Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman | ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Nasional

Putusan MK: Nikah Beda Agama tidak Sah

Pokok permohonan soal nikah beda agama tidak beralasan menurut hukum.

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak gugatan mengenai pernikahan beda agama dalam sidang pada Selasa (31/1). Dalam konklusinya, MK menegaskan, pokok permohonan soal nikah beda agama tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

MK menyatakan tetap berpegang pada pendiriannya bahwa nikah beda agama yang diatur di Undang-Undang Perkawinan telah sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Artinya, pernikahan berbeda agama di Tanah Air tidak dibenarkan secara hukum. “Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta, Selasa (31/1).

Dalam pertimbangannya, hakim MK Wahiduddin Adams menyatakan, MK tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi mengenai persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan. Maka dari itu, tidak terdapat urgensi bagi MK untuk bergeser dari pendirian MK mengenai hal tersebut sesuai putusan-putusan sebelumnya.

“MK tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Wahiduddin.

photo
Tangkapan layar di Youtube mengenai pernikahan beda agama antara Staf Khusus Presiden Ayu Kartika Dewi dan Gerald Sebastian. - (Youtube)

Wahiduddin menegaskan, pertimbangan itu diambil setelah MK menyimak keterangan para pihak, ahli, saksi, dan mencermati fakta persidangan. “Dengan demikian, dalil pemohon berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Wahiduddin.

Oleh karena itu, Wahiduddin menegaskan, permohonan pemohon mengenai norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 ternyata tidak bertentangan di antaranya dengan prinsip jaminan hak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif, hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.

“Ini sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 28E ayat 1 dan ayat 2, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28I ayat 1 dan ayat 2, Pasal 28B ayat 1, serta Pasal 28D ayat 1 UUD 1945,” ucap Wahiduddin.

Tercatat, gugatan nikah beda agama pernah diadili di MK pada 2014 dengan pemohon sejumlah mahasiswa. MK menolak permohonan tersebut. Adapun gugatan kali ini dimohonkan oleh Ramos Petege. Ramos merupakan pemeluk agama Katolik yang tak bisa menikahi perempuan beragama Islam.

 
Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai peraturan perundang-undangan.
 
 

Dalam pokok permohonannya yang dibacakan ulang hakim MK Arief Hidayat, pemohon menyampaikan sejumlah dalil yang menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang merupakan ketetapan atau takdir Tuhan.

Setiap orang dianggap berhak untuk menikah dengan siapa pun juga terlepas dari perbedaan agama. Atas dasar itu, pemohon menilai negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama. Negara dinilainya juga harus bisa memberikan suatu solusi bagi pasangan beda agama.

Kemudian, alasan lain yang diutarakan pemohon untuk menggugat UU Perkawinan ialah mengenai pasal 2 ayat (1) yang dinilai telah menimbulkan penafsiran berbeda-beda dengan apa yang dimaksud dengan “hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”. Menurut pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia melangsungkan perkawinan beda agama, termasuk adanya penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil.

Apabila perkawinan hanya diperbolehkan dengan yang seagama, hal tersebut ia nilai menyebabkan negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya. Selanjutnya, menurut pemohon, pasal 2 ayat (2) menimbulkan tafsir bagi pelaksana UU Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak memungkinkan untuk melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi berbagai tafsir dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing untuk menghindari perkawinan beda agama.

photo
Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman (tengah) bersiap memimpin jalannya sidang pengujian materiil UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan agenda pembacaan amar putusan di gedung MK, Jakarta, Selasa (31/1). - (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Terakhir, pemohon menilai pasal 8 huruf f menimbulkan ambiguitas, kabur, ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan, hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara. Meskipun demikian, hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku bersyukur dengan sikap MK tersebut. Wakil Sekjen MUI Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah menyatakan, putusan MK telah sesuai UU 1/1974, yakni perkawinan harus berdasarkan agama dan kepercayaannya. Perkawinan beda agama tidak sah karena tidak sesuai dengan UU.

MUI telah memberikan perhatian dan apresiasi kepada MK atas putusan mengenai gugatan pernikahan beda agama. MUI berharap ke depannya tidak ada warga negara yang melakukan penyelundupan hukum dan penyelundupan agama untuk menyiasati pernikahan beda agama. Jika itu dilakukan, kata dia, artinya orang tersebut telah sengaja melawan UU dan melanggar hukum agama.

 
Hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
 
 

“Setidaknya telah tiga kali diuji di MK dan MK tetap bersikap sama, menolak semua permohonan dan menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah konstitusional,” kata Ikhsan.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menilai putusan MK atas gugatan mengenai perkawinan beda agama bisa memberikan kepastian. Putusan tersebut mengakhiri polemik mengenai nikah beda agama.

“Jadi, yang selama ini di dalam ruang abu-abu, grey area, yang menjadi polemik, menjadi perdebatan, kalau sudah diputuskan MK, menjadi terang benderang,” kata Muhadjir.

Menjadi Advokat, Siapa Saja yang Bisa Jadi Klien?

Bagaimana tuntunan syariah menjadi advokat?

SELENGKAPNYA

Memuliakan Rasulullah SAW

Adab Rasulullah SAW sangat mulia dalam menyikapi sahabat-sahabatnya.

SELENGKAPNYA

Waspada Gejolak Harga Minyak Goreng

Para produsen diminta menyediakan dan mendistribusikan minyak goreng rakyat.

SELENGKAPNYA