
Kabar Utama
Gejolak dan Keresahan di BRIN Dibongkar
Komisi VII DPR RI merekomendasikan BPK mengaudit penggunaan anggaran di BRIN tahun 2022.
OLEH RONGGO ASTUNGKORO
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pasuruan mengumumkan penghentian operasi pada 31 Januari 2023 lalu. Pengumuman itu muncul di tengah sorotan DPR terhadap kinerja Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.
Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VII DPR merekomendasikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit khusus terhadap penggunaan anggaran di BRIN pada tahun 2022.
Lewat unggahan di media sosial, BRIN Pasuruan berpamitan dan berterima kasih atas kolaborasi dan dukungan seluruh pihak yang sudah terjalin selama 35 tahun. Keterangan video tersebut menuliskan perjalanan 35 tahun BRIN Pasuruan di sisi masyarakat. Mereka merasa tumbuh dan mendewasa bersama dari generasi ke generasi selama puluhan tahun beroperasi.
“Sungguh perjalanan yang luar biasa. Hingga akhirnya hari perpisahan pun tiba. Kami pamit. Terima kasih sudah menemani sejauh ini,” bunyi tulisan dalam video singkat yang diunggah oleh akun Instagram @brinpasuruan, dikutip Kamis (2/2).
View this post on Instagram
Anggota Komisi VII DPR, Syaikhul Islam Ali, pembenahan di unsur pimpinan BRIN akan menjadi pintu masuk bagi penyelamatan lembaga yang digadang-gadang sebagai pusat lahirnya berbagai inovasi dan pengembangan teknologi di Tanah Air tersebut.
“Kami menilai, hingga hampir dua tahun waktu berjalan, belum ada kemajuan signifikan terkait konsolidasi kelembagaan maupun kebijakan dari BRIN. Yang ada malah kontroversi dan ketidakprofesionalan dari para pejabat BRIN,” ujar Syaikhul.
Komisi VII DPR merekomendasikan dua hal penting setelah melakukan rapat kerja dengan Kepala BRIN di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (30/1). Rekomendasi tersebut meliputi pencopotan Kepala BRIN dan mengundang BPK untuk melakukan audit khusus terhadap penggunaan anggaran BRIN tahun 2022.
Syaikhul mengatakan, sebagai lembaga baru, BRIN mestinya berfokus pada program konsolidasi kelembagaan. Apalagi, kata dia, BRIN merupakan lembaga yang terbentuk atas berbagai entitas riset dan inovasi yang jumlahnya belasan hingga puluhan. Tapi, yang ditemukan di lapangan justru kerancuan otoritas kewenangan maupun skema penggabungan.

“Banyak pegawai BRIN yang mengeluh karena harus rebutan sekadar tempat duduk karena ketidaksiapan sarana-prasarana dalam proses penggabungan ini,” kata dia.
Dia mengakui, program konsolidasi BRIN ini merupakan masalah krusial dan tidak mudah untuk dilakukan. Di situlah peran penting dari kepala BRIN sebagai pemimpin untuk memastikan proses konsolidasi kelembagaan berjalan mulus dan bisa diterima oleh semua pihak.
Dia pun menyarankan agar pertimbangan kapabilitas dan profesionalitas harus ditonjolkan dalam memilih kepala BRIN yang baru, bukan malah pertimbangan politis.
“Sebagai seorang manajer, bisa saja kepala BRIN tidak harus berlatar seorang peneliti, tetapi seorang manajer profesional untuk memastikan konsolidasi kelembagaan bisa dilakukan dengan saksama,” ujar dia.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko merespons penghentian operasi BRIN Pasuruan yang sebelumnya merupakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). “Karena pascaintegrasi banyak pilihan kawasan sains BRIN yang lain, misalnya peluncuran balon di Purwodadi, riset terkait di Bandung, pendanaan matahari di Timau, dan lain-lain,” ujar Handoko kepada Republika.

Handoko mengatakan, kawasan-kawasan sains BRIN lain memiliki fasilitas serta SDM yang lebih lengkap dan memadai jika dibandingkan dengan yang ada di BRIN Pasuruan. Menurut dia, fasilitas dan SDM yang ada di BRIN Pasuruan sangat kecil. “Kecil sekali. Periset hanya ada beberapa orang,” ujar Handoko.
Dia mengaku belum mengetahui secara detail soal penyebaran fasilitas dan SDM yang ada di BRIN Pasuruan ke depan. Handoko hanya tahu sebagian besarnya pasti akan ke Pusat Riset Antariksa BRIN yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.
Penyakit BRIN
Langkah Komisi VII DPR mengeluarkan rekomendasi pencopotan kepala BRIN dinilai sah-sah saja karena mereka memang memiliki fungsi pengawasan. Terlebih, jika melihat berbagai permasalahan yang ada sejak BRIN dibentuk, mulai dari masalah pengorganisasian, keuangan, hingga riset.
“Apa yang membuat BRIN bermasalah? Ya, itu, harus punya pemimpin yang punya kapabilitas baik. Menguasai manajemen organisasi, menguasai manajemen keuangan, dan menguasai manajemen riset,” kata peneliti tata kelola dan konflik di BRIN, Poltak Partogi Nainggolan, kepada Republika.

Poltak menerangkan, seorang kepala BRIN semestinya bisa menindaklanjuti Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dengan baik. Menurut dia, BRIN dibentuk untuk membangun sebuah pusat riset nasional yang berdaya saing global dengan SDM riset unggul.
Dia menilai hal yang sudah terjadi saat ini adalah sebuah kesalahan. “Harus punya visi itu siapa pun yang dipilih untuk itu. Di situ kan mandatnya sebetulnya mengoordinasikan, bukan mengintegrasikan atau melebur. Siapa pun yang melebur itu, itu keputusan yang salah,” kata Poltak.
Dia memberikan contoh peleburan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dibangun dengan investasi tinggi oleh BJ Habibie ke dalam BRIN. Dari yang sudah bisa berjalan dengan baik hingga menghasilkan riset yang bagus, kini dia sebut menjadi hancur.
Hal serupa juga terjadi di berbagai proyek penelitian lain yang berjalan tidak maksimal. “Bisa kita bandingkan satu hal saja. BPPT dulu punya Pak Habibie, orang sudah jalan, sudah bagus, (sekarang) hancur semua itu lihat. Juga yang lain-lainnya. Bikin drone, vaksin (Covid-19) Merah Putih. Mana? Karena semuanya jadi setengah-setengah. Tidak ada fokus,” ujar dia.
Bisa kita bandingkan satu hal saja. BPPT dulu punya Pak Habibie, orang sudah jalan, sudah bagus, (sekarang) hancur semua itu lihat.
Masih terkait peleburan, Poltak mempersoalkan pembubaran badan riset yang ada di lembaga legislatif dan yudikatif. Badan riset di masing-masing lembaga tersebut harus berdiri masing-masing karena punya fungsi yang berbeda untuk memenuhi unsur check and balances di setiap lembaga. Jika fungsi itu tidak terpenuhi, menurutnya, akan berbahaya karena bisa saja semua pendapat tentang undang-undang akan menjadi pro pemerintah.
“Kalau mau berpikir efisiensi, tidak bisa main pukul rata seperti itu. Yang tidak efisien, diefisienkan, misalnya unit-unit pemerintah yang tumpang tindih. Tapi, yang punya DPR ataupun yang yudikatif, di bawah MK dan MA, itu tidak bisa. Itu harus mengikuti check and balances,” ujar dia.
Poltak juga menyoroti persoalan pengelolaan dana riset yang dia nilai ngawur. Periset yang tergabung di dalam BRIN, kata dia, dipersulit ketika hendak melakukan riset dengan aturan yang dibuat sendiri. Uang untuk keperluan riset tidak dapat dipegang di tangan. Periset pun harus menggunakan kartu kredit untuk membayar keperluan riset.
Dia mencontohkan soal biaya transportasi untuk keperluan riset. Biaya menuju bandara dipotong hanya menjadi Rp 150 ribu untuk perjalanan pergi dan pulang. Sesampainya di lokasi riset pun dia mengalami kesulitan karena dana yang diberikan minim. Poltak mengalami hal tersebut ketika hendak meneliti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan.

“Waktu saya riset IKN itu, tidak bisa sampai semua. Yang tadinya tim ada tujuh orang, tinggal dua orang saja yang jalan. Padahal, kita harus mewawancarai banyak pihak. Itu pun dalam sehari karena sudah tidak mungkin lagi berhari-hari. Uangnya tidak cukup,” ungkap dia.
Kesulitan-kesulitan tersebut tentu membuat metodologi yang dilakukan seorang periset menjadi berantakan. Keterbatasan itu membuat riset tidak bisa memperoleh data yang cukup representatif. Padahal, periset di BRIN dituntut untuk mempertanggungjawabkan riset-risetnya hingga bisa terbit di jurnal internasional.
“Jurnal internasional itu kan dia lihat metodologi. Kalau survei, berapa sampelnya? Kalau kecil-kecil, tidak representatif, dia lihat istilahnya kacangan atau main-main, abal-abal. Riset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dia tidak paham itu,” kata Poltak.
Posisi Megawati
Poltak juga menyampaikan, ada kesalahan dalam struktur organisasi di BRIN, yakni kehadiran dewan pengarah. Dia menilai dewan pengarah tidak dibutuhkan oleh BRIN yang semestinya menjadi lembaga yang benar-benar independen. Ketua Dewan Pengarah BRIN saat ini adalah Megawati Soekarnoputri.
“Waktunya kepala BRIN ini juga tersita karena struktur organisasi yang ada di BRIN ini juga ada yang tidak benar. Ada dewan pengarah. Buat apa? Lembaga BRIN harus independen. Apalagi dewan pengarah ini di bawah kooptasi partai politik. Bayangkan,” ungkap Poltak.

Menurut Poltak, hal penting yang perlu diperbaiki adalah meniadakan dewan pengarah dalam struktur organisasi BRIN. Struktur BRIN, kata dia, semestinya benar-benar terdiri atas sosok yang benar-benar profesional, tidak partisan, bebas, dan independen. Jika sudah tercampur politik, ditambah kapabilitas dan kapasitas pemimpin yang rendah, BRIN justru akan makin kacau.
“Tidak bisa lagi mau diberesin. Di satu sisi ditarik-tarik oleh partai politik, di sisi lain dia mau benahi, tapi tidak punya kemampuan. Ini PR yang berat. Bisa dibayangkan yang terjadi apa? Kemunduran. Kalau dibiarkan, kehancuran,” ujar Poltak.
AS Kembali Buka Front di Pasifik
Sejak 2019 Cina memburu pengaruh sekutu-sekutu di Pasifik.
SELENGKAPNYAEmpat Langkah Mengatasi Kesedihan
Jika amarah sudah akan meledak, dengarkanlah musik favorit kita.
SELENGKAPNYA