
Mujadid
Syekh Jamaluddin al-Banjari, Sang Mufti dari Banjarmasin
Syekh Jamaluddin al-Banjari merupakan seorang tokoh dari Kesultanan Banjar.
Syiar Islam mulai memasuki Kalimantan Selatan setidaknya sejak awal abad ke-16 M. Dalam perkembangan kemudian, dakwah agama tauhid semakin diterima masyarakat setempat. Bahkan, pada tahun 1526 berdirilah Kesultanan Banjar sebagai salah satu daulah Muslim lokal.
Kerajaan ini sangat mendukung perkembangan syiar Islam. Dalam sejarahnya, terdapat seorang alim yang berperan besar dalam mendorong dakwah, termasuk di seluruh Kalimantan. Dialah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Usai era sosok berjulukan Datu Kelampayan itu, regenerasi alim ulama terus berlangsung. Hingga muncul tokoh-tokoh berikutnya, semisal Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Syekh Jamaluddin al-Banjari. Yang terakhir itu termasuk keturunan Syekh Arsyad.
Syekh Jamaluddin al-Banjari dikenal sebagai seorang mufti besar di Banjarmasin pada zaman penjajahan Belanda. Ia adalah cicit dari Syekh Arsyad al-Banjari dari garis istri keenam yang bernama Ratu Aminah binti Pangeran Thaha.
Silsilahnya adalah Syekh Jamaluddin bin Zalekha binti Pangeran Mufti H Ahmad bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Syekh Jamaluddin juga lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Surgi Mufti. Sosoknya sangat dihormati pemerintah Hindia Belanda, tapi tidak pernah mengkhianati bangsa.
Sosoknya sangat dihormati pemerintah Hindia Belanda, tapi tidak pernah mengkhianati bangsa.
Syekh Jamaluddin lahir di Desa Dalam Pagar, Astambul, Martapura pada 1817 M /1238 H. Ia adalah putra dari pasangan Haji Abdul Hamid Kosasih dan Hj Zalekha. Ia terlahir di lingkungan agama yang kuat, sehingga sejak kecil ia telah memiliki bekal ilmu agama.
Menginjak usia remaja, Jamaluddin kemudian menimba ilmu ke Tanah Suci Makkah. Ia termasuk ulama Nusantara yang bermukim cukup lama di Makkah. Di antara ulama besar yang menjadi gurunya saat belajar di Makkah dalah Alimul Allamah Syekh Athaillah.
Setelah 40 tahun belajar di Makkah, Syekh Jamaluddin kemudian kembali ke tanah kelahirannya. Dia pun mulai berkiprah sebagai ulama generasi penerus Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Saat itu, Kalimantan Selatan berada dalam kekuasaan kolonial Hindia Belanda
Sekembalinya ke Tanah Banjar, ia pun dihadapkan dengan dua pilihan. Pertama, ia mendapatkan pilihan untuk bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dalam melawan penjajah. Pilihan kedua, Syekh Jamaluddin fokus mendakwahkan Islam.
Karena kondisinya saat itu tidak mungkin melakukan perlawanan, Syekh Jamaluddin akhirnya memutuskan untuk menjalankan dakwah Islam moderat. Pada 1898 M, pemerintah Hindia Belanda pun mengangkatnya sebagai mufti, yang merupakan jabatan penting pada masa itu, bahkan setaraf dengan menteri atau hakim.
Syekh Jamaluddin al-Banjari dalam register pemerintah Hindia Belanda dikenal dengan nama Hadji Djamaloedin. Dia diberikan jabatan Moefti van Bandjermasin en Ommelanden (Mufti Banjarmasin dan Sekitarnya). Ia diangkat berdasarkan Besluit 30 Mei 1898 nomor 3, berdasarkan Lembaran Negara atau Staatblad nomor 178.
Jabatan mufti berasal dari lembaga Mahkamah Syariah yang eksis sejak masa Kesultanan Banjar.
Jabatan mufti berasal dari lembaga Mahkamah Syariah yang eksis sejak masa Kesultanan Banjar. Pembentukannya digagas Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Pada Mahkamah Syariah ini lah terdapat jabatan Mufti sebagai Ketua Hakim Tertinggi, yang berfungsi pula mengawasi pengadilan umum.
Lembaga inilah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi pemerintah Belanda untuk membentuk suatu lembaga peradilan agama secara khusus untuk daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1937 dengan nama Kerapatan Kadhi dan Kerapatan Kadhi Besar, yang berlaku terus sampai sekarang.
Sebagai mufti, Syekh Jamaluddin merupakan hakim tertinggi, mengawasi pengadilan umum di bidang syariah. Dia lah yang menjalankan syariah hukum Islam bagi warga Banjar. Sebagai ulama ahli falak, ia juga bisa memutuskan awal dan akhir Ramadhan, berdasarkan perhitungan hilal yang dia kuasai.
Tidak hanya ahli dalam beribadah dan memiliki ilmu agama yang kuat, Syekh Jalamuddin juga ahli dalam urusan duniawi. Bahkan urusan bertani di masa itu, kapan waktunya bercocok tanam yang baik, juga menjadi bidang yang dikuasainya.
Sebagai ulama dan pendakwah, kekuatan ilmu Syekh Jamaluddin sudah mencapai titik tertinggi dengan berbagai karamah yang dimiliki. Dikisahkan bahwa dalam sebuah ceramah di hadapan murid-muridnya, Syekh Jamaluddin pernah menyampaikan, di setiap ada air pasti ada ikannya.
Sebagai ulama dan pendakwah, kekuatan ilmu Syekh Jamaluddin sudah mencapai titik tertinggi dengan berbagai karamah yang dimiliki.
Ternyata pernyataan ini pun terdengar petinggi Belanda dan memanggilnya untuk melakukan tes kebenaran ucapannya. “Jika ada air ada ikan, maka apakah mungkin di dalam air kelapa juga ada ikannya,” tantang petinggi Belanda, meragukan ucapan Syekh Jamaluddin.
Akhirnya, sebuah kelapa dibawa lah ke hadapan Syekh Jamaluddin. Kemudian kelapa muda ini pun dibelah, seketika airnya muncrat dan saat bersamaan seekor ikan sepat menggelepar keluar dari buah kelapa tadi.
Sejak kejadian itu, petinggi Belanda semakin menaruh hormat kepada Syekh Jamaluddin. Untuk menghormatinya, pihak Belanda kemudian menjuluki Syekh Jamaluddin sebagai Surgi Mufti. Gelar ini kemudian diabadikan menjadi nama satu kelurahan dalam wilayah Kecamatan Banjarmasin Utara, yakni Kelurahan Surgi Mufti.
Istilah surgi itu sendiri berarti suci, sedangkan mufti artinya adalah pemimpin. Julukan ini diberikan oleh Belanda karena sikap istiqamah yang ditunjukkan Syekh Jamaluddin, serta memiliki kesucian hati dan tekun beribadah.
Meski hidup dan tumbuh di lingkungan Pemerintah Belanda, tapi kehidupan sehari-hari Syekh Jamaluddin tetap seperti ulama pada umumnya. Keteguhannya beribadah menjadi bukti. Karena itulah dakwahnya selalu dinantikan murid-muridnya.
Dalam berdakwah, Syekh Jamaluddin sering mengadakan pengajian duduk. Artinya dia tidak berdakwah dari rumah ke rumah, tetapi justru warga lah yang berdatangan ke rumahnya. Tidak hanya jamaah dari Kalimantan Selatan, tapi juga dari Kalteng, Kaltim dan Kalbar.
Pada eranya, Syekh Jamaluddin terkenal sebagai ulama yang pemurah dan ramah kepada siapapun, sehingga ia disegani dan dihormati oleh segenap lapisan masyarakat. Ia juga turut berkontribusi di dalam kehidupan sosial masyarakat.
Setelah bertahun-tahun menjadi mufti, Syekh Jamaluddin akhirnya berpulang ke Rahmatullah pada Sabtu, 8 Muharram 1348 H atau sekitar 16 Juni 1929 M. Ia wafat sekitar pukul 15.00 WITA menjelang shalat Ashar di Sungai Jingah. Syekh Jamaluddin meninggalkan empat orang anak, yaitu Hj Mariam, H Arsyad, H Taher dan H Berlian.
Syekh Jamaluddin kemudian dimakamkan di depan rumahnya, di Kampung Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Makamnya berada di dalam bangunan berupa kubah yang terletak di halaman sebuah rumah tradisional Banjar. Dulunya, kubah berwarna hijau dan kuning ini dibangun oleh Syekh Jamaluddin sebagai tempat menerima murid-muridnya.
Makam Syekh Jamaluddin ini kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu peninggalan dan cagar budaya yang dilindungi. Sampai sekarang kubah ini dikenal oleh masyarakat Banjar dengan nama Kubah Sungai Jingah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mengenal Imam Junaid al-Baghdadi
Imam Junaid al-Baghdadi merupakan seorang sufi terkemuka dari abad ketiga Hijriyah.
SELENGKAPNYAMengenal Definisi Tasawuf Dalam Islam
Istilah tasawuf memiliki pelbagai definisi, menurut para ulama dan sufi Islam.
SELENGKAPNYA