Alquran peninggalan Sultan Mangkubumi di Istana Mangkubumi, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Ahad (6/11/2022). (ilustrasi) | ANTARA FOTO/Makna Zaezar

Kronik

Mengapa Mereka Membenci Alquran?

Umat Islam tak tergoyahkan keyakinannya terhadap Alquran.

Pada 2016, data analis dan peneliti pemasaran Tom Anderson menggunakan perangkat lunak analisis naskah yang dirancang OdinText untuk meneliti Alquran, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. Hasil analisis itu menunjukkan bahwa Perjanjian Lama hampir dua kali lebih banyak mengandung kekerasan dari Alquran.

Kata-kata "pembunuhan dan penghancuran" ditemukan pada 5,3 persen isi Perjanjian Lama yang merupakan kumpulan naskah-naskah umat Yahudi. Sementara pada Alquran, hanya 2,1 persen. Kata-kata yang sama juga ditemukan pada 2,3 persen Perjanjian Baru, alias masih lebih banyak dari Alquran.

Apa kemudian kata-kata yang dominan dalam Alquran? Alih-alih kekerasan, tema dominan dalam Alquran adalah kasih sayang dan pengampunan. Hal ini terkait dengan sifat Allah yang paling banyak dirujuk dalam Alquran yakni Rahman dan Rahim.

Philip Jenkins, pakar sejarah agama-agama dari Penn State University juga melakukan telaahan serupa pada 2010. "Yang membuat saya terkejut, ternyata Alquran jauh lebih tak berdarah-darah dan tak penuh kekerasan dibandingkan Injil," ujarnya seperti dikutip the Independent.

photo
Alquran milik Presiden AS Thomas Jefferson dipertunjukkan di paviliun Amerika Serikat Dubai Expo 2020 di Dubai, Uni Emirat Arab, Rabu ( 9/2/2022). - (AP Photo/Jon Gambrell)

Ia menyimpulkan, konteks perang dalam Alquran selalu menekankan pada pembelaan diri. Sementara pada Injil, ia menemukan ayat-ayat yang bahkan merujuk pada genosida. "Untuk standar abad ke-7 (saat Alquran diturunkan), ternyata isinya sangat manusiawi," ujar Jenkins.

Mengapa kemudian Alquran yang jadi sasaran kemarahan para Islamofobik di Barat? Bukan hanya Rasmus Palunda, pada 2010, dunia Islam juga sudah dibuat bergolak oleh rencana pendeta Terry Jones membakar Alquran di Amerika Serikat. Rencana yang kemudian benar-benar ia lakukan pada 2011 dan 2012. Dari mana akar kebencian terhadap Alquran tersebut?

Ir Akmal, alumnus Program Kader Ulama DDII Baznas, dalam tulisannya untuk Republika pada 2010 itu menuturkan bahwa para pembakar Alquran belakangan ini bukan yang pertama dalam sejarah Barat yang terang-terangan menyatakan kebenciannya pada Alquran. Berikut petikan tulisannya:

Mengutip Pakar Studi Alquran dari INSISTS, Adnin Armas, yang dalam bukunya, Metodologi Bibel dalam Studi Alquran (2005), telah menguraikan sejarah panjang penyerangan kaum Yahudi dan Kristen terhadap Alquran.

John of Damascus, misalnya, seorang tokoh Kristen terkemuka (meninggal 700 M), telah menyerang otentisitas Alquran sebagai wahyu Tuhan. John of Damascus tidak ragu menyebut Islam sebagai sebuah sekte bid’ah dan mengatakan bahwa Alquran banyak memuat cerita-cerita bodoh.

Peter Venerabilis (1094-1156), tokoh Kristen dari Biara Cluny, Prancis, juga menyebut Alquran tidak terlepas dari para setan. Menurutnya, setan telah mempersiapkan Muhammad menjadi Anti-Kristus. Ia mengatakan bahwa setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture).

Ricoldo da Monte Croce (1243- 1320) juga menyebut bahwa pengarang Alquran bukanlah manusia tetapi setan. Dengan kejahatannya serta izin Tuhan, Muhammad telah berhasil memulai karya Anti-Kristus. Martin Luther (1483-1546), juga menulis, "The devil is the ultimate author of the Quran". Luther menyebut Paus dan orang-orang Muslim sebagai jelmaan setan. Alquran, kata Luther, mengajarkan kebohongan, pembunuhan, dan tidak menghargai perkawinan.

Salah satu cara yang lebih halus untuk menyerang Alquran dilakukan oleh kaum Yahudi dan Kristen dengan melakukan studi Alquran. Pada abad ke-12 Masehi, Alquran untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton. Martin Luther menerjemahkan karya Ricoldo (Confutatio Al Corani) ke dalam bahasa Jerman, 1542). Luther tidak percaya ada manusia yang mau mempercayai ketololan dan ketakhayulan Alquran.

Luther juga menulis kata pengantar untuk karya Theodore Bibliander (1504-1564) tentang Alquran (Vorrede zu Theodor Biblian dus Koranausgabe). Cara-cara kasar dalam menyerang Alquran seperti itu kemudian disadari tidak banyak membawa hasil. 

photo
Martin Luther - (Wikimedia Commons)

Umat Islam tidak tergoyahkan keyakinannya terhadap kebenaran dan keotentikan Alquran. Sejak abad ke-19, mulai muncul bentuk baru dalam penyerangan Alquran. Caranya lebih halus dan berbungkus metode ilmiah (scientific method).

Salah satu pelopor dalam studi ini adalah Abraham Geiger, seorang tokoh Yahudi liberal. Ia menulis buku What did Muhammad borrow from Judaism (Apa yang Muhammad pinjam dari Yahudi). Kata Geiger, Banyak kata dalam Alquran berasal dari bahasa Ibrani. Karena itu, Alquran terpengaruh agama Yahudi. Cara pandang Yahudi-Kristen dalam Studi Bibel kemudian diaplikasikan dalam studi Alquran. Berbagai penelitian tentang Alquran  dengan kerangka pikir Yahudi-Kristen diaplikasikan, terutama dalam studi-studi teks Alquran. Theodore Nöldeke (m. 1930) memenangkan sebuah kompetisi penulisan sejarah kritis tekstualitas Alquran pada 1857.

Karyanya diterbitkan tahun 1860 dengan judul Geschichte des Qorans. Edisi kedua dari buku itu kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Friedrich Schwally, sedangkan edisi ketiganya ditulis oleh Gotthelf Bergsträsser dan Otto Pretzl. Geschichte des Qorans, yang dikerjakan beramai-ramai dalam kurun waktu puluhan tahun, hingga kini masih menjadi referensi penting dalam pembahasan sejarah kritis penyusunan Alquran di kalangan orientalis.

Dengan semangat untuk membuktikan ketidak otentikan Alquran, Gustav Flügel menerbitkan sebuah 'mushaf' tandingan sebagai hasil kajian filologi yang dilakukannya. 'Mushaf’ itu kemudian dinamakan Corani Textus Arabicus. Kemudian datanglah Arthur Jeffery, seorang orientalis berkebangsaan Australia yang meneruskan usaha Bergsträsser dan Pretzl. Jeffery bertekad merestorasi teks Alquran berdasarkan bacaan-bacaan dalam beberapa mushhâf tandingan’ (rival codices). Hanya saja, proyek Jeffery terpaksa dihentikan karena perpustakaannya dibom oleh pasukan sekutu pada Perang Dunia II.

photo
Theodor Nöldeke - (Wikimedia Commons)

Pengaruh Yahudi-Kristen? 

Salah satu isu klasik yang selalu diangkat oleh kaum orientalis adalah mengenai pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster dan sebagainya terhadap Alquran dan ajaran Islam secara umum. Reynold A Nicholson, seorang orientalis Inggris, pernah berkomentar, "Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings largely consisting of legends from the Haggadah and Apocrypha."

Jadi, selain berkeyakinan bahwa Alquran adalah karangan Muhammad SAW (bukannya wahyu Allah), Nicholson juga menegaskan bahwa Muhammad SAW telah menyalin mitos-mitos lokal untuk dimuat di dalam Alquran. Belakangan, muncul seorang dari kalangan misionaris-orientalis yang menggunakan nama samaran Christoph Luxenberg.

Dalam bukunya, Luxenberg mengklaim bahwa: (1) bahasa Alquran sebenarnya bukan bahasa Arab, dan karenanya harus merujuk pada bahasa Syro-Aramaik yang konon menjadi lingua franca pada masa itu, (2) selain bahasanya, ajaran dalam Alquran pun diambil dari kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria, (3) karenanya, Alquran yang ada sekarang tidaklah otentik dan perlu diedit kembali.

Pada umumnya, kajian orientalis terhadap Alquran memang berkisar seputar masalah yang itu-itu saja. Karena isnad tidak dianggap penting oleh kaum orientalis, maka riwayat yang lemah dianggap setara dengan yang shahih. 

photo
Sejumlah warga lanjut usia (lansia) membaca Alquran saat mengikuti Pesantren Ramadhan Lansia di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Rabu (6/4/2022). - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Pendapat-pendapat yang cacat, nyeleneh dan ditolak oleh jumhur ulama justru dikedepankan. Ada yang ingin mengubah susunan ayat dan surah Alquran secara kronologis, mengoreksi bahasa Alquran ataupun mengubah redaksi ayat-ayatnya. Semuanya bersumber dari ketidakyakinan mereka akan Alquran, karena menerima Alquran sama dengan menolak agamanya sendiri.

Selain kerap berpegang pada isu-isu sampingan (yang sebenarnya telah dipecahkan oleh para ulama), kaum orientalis juga telah melakukan kesalahan dengan menganggap Alquran sebagai dokumen tertulis atau teks, dan bukannya sebagai hafalan yang dibaca. Oleh karena itu, mereka seringkali menganggap bahwa catatan-catatan pinggir yang dibuat oleh para sahabat Rasulullah saw. dalam arsip-arsip pribadinya sebagai teks-teks tandingan. Padahal, Alquran dibukukan dengan mengacu pada hafalan, bukan sebaliknya.

Mushaf ‘Utsmani adalah mushaf standar yang dibuat untuk memfasilitasi semua qiraat yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi Muhammad SAW. Studi Alquran para orientalis itu lazimnya didasarkan pada penolakan terhadap kenabian Muhammad saw. Mereka tidak mengakui Muhammad saw sebagai Nabi yang telah menerima wahyu dari Allah. Studi-studi teks biasanya dilakukan dengan dalih studi kritis terhadap teks yang didahului dengan proses Desakralisasi Alquran.

Melanjutkan misi awal semangat keraguan dan kebencian terhadap Alquran, banyak di antara pengkaji Alquran di kalangan orientalis, yang memulai kajian mereka berawal dari keraguan dan berakhir dengan keraguan. Respons kaum Muslim terhadap pembakaran Alquran di AS sangat luar biasa dan menggembirakan. Seyogyanya, kaum Muslim terutama para sarjana Alquran juga sangat serius dalam merespon upaya penyerangan Alquran yang dilakukan dengan berkedok studi ilmiah. Sebab, upaya jenis ini jauh lebih halus caranya, dan sering menjebak.

Yang Menikah untuk Berdakwah

Para santri di Ciamis menjalani pernikahan massal sebelum ditugaskan berdakwah.

SELENGKAPNYA

Peneguhan Kesadaran HAM di Indonesia (1)

Kejahatan kepada pribadi sesungguhnya kejahatan kepada kemanusiaan.

SELENGKAPNYA

Islamofobia di Swedia dan Tur Pembakaran Alquran Paludan

Paludan sebelumnya pernah menggelar sejumlah aksi demonstrasi dengan membakar Alquran.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya