KH Ahmad Marwazie al-Batawie. | DOK REP MUHYIDDIN

Hiwar

KH Ahmad Marwazie al-Batawie dan Ilmu Sanad Musnid ad-Dunya

KH Ahmad Marwazie al-Batawie merupakan murid langsung Sang Musnid ad-Dunya.

Sanad adalah sebuah tradisi keilmuan yang dimiliki oleh para alim ulama Muslim. Adanya metode itu memastikan bahwa mata rantai ilmu yang kita terima adalah benar dan bersambung hingga Nabi Muhammad SAW.

Pada abad ke-20, salah seorang ulama besar yang berjulukan “Gudang Sanad Dunia” (Musnid ad-Dunya) adalah Syekh Muhammad Yasin al-Fadani. Beberapa waktu lalu, Republika berkesempatan untuk menemui seorang murid langsung dari sang syekh, yakni KH Ahmad Marwazie al-Batawie.

Ia menuturkan, banyak hikmah dan teladan yang diberikan alim kelahiran tahun 1915 tersebut. Syekh Yasin pun selalu bersemangat untuk terus menghidupkan ilmu sanad walaupun pada masanya banyak orang Indonesia yang terkesan melupakan urgensi disiplin ini.

Menurut Kiai Marwazie, gurunya itu berpesan kepada para murid untuk menyebarkan ilmu sanad di Tanah Air. Salah satunya melalui Zawiyah Arraudhah, yaitu tempat kajian islami bersanad serta berbasis pesantren yang. Institusi ini dinaungi Yayasan Arraudhah Ihsan Foundation.

“Sebelum saya pulang, Syekh Yasin berpesan, sebar luaskan ilmu riwayat ini supaya orang Indonesia terus mempunyai ilmu riwayat sampai kepada Rasulullah SAW,” ujar Kiai Marwazie saat ditemui di Gedung Raudah, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Bagaimana kisahnya menutut ilmu pada salah satu tokoh kebanggaan Indonesia di kancah internasional itu? Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, bersama Kiai Marwazie.

Bagaimana mulanya Anda belajar kepada Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, sosok yang berjulukan ‘Musnid ad-Dunya’?

Alhamdulillah, saya berangkta ke Tanah Suci pada 1976 lalu. Namun, saat itu saya tidak langsung bertemu dengan Syekh Yasin. Kurang lebih enam bulan sejak itu, barulah saya menimba ilmu darinya di Madrasah Darul Ulum, sekolah yang didirikan sang syekh.

Saya pertama kali bertemu beliau pada hari Eid. Karena, pada hari itu biasanya mukimin dari Jakarta, Kalimantan dan daerah lainnya datang ke tempat Syekh Yasin untuk sowan lebaran. Biasanya di dalam sowan itu, Syekh Yasin juga akan membacakan hadits hari Eid.

Pada 1977, seorang ulama Betawi, KH Abdurrazak bin Makmun, datang ke Makkah. Cucu Guru Mughni (lahir 1860 M) ini adalah temannya Syekh Yasin sejak masih bersekolah di Madrasah al-Shaulatiyah al-Hindiyah. Saya pun ikut dengan Pak Kiai sehingga menjadi dekat dengan Syekh Yasin.

Sejak 1978, barulah saya mulai intens mengaji kepada Syekh Yasin al-Fadani. Di luar sekolah itu, biasanya saya juga datang kepadanya tiap bakda Ashar dan malam. Di rumahnya, Syekh Yasin memberikan arahan kepada murid-murid, termasuk saya waktu itu.

Bagaimana sosok Syekh Yasin al-Fadani di mata Anda?

Syekh Yasin adalah sosok yang sangat sederhana. Jika ia di depan kita, kita tidak mungkin menyangka bahwa itu adalah Syekh Yasin. Ketika banyak orang yang datang ke rumahya, biasanya sang syekh sedang menjaga warung. Di warung itu pula, ia biasa menulis kitab.

Dalam gambaran banyak orang, Syekh Yasin mungkin mempunyai nama besar dan hebat. Namun, kalau melihat penampilannya, ia benar-benar low profile. Biasanya, ia hanya berpakaian kaos oblong serta peci putih atau kupluk. Bagaimanapun, kalau ada tamu besar, misalnya, ia akan berpakaian rapi. Di rumah, ya sudah seperti biasa itu saja.

Seperti apakah metode yang digunakannya dalam mengajarkan ilmu?

Ia selalu menerapkan sorogan. Ketika ada lima orang murid, misalnya, mereka akan membaca hadis Ibnu Majah di depan hadapan Syekh Yasin. Ada juga metode halaqah. Ini khususnya dilakukan di rumah. Waktu itu, saya bersama dengan dua teman saya sempat tinggal di rumah sang syekh. Biasanya, kami akan membawa kitab dan langsung menghadap Syekh Yasin. Kemudian, kami akan membaca kitab itu secara bergantian.

Setiap malam Rabu, biasanya akan banyak orang yang datang mengaji ke rumahnya. Total mereka bisa mencapai 50 orang. Ruangan pun jadi serasa kecil karena penuh orang. Pada malam itu, biasanya kami ikut membaca kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Selain itu, ia juga mempunyai Majelis Imlak. Di sini, biasanya sang syekh menyampaikan hadis-hadis dari buku karangannya, Bughyatul Murid min 'Ulum al-Asanid, ke semua muridnya yang bersekolah di Darul Ulum. Pesertanya juga banyak berasal dar guru-guru luar Darul Ulum, seperti Syekh Abdullah al-Lahji dan Syekh Ismail Zain. Syekh Muhammad Alawi Maliki pun turut hadir dalam Majelis Imlak.

Seperti apakah rutinitas seorang alim seperti Syekh Yasin dalam kenangan Anda?

Tiap malam Kamis atau malam Senin, Syekh Yasin biasanya mengajar di Madrasah Darul Ulum. Kemudian, bakda isya—terutama pada bulan Ramadhan—selalu ada khataman hadits Bukhari.

Kemudian, ia juga membuat seacam tur umrah pada bulan puasa bersama murid-murid dan juga guru-guru sekolah Darul Ulum. Itu dilakukan pada tanggal-tanggal ganjil, seperti tanggal 21, 23 atau 27 Ramadhan.

Rumah Syekh Yasin itu tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Murid-muridnya datang untuk istifadah (belajar). Ada yang datang dari Yaman, Suriah, Mesir, atau Yordania. Kalau Syekh Yasin tidak sedang lelah, pasti tamu-tamu diterimanya.

Wajar jika banyak orang datang ke Syekh Yasin. Sebab, ia adalah seorang alim dengan gelar Musnidul 'Ashr dan sekaligus Musnid ad-Dunya. Gelar itu disampaikan oleh Sayyid Abdullah Wahid bin Muhammad ketika berhaji pada tahun 1410 Hijriah di depan murid-muridnya. Syekh Abdullah memberikan julukan tersebut bukan atas dasar dari dirinya, melainkan apa-apa yang dilihat, dibaca, dan diketahui tentang Syekh Yasin.

Bagaimana perhatian Syekh Yasin terhadap ilmu sanad?

Syekh Yasin pernah ke Indonesia beberapa kali dan bertemu dengan ulama-ulama sepuh yang pernah mengalami masa kejayaan sewaktu di Makkah. Kemudian, ia meminta riwayat dari mereka dan menanyakan, siapa guru-guru mereka dahulu di Makkah. Namun, ternyata mereka tidak menulis. Mereka tidak membukukan perjalanan hidupnya dalam menuntut ilmu.

Adapun Syekh Yasin sangat aktif menulis biografi guru-gurunya dengan sangat detail. Jadi, semua karya-karyanya tentang sanad itu ditulisnya sendiri. Termasuk di dalam tulisannya itu, apa-apa yang dialaminya, dibacanya, serta komunikasinya dengan guru-gurunya.

Maka, Syekh Yasin agak kecewa karena ketika bertemu ulama-ulama sepuh di Indonesia, ternyata mereka tidak menulis riwayat tentang guru masing-masing. Akhirnya, ia mulai menulis sendiri tentang riwayat guru-gurunya. Sebab, bila ia meninggal, ilmu riwayat di Indonesia akan redup.

Pada kurun tahun 1970 hingga 1979, Syekh Yasin benar-benar luar biasa. Seperti “murka”, mengapa kok ulama-ulama besar tidak menulis riwayat guru-guru mereka? Sehingga, ilmu-ilmu itu hilang periwayatan.

Bagaimana riwayat Syekh Yasin?

Kalau kita urut, Syekh Yasin itu belajar pada lebih dari 700 guru. Kadang-kadang, saya tidak sampai memahami cara berpikirnya. Bagaimana cara beliau mengajinya? Guru-gurunya itu dari berbagai macam belahan dunia. Ada yang dari Pakistan, India, Irak, Mesir, Suriah, Yordania, Yaman, Arab Saudi, dan Indonesia. Kalau dari Tanah Air, misalnya adalah Syeikh Baqir al-Jogjawi dan Syekh Hasyim Asy’ari.

photo
Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (1915-1990). - (DOK WIKIPEDIA)

Adakah kiranya pesan Syekh Yasin untuk Anda?

Saya ditugaskan oleh Syekh Yasin untuk membantu menurunkan serta menyalin dari manuskrip-manuskripnya ke dalam tulisan untuk dicetak. Tugas itu juga dibagikannya kepada murid-muridnya di Indonesia, seperti Kiai Damanhuri, Kiai Zakwan, dan kemudian saya. Alhamdulillah akhirnya itu bisa dicetak. Dari situlah tersebar.

Makanya, sebelum saya pulang (ke Indonesia dari Makkah), Syekh Yasin berpesan, sebar luaskan ilmu riwayat ini agar orang-orang Indonesia terus mempunyai ilmu riwayat sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi, orang Indonesia harus tersambung sanad keilmuannya kepada Rasulullah SAW. Jangan sampai terputus.

Setelah pulang dari Tanah Suci pada tahun 1988, saya baru mulai menyebarkan itu. Waktu itu, belum ada pengajian riwayat. Kemudian, saya memulai pengajian bersanad itu di Zawiyah Arraudhah. Nah, sekarang kan mulai banyak yang mengikuti, menggelar daurah-daurah bersanad. Itu awalnya dirintis Zawiyah.

Pada awal tahun 1988, saya kembali ke Indonesia. Kemudian, tiga bulan berselang Syekh Yasin datang ke Tanah Air. Itulah akhir ziarahnya ke Indonesia. Pada 21 Juli 1990, ia berpulang ke rahmatullah.

Bagaimana kecintaan Syekh Yasin terhadap Tanah Air?

Syekh Yasin memang lahir dan wafat di Tanah Suci. Namun, kecintaannya terhadap Indonesia begitu besar. Nama gelarnya sendiri adalah al-Fadani. Artinya, berasal dari Padang, Sumatra Barat.

Pada waktu pecah Perang Dunia II, ia masih duduk di Madrasah al-Shaulatiyah. Di madrasah itu, biasanya rutin koran berbahasa Melayu datang dari Indonesia. Sebagai warga Indonesia, Syekh Yasin tentu punya kepentingan untuk mengetahui kabar tentang negerinya yang sedang berada dalam penjajahan.

Namun, di madrasah itu ada diskriminasi. Mudirnya seperti tidak senang dengan orang-orang Indonesia. Mungkin, ada omongan yang menyinggung anak-anak dari bangsa kita. Akhirnya, Syekh Yasin keluar dari Shaulatiyah.

Ia mendirikan sekolah Darul Ulum. Ya, kepergian (dari Shaulatiyah) ada hikmahnya juga. Syekh Yasin untuk membuat sekolah independen itu. Para pelajar Indonesia (di Tanah Suci)  akhirnya ikut pindah ke Darul Ulum.

Jadi, keindonesiaannya Syekh Yasin tidak hilang. Sebab, ia memang berdarah Indonesia. Banyak gurunya dari Indonesia. Dengan KH Hasyim Asy’ari, ia juga sering berkorespondensi dan bahkan bertemu di Makkah. Di antara yang keduanya bicarakan adalah tentang NU (Nahdlatul Ulama) dan kebangsaan.

photo
Syekh Yasin al-Fadani bersama para guru Madrasah Darul Ulum Makkah. - (DOK WIKIPEDIA )

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Menikmati Senja di Menara Eiffel Depok

Warga berwisata dadakan di bawah Menara SUTET Meruyung Depok,

SELENGKAPNYA

Agama dan Kebudayaan

Saat ini manusia justru sangat memerlukan agama dan kebudayaan supaya tetap lestari.

SELENGKAPNYA

Ratusan Turis Cina Tiba di Bali

Wisatawan Cina disambut tarian tradisional hingga barongsai.

SELENGKAPNYA