
Refleksi
Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan (1)
Teknologi sekali lagi memiliki peran dalam mengubah peradaban manusia.
Oleh ADI SASONO
OLEH ADI SASONO
Dalam bukunya berjudul The Turning Point, Fritjof Capra menulis bahwa dewasa ini sedang dipertanyakan tentang otoritas pada tingkat global mengapa negara dunia ketiga disebut sebagai "tertinggal" dari negara-negara industri.
Apa kriteria ketertinggalan itu? Dari mana mengukurnya dan siapa yang menentukannya?
Semakin banyak pemimpin negara ketiga yang memahami dengan jelas krisis multidimensi yang dialami negara-negara di belahan bumi utara, dan menolak dengan tegas usaha-usaha mereka untuk mengekspor masalah itu ke belahan bumi selatan. Bahkan beberapa pemimpin negara ketiga mendiskusikan bagaimana negara-negara di belahan bumi selatan mungkin mengurangi derajat ketergantungan dari belahan bumi utara untuk membangun sendiri berbagai pola ekonomi dan teknologi kontekstual yang cocok dengan masyarakat di belahan bumi selatan.
Bahkan beberapa telah mengusulkan perubahan definisi dari kata pembangunan (development) yakni dari pembangunan produksi industri dan distribusi barang menjadi pembangunan sumberdaya insani.
Pernyataan Capra itu bukan tanpa dasar. Teknologi sekali lagi memiliki peran dalam mengubah peradaban manusia. Ketika dulu mesin-mesin produksi ditemukan di zaman awal revolusi industri, peradaban manusia mengalami perubahan besar-besaran.
Teknologi sekali lagi memiliki peran dalam mengubah peradaban manusia.
Di zaman revolusi industri abad 16, kaum lelaki digiring untuk bekerja di pabrik-pabrik dan dipaksa mengikuti tata-cara yang ditentukan dalam arus ban berjalan ala Taylorism. Terminologi efisiensi menjadi ukuran produktivitas setiap pekerja. Efisiensi yang diukur berdasarkan kesuksesan arus ban berjalan yang mengorbankan harkat kreativitas kemanusiaan, karena gerak-gerik manusia dipaksa untuk mengikuti gerakan mesin demi asas efisiensi.
Efisiensi diukur dari menekan serendah mungkin ongkos bahan baku, ongkos teknologi produksi, dan ongkos tenaga pekerja. Terminologi kelas pemilik yang menghendaki efisiensi setinggi mungkin atas dasar menekan serendah mungkin ongkos tenaga kerja menjadi pola interaksi antarmanusia yang timpang dan menindas.
Sementara kaum lelaki harus mengabdi kepada pemilik pabrik, kaum perempuan didomestikasi untuk bertanggungjawab di sektor rumah tangga, tanpa digaji. Sumbangan kaum perempuan kepada keseluruhan efisiensi sistem tidak pernah diperhitungkan.
Menyusul subordinasi kaum pekerja kepada pemilik pabrik, subordinasi kaum perempuan terhadap kaum lelaki secara ekonomis juga terjadi. Penindasan multilevel terjadi sebagai akibat revolusi industri yang didorong oleh berbagai penemuan sains dan teknologi produksi pada saat itu.
Sejarah, kini, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien. Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi.
Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data dan kompresi, lebar pita (bandwidth), teknologi penyimpan data (data storage) dan penyampai data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks.
Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian.
Teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, bermanfaat, dan kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Beberapa pertanyaan dan pernyataan berikut bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, dan apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal.
Pertama, sifat ambivalen teknologi informasi oleh Andrew Feenberg dinyatakan dalam dua prinsip yang menjelaskan implikasi sosial dari pengembangan teknologi ini, yakni "principle of the conservation of hierarchy" sekaligus juga "principle of subversive rationalism". Prinsip yang pertama bermakna bahwa hierarki sosial yang ada dipertahankan oleh teknologi tersebut, dan bahkan diperkuat lagi.
Suatu contoh di sini adalah komputerisasi manajerial yang memperkuat kontrol terhadap bawahan oleh para pemilik modal untuk lebih mengefisienkan para pekerjanya. Sementara prinsip kedua meyakini bahwa teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi.
Kedua, tempat di mana komputer akan berperan dalam kehidupan sosial sangat tergantung secara erat dengan rancangan sistemnya.
Kedua, tempat di mana komputer akan berperan dalam kehidupan sosial sangat tergantung secara erat dengan rancangan sistemnya. Sistem yang dirancang untuk alat kontrol hirarkis adalah sejalan dengan asumsi rasional bahwa komputer bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam pengambilan keputusan.
Sebaliknya sistem yang dirancang secara demokratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian organisasi-organisasi masyarakat. Demikian pandangan Winograd dan Flores yang menyebutnya dengan ''ontological designing''.
Ketiga, Hirschhorn menjelaskan potensi komputer dengan mengontraskannya dengan pandangan para Taylorist. Kalau Taylorism membatasi dan bahkan menindas gerak anggota badan manusia pekerja untuk mengikuti sistem ban berjalan demi efisiensi, komputer memiliki prinsip fleksibilitas yang menciptakan konsepsi pekerjaan di mana kapasitas pekerja untuk belajar, beradaptasi, meregulasi kontrol yang berkembang menjadi sentral dari pengembangan potensi sistem mesin itu sendiri.
Keempat, Zuboff berargumentasi, dalam arah yang sejalan dengan argumentasi Marx yang mengkonkretkan evaluasinya tentang biaya tinggi dari sistem manajemen otoriter. Ia menunjukkan bahwa komputer dengan sifat ambivalennya dapat berperan dalam pembangunan masyarakat alternatif.
Komputer dengan sifat ambivalennya dapat berperan dalam pembangunan masyarakat alternatif.
Otomatisasi meningkatkan otonomi manajemen hanya dengan sedikit ongkos melalui terciptanya ruang-gerak para pekerja, di mana ruang gerak tersebut justru membuka peluang untuk meningkatkan kualitas kerja individu secara terarah. Pandangan ini dinyatakan Zuboff dengan: "Desain teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau meniadakan kontribusi insani."
Kelima, Andrew Feenberg mengingatkan kembali sejarah pemisahan lapisan tenaga kerja menjadi "manual workers" versus "sacred readers" yang kini digugat kembali. Strategi otomatisasi yang memanfaatkan kemampuan komputer dalam komunikasi akan menurunkan perbedaan yang menyolok antara pekerja mental (intelektual, politisi, pemuka agama, dll) dengan pekerja manual (buruh, logi baru karyawan, dll). Bentuk-bentuk norma sosial yang baru akan bertumbuhan di seputar penerapan teknologi baru, yang akan menjadi medium bagi proses demokratisasi kemandirian organisasi.
Teknologi informasi mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong pemaknaan ulang perdagangan dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antarmasyarakat dan antarindividu. Dewasa ini sedang diributkan seputar politik dan kontrol terhadap teknologi yang terus tumbuh ini. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Revolusi teknologi informasi telah memberikan kekuatan yang sangat besar dalam merubah paradigma kemanusiaan.
Pada dasarnya, teknologi yang memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, dan terjangkau memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat yang demokratis. Teknologi semacam ini harus dimiliki oleh rakyat untuk membantu rakyat mengorganisir diri secara modern, efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat tersebar dari proses berekonomi dan bermasyarakat.
Revolusi teknologi informasi telah memberikan kekuatan yang sangat besar dalam merubah paradigma kemanusiaan. Di antaranya yang paling cepat mengadopsi perubahan paradigma itu adalah dunia usaha dan perekonomian global.
Gelombang reformasi dan demokrasi yang kita hadapi sesungguhnya hanyalah konsekuensi dari perubahan di dalam fundamen yang menyokong ekonomi dunia. Perubahan itu terjadi akibat dari berlangsungnya tiga faktor yang membentuk kembali dunia perdagangan internasional. Ketiga faktor tersebut adalah internasionalisasi komoditi, transnasionalisasi modal dan globalisasi informasi.
Suatu komoditi saat ini diciptakan berdasarkan sumbangan dari seluruh penjuru dunia. Perluasan produksi komoditi itu berarti perluasan produksi dunia. Inilah yang dimaksud dengan internasionalisasi komoditi yang membawa akibat kepada meluasnya penggunaan mata uang dunia (dolar AS). Berdasar data yang ada, proses internasionalisasi komoditi sejak 1950-1990 telah tumbuh sekitar 20 persen.
Manakala suatu komoditi dihasilkan dengan cara menggabungkan berbagai produk dari seluruh dunia, penggabungan itu akan terjadi juga kepada salah satu faktor produksinya, yaitu modal. Produksi tidak lagi melibatkan tenaga kerja di seluruh dunia, pada akhirnya ia juga melibatkan modal dari berbagai bangsa. Transnasionalisasi modal ini menyebabkan modal amat likuid, dengan cepat bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Pada suatu saat modal menjadi anonim, siapa pemiliknya tidak jelas diketahui dan pemanfaatannya pun lepas dari preferensi individual.
Pada suatu saat modal menjadi anonim, siapa pemiliknya tidak jelas diketahui dan pemanfaatannya pun lepas dari preferensi individual. Dibanding tahun 1950-an, modal transnasional telah naik menjadi lebih 160 persen pada tahun 1990-an. Modal jenis inilah yang telah merontokkan mata uang negara-negara Asia Selatan. Modal ini datang dan pergi hanya untuk satu alasan: keuntungan.
Faktor penentu ketiga adalah globalisasi informasi, yaitu penyebaran akses dan produksi informasi ke seluruh dunia. Informasi bisa diakses dan dimiliki oleh siapa saja dan di mana saja di dunia ini. Perkembangan lintas batas informasi adalah yang tercepat. Sampai ketika internet ditemukan, sekitar 1990 globalisasi informasi telah naik 200 persen dibanding 1950-an. Dengan semakin luasnya pemakaian internet globalisasi informasi naik entah berapa kali lipat, only sky's the limit.
Ketiga kecenderungan inilah yang membentuk ulang dunia tempat hidup kita sekarang. Dan salah satu faktor penentu, modal transnasional, telah membuktikan kekuatannya tatkala memicu runtuhnya perekonomian Indonesia. Maka proses reformasi, di mana demokratisasi menjadi pegangan utamanya, tidak lain hanyalah langkah awal dari perubahan yang perlu dan harus kita lakukan demi menyiasati perubahan bukan saja di lingkungan internal, bahkan juga di lingkungan global.
Ketiga aspek proses globalisasi akan mendapatkan kekuatan yang sangat dahsyat dari revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang mewujud dalam teknologi internet. Dalam masa 10 tahun ke depan kemajuan internet, dengan tingkat perkembangan yang ada, akan merubah hampir semua aspek kehidupan -- pendidikan, perawatan kesehatan, kegiatan kerja dan pengisian waktu luang.
Internet menawarkan peluang yang sangat luar biasa, yang tidak seluruhnya positif.
Internet menawarkan peluang yang sangat luar biasa, yang tidak seluruhnya positif. Dari sisi positif, internet dapat menjadi alat demokratisasi yang ampuh. Internet mampu memberikan sekaligus dua hal yang menjadi inti demokrasi: kemampuan memilih dan kemampuan mewujudkan pilihan.
Di sisi lain, internet juga membuka peluang luar biasa bagi lahirnya bentuk penjajahan baru. Suatu penjajahan yang bertujuan penguasaan ekonomi melalui pengendalian dan penguasaan informasi.
Kenyataan yang kita hadapi memang luar biasa pahit. Lewat perjuangan keras pada Agustus 1945 kita berhasil melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Sekarang, setelah lebih dari 50 tahun merdeka ternyata kita masih harus menyembah untuk belas kasihan pemodal asing. Sekarang, tatkala kita ingin bangkit, kita seakan kembali terperangkap ke dalam koridor sempit yang mengerdilkan kemartabatan dan kemandirian kita.
Disadur dari Harian Republika edisi 9 Desember 1999. Adi Sasono (1943-2016) menjabat menteri koperasi dan UKM pada 1998-1999. Ia adalah salah satu pelopor pemikir ekonomi keumatan di Indonesia.
Keluar dari Tubuh Saat Tidur, Kembali Ketika Terbangun
Ada sesuatu yang keluar dari tubuh manusia ketika tidur dan masuk kembali ketika terbangun.
SELENGKAPNYAPunya Kerjaan Menjadi Syarat Sebelum Menikah?
Apakah punya kerjaan itu menjadi syarat sebelum menikah?
SELENGKAPNYANeraka yang Sangat Mengerikan
Denda sebesar apapun tidak akan mampu menyelamatkan mereka dari siksa neraka.
SELENGKAPNYA