ILUSTRASI Imam Junaid al-Baghdadi merupakan seorang sufi besar dari abad ketiga Hijriyah. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Mengenal Imam Junaid al-Baghdadi

Imam Junaid al-Baghdadi merupakan seorang sufi terkemuka dari abad ketiga Hijriyah.

Pada abad ketiga Hijriyah, tasawuf mulai berkembang pesat di dunia Islam. Salah seorang tokoh utamanya adalah Imam Junaid al-Baghdadi. Syekh Fadhlalla Haeri dalam buku Dasar-dasar Tasawuf menuturkan riwayat tentang sang mursyid.

Imam Junaid al-Baghdadi lahir di Nihawand, Persia. Namun, beberapa sumber lain menyebut tokoh kelahiran tahun 210 H ini berasal dari Baghdad. Gelar di belakang namanya pun merujuk pada kota itu.

Pemilik nama lengkap Junaid bin Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi ini menjadi anak yatim sejak kecil. Dalam usia belia, dirinya diasuh oleh paman dari garis ibundanya, Syekh Sari as-Saqathi, yang juga merupakan seorang sufi.

 
Rumah sang paman kerap menjadi tempat berkumpulnya para salik.
 
 

Rumah sang paman kerap menjadi tempat berkumpulnya para salik. Mereka mendiskusikan pelbagai masalah keagamaan di sana. Karena itu, Junaid bin Muhammad sejak masih muda sudah akrab dengan majelis keilmuan. Sifat-sifatnya sebagai penuntut ilmu pun mulai terbentuk berkat pembiasaan itu.

Sekitar usia 25 tahun, Junaid bekerja sebagai pedagang. Ternyata, ia memiliki keterampilan dalam berbisnis. Tokonya selalu ramai oleh pelanggan. Bahkan, lama kelamaan dirinya menuai kekayaan dan reputasi di tengah masyarakat.

Keberhasilannya dalam berbisnis tidak serta-merta membuatnya silau akan perkara-perkara duniawi. Dirinya tetap tampil sebagai sosok pembelajar yang zuhud, tidak rakus dunia. Junaid selalu bergegas menutup tokonya menjelang waktu azan shalat tiba. Tabiat lainnya adalah gemar bersedekah, terutama dalam membantu kelompok-kelompok miskin dan dhuafa.

Menekuni tasawuf tidak berarti mengabaikan syariat. Justru, Junaid membuktikan dirinya sebagai penuntut ilmu yang tekun dalam disiplin fikih.

Dalam bidang ini, ia berguru langsung kepada Imam Abu Tsaur. Dengan bakat dan kecerdasan yang dimilikinya, Junaid mampu menguasai ilmu fikih dengan baik, bahkan ia disebut-sebut sebagai pakar dalam fikih mazhab Abu Tsaur. Kelebihan tersebut membuat Junaid dipercaya untuk mengajar dan memberikan fatwa pada usianya yang relatif muda, yaitu 20 tahun.

Keahliannya dalam disiplin ilmu fikih mendapat legitimasi dari banyak kalangan. Suatu saat, Ibnu Suraij pernah didatangi seseorang yang terkagum-kagum dengan paparan fikihnya.

Ketika ditanya, bagaimana Ibnu Suraij mampu menguasai bahasan tersebut. Ia pun dengan tegas mengatakan bahwa apa yang didapatkannya adalah berkat kefakihan sang guru yang tak lain adalah Junaid.

 
Selain bidang fikih, Junaid menguasai sejumlah disiplin ilmu, termasuk hadis.
 
 

Selain bidang fikih, Junaid menguasai sejumlah disiplin ilmu, termasuk hadis. Namun, Junaid tidak pernah bersinggungan dengan disiplin ilmu kalam karena sang paman tidak memperkenankan Junaid kecil untuk mempelajarinya.

Kapabilitas keilmuannya diakui oleh banyak kalangan, baik teman maupun muridnya. Teman semasanya, seperti al-Muhasibi, adz-Dzarri, dan Abu Said al-Kharraz, memberinya gelar atau julukan sebagai Syekh ath-Thaifah. Al-Qusyairi dalam risalahnya memberinya julukan pemimpin dan imam kaum sufi (sayyidu hadzihi ath-thaifah wa imamuhum).

Orang-orang mengenalnya sebagai sufi yang selalu mengutamakan keselarasan antara ajaran dan praktik tasawuf dengan kaidah-kaidah syariat. Ketegasannya dalam hal ini terangkum dalam kesaksian al-Kurani, seperti dinukil dari Ithaf al-Dhaki. Ia berkata, “Pengetahuan kami ini (kaum sufi) terikat dengan Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.”

Hal itu pun mengindikasikan, bagi sang syekh, tidak ada pertentangan antara sufisme dan sumber ajaran Islam.

Salah satu puncak karier Syekh Junaid ialah menjadi hakim kepala (qadi) Baghdad. Ada satu peristiwa berkaitan dengan ini.

Pada masa itu, salah seorang murid Syekh Junaid adalah Mansur al-Hallaj, yakni seorang pengamal tasawuf yang cukup eksentrik. Orang Persia kelahiran Thur itu terkenal lantaran pernah berucap, “Ana al-Haq” (Aku adalah Kebenaran).

Sebagai qadi Baghdad, Syekh Junaid tampak menghadapi dilema. Berbagai pengaduan datang kepadanya untuk mengeluhkan perangai dan penyimpangan al-Hallaj.

Di satu sisi, Syekh Junaid memahami pemikiran dan gejolak spiritual yang dialami muridnya itu. Namun, di sisi lain al-Hallaj pun berkali-kali menyatakan pernyataan spiritual (shathahat) yang membuat kaum Muslimin resah dan bingung.

Dalam kapasitasnya sebagai qadi Baghdad, Syekh Junaid diwajibkan menandatangani pengesahan tuntutan eksekusi mati atas al-Hallaj. Berkaitan dengan peristiwa ini, ia kemudian menulis, “Menurut syariat, ia (al-Hallaj) bersalah. Namun, dalam haqiqah, hanya Allah yang mengetahui.”

 
Menurut syariat, ia (al-Hallaj) bersalah. Namun, dalam haqiqah, hanya Allah yang mengetahui.
 
 

Hingga akhir hayatnya, Syekh Junaid terus mengajarkan tasawuf. Murid-muridnya mencatat banyak untaian hikmah dari nasihat-nasihatnya. Di antaranya adalah sebagai berikut.

“Kami tidak mengambil tasawuf dari omongan dan kata-kata, tetapi dari rasa lapar dan melepaskan diri dari (godaan) duniawi, dan dengan meninggalkan kebiasaan dan kesenangan kami.”

“Jika saja aku mengetahui satu pengetahuan yang lebih agung daripada tasawuf, aku akan mendatanginya meskipun harus merangkak.”

“Allah menyucikan hati seseorang menurut kadar ketulusan hati orang itu dalam mengingat-Nya.”

Mengenal Definisi Tasawuf Dalam Islam

Istilah tasawuf memiliki pelbagai definisi, menurut para ulama dan sufi Islam.

SELENGKAPNYA

Buah Kebaikan dan Jejak Kebaikan

Orang akan dikenang karena jejak kehidupannya, yaitu jejak kebaikan atau jejak keburukan.

SELENGKAPNYA

KH Said Aqil Siroj Dianugerahi Gelar Pejuang NU

Anugerah Satu Abad NU merupakan acara bersejarah dan penuh makna

SELENGKAPNYA