pendidikan antisipatoris karena menurutnya setiap pendidikan mempersiapkan peserta didik mengarungi kehidupan pada masa depan.

Dalam pandangannya, penyelenggaraan pelayanan pendidikan hendaknya memperhatikan dan memikirkan berbagai aspek, yang akan dihadapi anak-cucu pada masa depan.

 
Diperlukan manusia arif dengan ciri berpengetahuan luas, memiliki kecerdikan, berakal sehat, mampu menilik hal-hal inti.
 
 

Dalam perspektif Buchori (2001), diperlukan manusia arif dengan ciri berpengetahuan luas, memiliki kecerdikan, berakal sehat, mampu menilik hal-hal inti, bersikap hati-hati, paham norma-norma kebenaran, dan mampu mencernakan pengalaman hidup.

Menurut dia, kemampuan tersebut akan dicapai jika manusia mampu berpikir reflektif. Sosok yang memiliki kemampuan belajar tinggi, juga generasi muda yang memiliki kemampuan literasi kultural dan mengenali diri sendiri. 

Poin mengenali diri dan refleksi, tampak luput dalam pendidikan yang penuh nuansa kompetisi. Itulah tantangan pendidikan pada masa kini.

Bappebti Pelototi Investasi Aset Digital

Kepolisian juga meminta pengawasan industri kripto lebih diperketat.

SELENGKAPNYA

Pajak Digital dan Halangan Pertumbuhan Industri Kripto

Transaksi kripto orang Indonesia di luar negeri, justru mengalami kenaikan.

SELENGKAPNYA

Semua Ada Tempatnya

Semua ibadah ada tempatnya, jika dilakukan bukan pada tempatnya akan sia-sia.

SELENGKAPNYA