
Refleksi
Politik Sebagai Mata Pencarian
Politik telah menjadi mata pencarian melalui jalan-jalan pintas yang serba menerabas.
Oleh AHMAD SYAFII MAARIF
OLEH AHMAD SYAFII MAARIF
Di antara gejala sosio-politik yang cukup menarik --tetapi juga memprihatinkan-- sejak periode reformasi ini adalah semakin berkobarnya syahwat politik sebagian anggota masyarakat Indonesia. Keprihatinan kita bukan karena minat kepada politik itu terlalu besar, tetapi pada waktu yang sama idealisme terhadap perbaikan bangsa ini secara menyeluruh telah semakin memudar, jika bukan telah tenggelam.
Politik telah menjadi mata pencarian melalui jalan-jalan pintas yang serba menerabas. Terbongkarnya berbagai kasus penggunaan ijazah palsu politisi adalah di antara indikator tentang betapa semakin rancunya suasana moral sebagian masyarakat kita. Untunglah kita sekarang punya pers bebas --dan ini salah satu prestasi gerakan reformasi-- untuk memberitakan segala yang baik atau yang buruk yang tengah berlaku dalam realitas sosial kita.
Sebenarnya politik sebagai mata pencarian sah-sah saja, apalagi mengingat lapangan kerja kita masih sangat sempit, sehingga angka pengangguran sudah demikian tinggi. Maka, pintu politik adalah salah satu cara untuk lapangan kerja itu.
Politik telah menjadi mata pencarian melalui jalan-jalan pintas yang serba menerabas.
Yang ingin digugat di sini hanyalah wawasan sebagian besar politisi kita yang tidak melampaui halaman rumahnya. Korupsi yang semakin merajalela tidak terlalu merisaukannya. Bagaimana nasib bangsa secara keseluruhan dalam menapaki masa depan yang semakin berat hampir-hampir tidak pernah singgah dalam pikirannya.
Oportunisme bahkan premanisme politik sudah demikian melanda kehidupan bangsa ini, apalagi minggu-minggu terakhir menjelang Pemilu 2004. Berbagai protes keras dalam bentuk demo dan ungkapan-ungkapan kasar terhadap pemimpin partai sungguh terlihat dan dirasakan di berbagai daerah akhir-akhir ini.
Itu belum termasuk jika kita berbicara mengenai politik uang yang jelas akan merusak tatatan demokrasi yang kuat dan sehat yang kita cita-citakan bersama. Memang, tidak jarang seorang politikus membela demokrasi dalam wacana, tetapi dalam praktik prinsip-prinsip demokrasi itu dilangkahi begitu saja.
Posisi nomor jadi berdasarkan hasil Pemilu 1999 menjadi rebutan di kalangan politisi partai.
Gejala ini dapat berakibat sangat jauh bagi hari depan bangsa ini. Partai sebagai salah satu pilar dalam demokrasi modern, tetapi secara internal demokrasi itu tidak dihormati dalam partai itu, maka bagaimana kita dapat berharap bahwa hari depan kita adalah sosok demokrasi yang sehat?
Kemudian, proses pencalegan pada sebagian partai ternyata merupakan persoalan yang cukup gawat yang dapat meruntuhkan partai itu sendiri, jika tidak cepat diatasi. Undang-Undang Pemilu kita memang masih banci antara nomor urut dan suara terbanyak.
Posisi nomor jadi berdasarkan hasil Pemilu 1999 menjadi rebutan di kalangan politisi partai. Sekiranya prinsip suara terbanyak disepakati, maka masalah nomor urut tidak lagi menjadi beban pemimpin partai yang akibatnya banyak dihujat oleh mereka yang merasa diperlakukan secara tidak adil dan aneh-aneh.
Seorang calon, misalnya, dilemparkan begitu saja ke zona pemilihan yang teramat asing baginya.
Seorang calon, misalnya, dilemparkan begitu saja ke zona pemilihan yang teramat asing baginya. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ditafsirkan bahwa pemimpin partai telah menerapkan praktik "suka-tidak suka" terhadap seorang calon, sekalipun sebenarnya belum tentu selalu begitu.
Jika calon itu telah punya nama secara nasional, pelemparan di mana saja tidak menjadi masalah. Tetapi, jika calon itu adalah politisi pemula, menjadi jago bukan di zonanya jelas merupakan sebuah penderitaan. Namun, saya teringat kata-kata Hadjriyanto Y Tohari baru-baru ini yang mengatakan bahwa menjadi politisi harus tahan banting, sebab jika tidak demikian, jangan bermimpi jadi politisi.
Politik di manapun di muka bumi ini pasti penuh dengan intrik dan gesekan, kecuali jika politik itu berhasil dijadikan kendaraan moral, sekalipun yang sering berlaku adalah sebaliknya: moral mengikuti syahwat politik!
Saya tentu tetap berharap bahwa dari sekian ratus politisi kita, masih akan muncul para idealis dan moralis.
Kembali kepada politik sebagai mata pencarian. Karena alasan ekonomi rumah tangga yang belum stabil, maka perebutan untuk menjadi caleg nomor atas sebenarnya dapat dipahami. Namun untuk jangka panjang, praktik yang kurang bermartabat ini haruslah ditiadakan, dengan syarat kondisi ekonomi kita haruslah semakin membaik.
Semuanya ini tentu akan sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan yang akan dihasilkan oleh Pemilu 2004. Saya tentu tetap berharap bahwa dari sekian ratus politisi kita, masih akan muncul para idealis dan moralis, sehingga rasa muak masyarakat terhadap partai akan berangsur hilang secara perlahan-lahan.
Dalam perspektif ini, orang harus selalu ingat bahwa dalam kehidupan demokrasi modern, kita belum menemukan sistem politik yang lebih baik tanpa kehadiran partai, sekalipun demokrasi itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari sebuah "sistem politik yang terbaik di antara yang terburuk".
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 20 Januari 2004. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.
Tank Jerman dan Trauma Perang Dunia II Rusia
Jerman menyerang Soviet pada 1941 berbekal ribuan tank.
SELENGKAPNYAKH Abdurrozak Ma’mun, Singa Podium dan Pendidik dari Betawi
KH Abdurrozak Ma’mun adalah pendiri Madrasah Raudhatul Muta’allimin Jakarta.
SELENGKAPNYATrik Memasak Sayuran Bercita Rasa Lezat
Dengan persiapan yang tepat dan bumbu sederhana, makanan nabati bisa selezat dan segurih daging.
SELENGKAPNYA