OPINI -- Lima cara berpikir Islam untuk memelihara lingkungan | Republika/Daan Yahya

Opini

Lima Cara Berpikir Islam untuk Memelihara Lingkungan

Cara berpikir Islami yang pro lingkungan berserakan di Alquran dan sunah.

AS ROSYID; Direktur Eksekutif the Reading Group for the Social Transformation, Penulis Buku Melawan Nafsu Merusak Bumi (2022)

 

Saya menyeberangi anak Kali Meninting di sebuah kampung dekat Desa Kekeri, sore itu. Motor butut saya melintasi sebuah jembatan kecil. Sengaja saya melambat untuk memperhatikan sungai di bawah.

Hati saya mencelos melihat air biru kehitaman dan bergelembung. Sampah berserak hingga ujung sungai. Pemandangan itu serasi dengan perumahan kumuh di sekitarnya.

Ajaibnya, masjid kampung tidak kumuh. Ya, tidak jauh dari sungai itu saya temukan masjid. Tidak megah, tapi cukup besar. Itu kabar gembira.

Masjid besar menunjukkan kampung itu berpenduduk Muslim dan umat di sana tampaknya berusaha agar minimal rumah Tuhan tidak turut kumuh seperti rumah mereka. Sayangnya, cara berpikir minimal semacam itu agaknya keliru.

 
Umat di sana tampaknya berusaha agar minimal rumah Tuhan tidak turut kumuh seperti rumah mereka.
 
 

Umat Islam telah diberi amanah menjaga bumi. Dalam sebuah hadis, bumi adalah masjid itu sendiri (al-ardhu kulluhā masjidun).

Maka mestinya, berpikir minimal berarti: “minimal sungai tidak boleh tercemar”, “permukiman seyogianya tidak kumuh”, “gunung sepantasnya tidak dirusak”. Sayangnya, cara berpikir di atas kurang populer.

Belum banyak ulama membicarakannya, dai pun tak menggaungkan. Padahal, cara berpikir Islami yang pro lingkungan berserakan di Alquran dan sunah. Saya memperkenalkan lima cara berpikir Islami untuk memelihara lingkungan.

Pertama, cara berpikir Amr-Nahy. Islam memberi tuntunan bagi umat dalam bentuk perintah (amr) dan larangan (nahy). Banyak amr dan nahy terkait lingkungan hidup.

Dari yang paling populer seperti perintah menjaga kebersihan hingga yang paling jarang didengar, misalnya, perintah bercocok tanam bagi yang mempunyai lahan (bukan lantas berlomba-lomba menutupi tanah dengan beton).

Pada bab larangan, umat Islam diminta menjauhi perbuatan laknat, yaitu buang air di jalan atau di tempat berteduh. Buang air dalam hadis tersebut mencakup semua perbuatan mengotori.

Sementara, jalan atau tempat berteduh mencakup semua ruang publik. Sungai, gunung, tanah, udara itu ruang publik, sebab banyak makhluk bergantung di situ: manusia, hewan, tumbuhan.

 
Mestinya, tanpa disuruh para pemuka agama, umat langsung bergerak mengatasi kekumuhan dan pencemaran.
 
 

Paling penting dari cara berpikir ini adalah kesadaran bahwa Allah sudah memberi perintah atau memberi larangan. Banyak umat lebih segan pada perintah kiai/tuan guru daripada perintah Allah. Mestinya, tanpa disuruh para pemuka agama, umat langsung bergerak mengatasi kekumuhan dan pencemaran.

Kedua, cara berpikir mafhum mukhalafah. Ini kaidah berpikir kebalikan. Perintah selalu diikuti larangan. Misalnya, perintah menanam lahan kosong sebetulnya berarti larangan mengalihfungsikan lahan untuk pembangunan.

Kita mengerti, tanah adalah pori-pori bumi yang bertugas menyerap air melalui pohon-pohon. Semakin hilang lahan, semakin rentan banjir terjadi. Apalagi, lahan yang dikeruk tambang.

Namun, mafhum mukhalafah tak selalu terkait perintah dan larangan. Misalnya, surah al-An’am 99 menggambarkan kekuasaan Allah dalam proses penciptaan tumbuhan dan bebuahan yang melibatkan air, udara, dan tanah.

Mafhum mukhalafah-nya, manusia diperintahkan untuk menjaga siklus natural, bukan mengacaukannya dengan nafsu pembangunan yang tak berkelanjutan.

Saya pernah bermain di salah satu urban green space di Singapura. Di sana tertulis larangan bersuara lantang (bagian dari Singapore Noise Regulation), salah satu tujuannya agar habitat burung tidak terganggu. Masya Allah.

Saya tahu sejumlah dosa ekologis Singapura, tapi mungkinkah mereka dapat menerapkan mafhum mukhalafah ayat-ayat ekologis lebih baik dari kita di ruang publik?

Ketiga, cara berpikir ma la yatimmu al-wajib. Ada satu kaidah dalam fikih berbunyi ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib. Artinya, segenap syarat untuk menyempurnakan kewajiban, hukumnya juga wajib.

Misalnya, hukum asal bersuci adalah tidak wajib; yang wajib hukum shalat. Namun, shalat takkan dapat dikerjakan kecuali dengan bersuci, maka hukum bersuci berubah mengikuti hukum shalat, yakni wajib.

Salah satu kebutuhan umat yang takkan terpenuhi bila lingkungan hancur adalah pangan sehat. Bila prasyarat mendapat pangan sehat adalah kelestarian kualitas sumber energi, hukum melestarikannya pun jadi naik derajat.

 
Bila prasyarat mendapat pangan sehat adalah kelestarian kualitas sumber energi, hukum melestarikannya pun jadi naik derajat.
 
 

Pangan macam apa yang akan dimakan umat bila kuantitas tanah, air, sayur, dan buah tercemar? Atau, bila sawah dan ladang digusur industri? Namun, isu besar dalam hal ini adalah kedaulatan energi.

Riset terbaru menunjukkan, sisa air tanah di seluruh dunia 22,6 juta kubik, tapi yang bisa digunakan hanya enam persennya. Aktivitas industri menyedot air terlalu banyak porsi air tanah demi proses produksi.

Itu monopoli! Nabi berwasiat, umat harus berserikat dalam kepemilikan air, rumput, dan api. Artinya, Nabi menentang monopoli sumber energi. Idealnya, ia dikelola secara gotong royong, kerakyatan.

Keempat, cara berpikir maqaṣid. Maqaṣid berarti maksud-maksud. Dalam hal ini diterjemahkan sebagai kehendak Allah. Ketika Allah mengisahkan sesuatu dalam Alquran, Allah sebetulnya menghendaki apa dari kita?

Mustahil pencerita tidak punya maksud di balik cerita. Pada masa lampau, orang tua tidak melulu bertitah untuk menanamkan prinsip moral pada anak. Mereka cukup berkisah; anak menyimpulkan sendiri prinsip moralnya.

Alquran adalah kitab yang penuh maksud, yang harus diselidiki. Misalnya, benarkah anjing seburuk yang kita stigmakan? Anjing muncul dalam kisah heroik al-Kahfi; kedudukannya penting.

Apa maksud Allah mengisahkan itu? Kita harus menyimpulkan nilai anjing sebagai makhluk Allah. Hal ini terkait problem penyingkiran anjing bahkan pembantaian atas nama syariah, akhir-akhir ini.

Nabi pernah menegur keras sahabat yang mengasah parang di depan mata hewan sesembelihannya. “Kamu mau membunuhnya dua kali?”

Pertanyaan itu bila dipahami maqaṣid-nya, perintah beranjak dari fikih penyembelihan (panduan praktis) menuju diskusi etika hewani (komitmen moral). Etika hewani lebih universal, mencakup perlindungan hak biologis-psikologis hewan.

Kelima, cara berpikir maḥabbah. Maḥabbah adalah cinta. Ini cara berpikir khas para sufi. Mereka menutup mata jasadnya dan melihat dengan mata batin yang penuh cinta.

Segala hal: manusia, batu, air, pohon, partikel udara, semut, babi, bahkan jin, mereka lihat sebagai perwujudan cinta Ilahiah. Sebab, segala hal takkan ada kecuali bila Allah, dengan cinta-Nya, mengizinkan mereka ada.

“Semua ini adalah tajalli Allah,” kata para sufi. Tajalli adalah perwujudan kasih sayang.

“Matamu masih tertutup dari memandangi kebesaran Allah kalau belum bisa menganggap mereka sebagai wujud cinta Allah. Dan akhlakmu masih terhalang dari meneladan sifat-sifat agung Tuhanmu kalau belum bisa mencintai mereka semua. Sekalipun pada seekor ular yang menggigitmu.”

 
Akhlakmu masih terhalang dari meneladan sifat-sifat agung Tuhanmu kalau belum bisa mencintai mereka semua. Sekalipun pada seekor ular yang menggigitmu.
 
 

Guru saya, seorang sufi, yang kini sudah meninggal, lebih banyak bermukim di kebun-hutannya di Lombok Utara. Ia habiskan waktu dengan ‘menyapa’ semua makhluk yang ada di sana.

Ia menyapa pohon-pohon cokelatnya, berbincang dengan cacing dan debu, melepaskan babi dari jerat jebakan teman-temannya, dan menjadikan anjing gunung sahabatnya. Beliau ekologis sebab mengerti arti cinta.

Demikianlah cara berpikir Islami, yang mudah-mudahan, dapat mendorong kita berbuat demi menyelamatkan lingkungan.

Sebetulnya, banyak cara berpikir lainnya, misalnya mafhum mubadalah yang belakangan ini terkenal, tetapi tak mungkin semua dibahas dalam satu artikel. Di luar itu, umat harus percaya Islam sejalan dengan keadilan, termasuk keadilan ekologis.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kenaikan Ongkos Haji

Perlu dirumuskan formulasi nilai manfaat masing-masing calon jamaah secara proporsional dan berkeadilan.

SELENGKAPNYA

ERP untuk Siapa?

Besaran tarif ERP yang terjangkau menjadi isu paling krusial penerapan ERP.

SELENGKAPNYA