
Nasional
Siapa Orang Miskin di Ibu Kota?
Standardisasi penting untuk pengentasan kemiskinan.
OLEH ZAINUR MAHSIR RAMADHAN
Dari Istana Kepresidenan di Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, jarak lokasi itu hanya sekitar 4-5 kilometer. Tak sampai 15 menit berkendara untuk mencapai wilayah bantaran Kali Ciliwung di Petamburan tersebut.
Setiap Rabu atau Jumat menjadi hari panen rutin mingguan bagi sebagian warga di lokasi itu. Puluhan kilogram karung berisi barang bekas diangkut ke lapak-lapak pengepul untuk dijual dan diproses lebih jauh.
Tak terkecuali bagi Surya (58 tahun). Rabu ini, dirinya hanya menghasilkan dana sekitar Rp 70 ribu untuk puluhan kilogram sampah berbagai kategori dengan beragam harga. Kesulitan pendapatan sejak beberapa tahun terakhir itu, memaksanya untuk pindah dari kontrakan petak dengan harga Rp 650 ribu per bulan, ke bantaran kali beberapa ratus meter dari tempat tinggal sebelumnya.
Dua tahun dia tinggal di gubuk buatannya itu dengan sang istri. Ada puluhan gubuk dengan puluhan pekerja serupa di lingkungan tersebut. “Selain kamar sama tempat buat kencing, cuman ada kandang ayam di gubuk-gubuk sini. Kalau ada yang mau ayam, bisa dijual juga ini,” kata Surya sambil menunjuk beberapa kandang ayam di seberang kamarnya, Rabu (1/2).

Tidak ada barang elektronik, selain dua buah bola lampu dan selang pompa dari kali untuk membersihkan diri atau kandang ayam yang dipeliharanya. Di terpal yang menutupi atap gubuk dan pekarangan, tampak satu kamar dengan tumpukan baju dan kain bekas sebagai alas tidur.
Surya dan istrinya menuturkan mereka tak harus membayar sewa gubuk itu. Hanya biaya listrik sekitar Rp 25 ribu.
Sejak Rabu pagi hingga sore kemarin, hujan deras mengguyur Jakarta, memaksa saya ikut berteduh dan bercengkerama dengan suami istri di gubuk mereka. Khotimah bertutur, mereka memiliki satu anak lelaki, tetapi melarangnya datang ke gubuk.
“Di sini nggak cocok tempatnya. Takutnya nanti kecanduan yang kayak micin lagi (sabu),” kata Khotimah mengenang saat keluarganya terlilit utang rentenir karena narkoba.

Surya mengaku, sebelum ada Thamrin City, keluarganya memiliki rumah warisan di Kebon Melati, Tanah Abang. Aral melintang, terpaksa dijual saat ada proyek Thamrin City dan membuatnya pindah ke Bogor demi membangun rumah. Selang beberapa waktu, karena permasalahan keluarga, memaksa dia kembali pindah ke Jakarta, Petamburan, dan menjual rumah yang ada.
Sore tiba, Khotimah bergegas pergi ke masjid untuk mengaji, sedangkan Surya, bersiap memulung barang bekas di sekitaran Jakarta Pusat hingga pagi keesokan harinya. “Tiap hari kami begini. Nggak ada libur,” katanya sambil mendorong gerobak buatannya.

Betapa pun keluh-kesah Surya dan Khotimah, bagaimanapun standar hidup mereka tampaknya tak layak, pasangan itu bahkan belum masuk kategori miskin merujuk standar Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan pendapatan pekanan sekitar Rp 70 ribu, jika hanya hidup berdua saja, masing-masing mereka mampu mengeluarkan Rp 10 ribu per kepala per hari. Angka itu lebih rendah dari nominal pada garis kemiskinan BPS, yakni Rp 17.851 per kapita per hari pada September 2022.
Pendapatan Surya juga di bawah garis kemiskinan ekstrem versi pemerintah yakni Rp 10.739 per orang per hari. Sementara pengeluaran yang dihitung miskin adalah Rp 535.547 per kapita per bulan.
Angka kemiskinan “resmi” di Ibu Kota itu juga bisa jadi semacam fenomena gunung es. Berdasarkan data dari BPS Jakarta, di 2022, ada setidaknya 95.668 jiwa penduduk miskin ekstrem di Jakarta.

Berdasarkan pemaparan Kepala Bagian Umum BPS DKI Jakarta, Suryana, golongan utama status miskin ekstrem karena pendapatan yang berada di bawah Rp 11.663 per harinya. Ihwal berkurang, jumlah kemiskinan ekstrem di Jakarta pada 2022, ia sebut mengalami kenaikan sekitar 0,29 persen dibanding pada tahun sebelumnya.
Suryana menambahkan, karakteristik penduduk yang tergolong miskin ekstrem di Jakarta adalah usia kepala rumah tangga 45,5 tahun, lulusan SMA, lansia, dan pendapatan minimal tadi. “Kondisi rumah belum layak dan luas lahan per kapita di bawah delapan meter persegi,” kata Suryana.
Dalam penjelasannya, mayoritas penduduk ekstrem di DKI ada di Jakarta Utara (Jakut). Namun, Jakarta Barat menjadi kota dengan penduduk miskin ekstrem paling sedikit.
Menanggapi hal tersebut, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, tak mau menjawab cara atau metode penanganan kemiskinan ekstrem di Jakarta yang naik pada 2022. Alih-alih memaparkannya, dia menyinggung upaya Jakarta dalam memberikan Kartu Jakarta Sehat (KJP), Kartu Jakarta Pintar (KJP), hingga dukungan pemberian makanan gizi tambahan tanpa memerinci program tersebut.
“Saya tidak menjawab itu (penanganan kemiskinan ekstrem Jakarta)” kata Heru.
Heru mengaku, belum mengetahui lebih lanjut kategori kemiskinan ekstrem. Namun, menurut dia, salah satu indikator yang sudah dipastikan adalah pengeluaran yang tidak lebih dari Rp 11 ribu per harinya. “DKI terhadap warga kelompok itu kan sudah diberikan ada bantuan makanan, kesehatan, KJP, KJS, Wi-Fi gratis, ada PKH, PMT anak sekolah,” tuturnya.
Menurut Heru, sejauh ini DKI sudah berupaya dan melakukan intervensi lebih banyak terhadap kemiskinan ekstrem. “Boleh lihat sendiri,” katanya.

Upaya minim DKI dalam penanganan kemiskinan ekstrem itu, dikritik oleh pengamat sosial, Budi Radjab. Menurut dia, secara umum kemiskinan ekstrem memang dampak dari perekonomian nasional yang menurun. Namun, penanganan dari kenaikan miskin ekstrem di Jakarta sekitar 0,29 persen dia sebut tidak wajar.
“Sebagai Ibu Kota memang tidak wajar. Pemerintah harus membantu penanganannya, membantu masyarakat untuk bangkit, dan mengurangi kemiskinan ekstrem,” kata Budi.
Dia pun mendesak, pemerintah perlu membenahi kemiskinan ekstrem di Jakarta lebih baik. Caranya, dengan mengalokasikan cukup anggaran dari postur APBD atau dana kedinasan, dengan berbagai program demi pengentasan kemiskinan ekstrem.
Lebih jauh, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria, mengaku belum mendapatkan informasi mengenai kemiskinan ekstrem tersebut. Ditanya apakah akan ada rapat komisi dengan Pemprov DKI atau melalui Dinas Sosial DKI, dia tak memerincinya.
Iman mengatakan, dengan adanya laporan dari BPS ini, pihaknya akan mempertanyakan langkah penanganan dan persiapan bantuan atau metode demi mengurangi kemiskinan ekstrem di Jakarta. “Kita mau jadwalkan (rapat komisi dengan Pemprov DKI) nanti kita lihat langkah apa yang akan dilakukan oleh Dinas,” kata Iman.
Standardisasi kemiskinan
Kepala BPS Margo Yuwono menyebutkan, angka kemiskinan nasional pada 2022 sebesar 9,50 persenan. Sementara persentase kemiskinan ekstremnya sebesar 2,04 persen.
Pemerintah menargetkan, angka kemiskinan pada 2024 mendatang turun menjadi tujuh persen. Lalu ditargetkan angka kemiskinan ekstrem pada tahun tersebut bisa menyentuh nol persen.
Margo menilai, akan sulit mencapai target itu. "Melihat tren data, sulit capai target. Namun, perlu ada perbaikan sistematik tata kelola kemiskinan, termasuk tata kelola data," ujarnya, Senin (30/1).
Meski sulit, menurut dia, pemerintah harus berupaya melakukan percepatan dan tata kelola baru agar target 2024 bisa dicapai. Dia mengatakan, BPS kemudian menyandingkan data kemiskinan ekstrem di 212 kabupaten atau kota. "Pada Maret 2021, kemiskinan ekstrem 3,61 persen. Lalu Maret 2022 turun menjadi 2,76 persen," tuturnya.

Kemudian, menurut dia, dari miskin ekstrem menjadi miskin angkanya 2,91 persen pada 2022. Hal tersebut dinilainya sebagai bagian dari keberhasilan pemerintah pada tahun lalu.
Di sisi lain, dia mengatakan, terdapat masyarakat pada 2021 di posisi miskin ekstrem lalu pada 2022 masih sama, datanya sebesar 0,70 persen. Ada pula yang pada 2021 di posisi miskin, tetapi pada 2022 menjadi miskin ekstrem, angkanya sebesar 2,06 persen.
"Artinya kemiskinan itu dinamis maka perlu merancang data dengan tata kelola baik agar sasarannya menjadi clear," tutur Margo. Ia melanjutkan, perlu pemuktahiran data secara rutin, terintegrasi, dan berkesinambungan.
Kemiskinan itu dinamis maka perlu merancang data dengan tata kelola baik.
Selanjutnya, perlu standardisasi siapa si miskin sehingga penentuan target tepat sasaran dan tidak berbeda-beda antara kementerian, lembaga, serta daerah. "Perlu dibangun dan dipetakan dengan jelas siapa yang miskin ekstrem itu agar sasarannya sama," ujar dia.