Pembakaran Alquran/Demonstran di Istanbul, Turki, berupaya membakar poster Rasmus Paludan | EPA-EFE/SEDAT SUNA

Kabar Utama

Islamofobia di Swedia dan Tur Pembakaran Alquran Paludan

Paludan sebelumnya pernah menggelar sejumlah aksi demonstrasi dengan membakar Alquran.

JAKARTA -- Aksi pembakaran Alquran di Swedia menunjukkan Islamofobia di negeri Skandinavia tersebut terbilang tinggi. Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Bunyan Saptomo mengungkapkan, tindakan intoleransi tersebut terjadi di tengah maraknya seruan toleransi dari negara Eropa. 

"Aksi (membakar Alquran) tersebut menunjukkan masih tingginya Islamofobia di Swedia. Padahal, Swedia dan Eropa pada umumnya sering menyerukan negara lain untuk toleransi dan menghormati hak kelompok minoritas," kata Buya Bunyan kepada Republika, Senin (23/1).

Buya Bunyan Saptomo, menyatakan dukungannya kepada Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), yang dengan tegas mengutuk keras aksi pembakaran kitab suci Alquran oleh Rasmus Paludan, seorang politisi Swedia, pada Sabtu (21/1) di Kota Stockholm, ibu kota Swedia. Menurut dia, tindakan intoleransi tersebut dilakukan oleh seorang politisi yang seharusnya menjadi panutan. Politisi seharusnya berperan sebagai penyeru toleransi dan menghormati HAM untuk mewujudkan kerukunan antarkelompok masyarakat.

"Lebih menyedihkan lagi, politisi Swedia tersebut tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa sudah ada resolusi PBB tentang International Day on Combating Islamophobia yang disetujui pada bulan Maret tahun lalu dan harus dirayakan setiap bulan Maret," ujar Buya Bunyan.

Sehubungan dengan itu, MUI menyarankan kepada duta besar (dubes) Swedia di Jakarta untuk menyeru Pemerintah Swedia agar melakukan langkah yang diperlukan guna mencegah Islamofobia di negeri tersebut. Caranya dengan membentuk forum kerukunan antarumat beragama di Swedia sebagaimana yang telah dilakukan oleh Indonesia.

Paludan membakar Alquran di bawah perlindungan polisi di Norrebro, Kopenhagen, Denmark, pada 2019. - (Wikimedia Commons)  ​

Ia berharap dubes Swedia bersedia hadir dalam konferensi tersebut. Untuk itu, Komisi Luar Negeri MUI siap bertemu dengan dubes Swedia untuk membahas hal itu serta hal lain yang menjadi kepentingan bersama. Ketua Umum Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah, KH Dr Masyhuril Khamis, menyatakan, pemerintah perlu menyampaikan protes kepada Kedutaan Besar Swedia di Indonesia atas pembakaran Alquran yang dilakukan oleh politisi Swedia Rasmus Paludan.

"Saya harap pemerintah bisa melakukan protes juga ke kedutaan atau ke PBB. Kami berharap upaya itu dilakukan. Sikap keberpihakan terhadap mayoritas umat Islam di negeri ini yang pasti tersinggung harus juga ditunjukkan melalui menteri luar negeri, misalnya," kata dia kepada Republika, Senin (23/1).

 
Sikap keberpihakan terhadap mayoritas umat Islam di negeri ini yang pasti tersinggung harus juga ditunjukkan melalui menteri luar negeri, misalnya.
KH MASYHURIL KHAMIS
 

Selain itu, menurut Kiai Masyhuril, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan organisasi Islam dunia juga seharusnya bersuara menyeru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Mengapa umat Islam yang terus disudutkan dengan cara-cara begini? Jumlah umat Islam itu tidak banyak di dunia, tetapi kok dianggap sebagai yang sangat radikal, padahal umat Islam itu sangat indah," ungkapnya.

Kiai Masyhuril juga berpandangan, pembakaran Alquran oleh politisi Swedia menunjukkan bahwa sasaran dakwah harus diperluas tidak hanya di Asia, tetapi sampai Eropa. Para dai perlu menguasai bahasa internasional agar bisa berdakwah di Eropa. Pada Ramadhan ini, Kiai Masyhuril mengaku sudah menerima banyak permintaan untuk menjadi dai dan imam di luar negeri.

Dia menjelaskan, Ramadhan tahun ini harus dimanfaatkan untuk berdakwah ke luar negeri. "Kita kirim ke sana. Kalau perlu, anak-anak kita itu tidak usah pulang, tetapi mereka justru berdakwah, khususnya di Eropa. Ketika Alquran dibakar, justru Alquran harus membakar lagi di hati anak-anak kita," kata dia.

Tur pembakaran Alquran

Pembakaran Alquran dilakukan oleh seorang pemimpin partai politik sayap kanan Denmark, Hard Line (Suram Kurs). Rasmus Paludan, yang juga berkewarganegaraan Swedia, sebelumnya pernah menggelar sejumlah aksi demonstrasi dengan membakar Alquran. Pada April tahun lalu, pengumuman Paludan tentang "tur" pembakaran Alquran selama bulan suci Ramadhan memicu kerusuhan di seluruh Swedia. Dikelilingi oleh polisi, Paludan membakar kitab suci dengan korek api menyusul cacian panjang hampir satu jam.

Dia menyerang Islam dan imigrasi di Swedia. Sekitar 100 orang berkumpul di dekatnya untuk melakukan demonstrasi tandingan dengan damai. "Jika Anda tidak berpikir harus ada kebebasan berekspresi, Anda harus tinggal di tempat lain," katanya saat itu.

Cendekiawan Swedia Masoud Kamali mengatakan, Islamofobia atau gerakan anti-Islam telah berkembang di Eropa sejak Perang Salib. Pengaruh dan mentalitas Perang Salib dapat terlihat pada pertanyaan yang diajukan ketika Turki menjadi anggota Uni Eropa. Kamali mengatakan, aspek utama rasialisme di Eropa saat ini pada dasarnya diterjemahkan menjadi "anti-Muslimisme". Itu merupakan sebuah istilah yang digunakan Kamali untuk Islamofobia.

 

photo
Pengunjuk rasa berdemonstrasi di Istanbul, Turki, sambil menunjukkan Alquran  - (EPA-EFE/SEDAT SUNA)

"Mengizinkan pembakaran kitab suci umat Islam di depan kedutaan dan menghina Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berkaitan dengan anti-Muslimisme yang telah lazim di Swedia dan Eropa secara keseluruhan sejak Perang Salib," ujar Kamali, dilaporkan Anadolu Agency, Senin (23/1).

Kamali mengatakan, anti-Muslim selalu menjadi bagian dari kebijakan negara-negara Eropa, termasuk Swedia. Menurut dia, penentangan negara-negara Nordik dan negara-negara Eropa lainnya terhadap keanggotaan Uni Eropa dipengaruhi oleh fakta bahwa Turki adalah negara Muslim.

"Saya telah menulis berkali-kali bahwa Turki telah menjadi bagian dari Eropa selama berabad-abad, benar-benar pada saat Anda tidak memiliki sesuatu yang disebut Eropa, Anda hanya memiliki beberapa negara," ujar Kamali.

Dalam bukunya yang berjudul Racial Discrimination: Institutional Patterns and Politics, Kamali membeberkan bagaimana umat Islam digambarkan secara negatif dalam buku sekolah di Swedia, Jerman, Inggris, Prancis, Austria, Polandia, dan Pemerintahan Siprus Yunani. Kamali mengatakan, pembakaran Alquran di Swedia, lalu retorika rasial anti-Muslim oleh politisi sayap kanan seperti Marine Le Pen di Prancis atau Partai Nasional Inggris, adalah representasi dari tradisi panjang yang dengan cepat mereproduksi dirinya sendiri oleh sistem pendidikan dan politik di negara-negara Eropa dan sekitarnya.

Menurut Kamali, partai-partai rasialis Eropa pada intinya memiliki satu kesamaan, yaitu anti-Muslimisme. Kamali mengatakan, ideologi rasial terhadap Muslim adalah bagian dari gagasan besar tentang perang dan pola pikir bahwa orang kulit putih Kristen Eropa harus menyebar dan menduduki seluruh dunia. 

Pedagang Kesulitan Dapatkan Pasokan Beras

Harga rata-rata beras secara nasional naik tipis.

SELENGKAPNYA

Nilai Tambah dan Jejak Kebaikan

Melakukan kebaikan merupakan akhlak mulia bagi seorang Muslim.

SELENGKAPNYA

Dalam Sepekan, Covid-19 Renggut Nyawa 12.658 Warga Cina

Kemenlu Cina meminta warganya mematuhi aturan prokes di negara tujuan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya