
Kisah
Ikhlas Dalam Menebar Ilmu
Ikhlas adalah sifat yang hendaknya ada dalam tiap gerak langkah kehidupan, termasuk menebar ilmu.
Dari segala bentuk ikhtiar kemanusiaan, barangkali ikhlas adalah yang paling sukar untuk diwujudkan. Sifat ini bahkan dijuluki sebagai dasar dari segala ibadah.
Kata ikhlas berakar dari bentuk khalasha. Artinya, ‘jernih, bersih, murni, dan suci dari campuran ataupun pencemaran.’ Dalam konteks amal ibadah, seorang yang ikhlas disebut sebagai mukhlis. Ia beramal karena Allah semata, menghindari pujian dan perhatian makhluk, serta membersihkan ibadah yang dilakukannya dari setiap yang dapat mencemarkan.
Seorang mukhlis tidak akan peduli seandainya seluruh penghormatan kepadanya hilang dari dalam hati manusia. Sebab, hatinya selalu mengingat dan mengutamakan Allah SWT.
Dalam pelbagai ayat, Allah menegaskan pentingnya ikhlas sebagai sifat yang mesti dirasakan setiap hamba-Nya.
ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus” (QS al-Bayyinah: 5).
Amal yang didasari pada niat pamer atau mengharap pujian orang lain tidak akan memperoleh ridha Allah. Walaupun perbuatannya mungkin berdampak positif bagi orang lain, nilainya justru berimbas buruk bagi diri sendiri. Sebab, besar kemungkinan dirinya melakukan riya, yakni syirik kecil.
Bagaimana menjadi insan yang ikhlas? Berikut ini kisah seorang alim yang sungguh-sungguh berupaya menjaga keikhlasan amal ibadahnya. Hammad bin Salamah, demikian nama ulama tersebut, adalah imam dan guru besar pada masanya. Lelaki dari Basrah, Irak, itu hidup pada abad kedua Hijriyah.
Abu Salamah al-Bashri, begitu julukannya, adalah seorang ahli nahwu atau gramatika bahasa Arab.
Begitu luas dan mendalam keilmuannya sehingga orang-orang menggelarinya al-Imam al-Qudwah dan Syaikhul Islam.
Di samping nahwu, dirinya juga pakar dalam bidang ilmu hadis. Murid-muridnya berjumlah banyak sekali. Mereka sangat mencintai dan menghormatinya.
Muhammad bin al-Hajjad menceritakan, suatu ketika ada seorang anak saudagar yang mendengar ceramah Hammad bin Salah. Untaian nasihat dari ulama tersebut sangat menyentuh hatinya. Beberapa pekan kemudian, remaja itu ikut dengan bapaknya dalam perjalanan dagang ke Cina. Begitu kembali ke Irak, anak ini memberikan hadiah yang istimewa untuk sang syekh.
Maka Hammad berkata kepadanya, “Jika aku menerima pemberianmu, aku tidak akan menerangkan hadis lagi kepadamu. Jika aku tidak menerima pemberianmu, aku akan melakukannya (mengajarkan hadis) kepadamu.” Pemuda itu pun berkata, “Kalau begitu, janganlah engkau menerimah hadiah dariku. Sungguh, aku masih ingin mendengarkan ilmu-ilmu darimu.”
Menurut pendapat yang masyhur Hammad bin Salamah lahir pada 91 Hiriyah. Ia banyak menimba ilmu dari beberapa ulama besar pada zamannya. Di antara guru-gurunya adalah Tsabit al-Bunani, Qatadah, Pamannya Humaid ath-Thawil, Ishaq bin Abdillah Abi Thalhah, Anas bin Sirin, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dalam buku Wafat Saat Shalat: 73 Kisah Kematian yang Indah, Mahmud bin Abdul Malik al-Zughbi menuturkan, kealiman Hammad diakui banyak ulama. Sang syekh laksana lautan ilmu. Wuhaid bin Khalid pernah berkata, “Hammad bin Salamah adalah tuan kami dan orang yang paling alim di antara kami.” Kealimanan tokoh ini bahkan diakui pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Hammad bin Salamah mempersembahkan seluruh usianya untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama. Menurut kesaksian Maqatil bin Shalih al-Khurasani, Hammad bin Salamah menjalani kehidupan dengan sederhana. Tak ada apa-apa dalam rumahnya selain perabotan sekadarnya, semisal tikar dan alas untuk menulis. Sering kali, dirinya tidur hanya beralaskan tanah, sedangkan di sekitarnya terdapat sebuah wajan tempat air suci guna keperluan berwudhu.
Dikisahkan bahwa seorang khalifah, Muhammad bin Sulaiman pernah berjalan kaki ke rumah Hammad hanya untuk bertanya tentang sebuah masalah yang dihadapinya. Usai bertamu, penguasa ini ingin memberikan harta sebanyak 40 dirham kepada sang syekh.
Ternyata, Hammad bin Salamah segera menolak pemberian itu seraya barkata,“Berikanlah harta itu kepada orang yang dengan uang tersebut engkau telah menzaliminya.”
“Demi Allah aku tidak memberimu kecuali yang diwariskan untukku,” timpal sang khalifah.
Hammad berkata lagi, “Sungguh aku tidak membutuhkannya. Singkirkanlah uang itu dariku. Semoga dengan begitu Allah menyingkirkanmu dari dosa-dosamu.”
Abu Salamah at-Tabudzaki menyatakan bahwa Hammad bin Salamah wafat dalam usia 71 tahun, tepatnya pada Selasa bulan Dzulhijjah 167 Hijriah. Menurut Yunus bin Muhammad al-Muaddib, alim ini berpulang ke rahmatullah dalam keadaan shalat di masjid.
Abu Abdullah at-Tamimi mengisahkan pengalaman bapaknya. Ayahnya itu pernah menuturkan, “Aku bermimpi melihat Hammad bin Salamah dalam tidurku. Aku bertanya, ‘Apa yang dilakukan Allah kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Kebaikan’.
Aku bertanya lagi, ‘Apakah itu?’ Ia menjawab, ‘Engkau telah begitu lama berjuang (dalam ibadah) maka hari ini aku perpanjang masa rehatmu. Lihatlah istirahatnya orang-orang yang kelelahan (dalam ibadah) di dunia. Sungguh sangat istimewa apa yang sudah dipersiapkan-Nya.’”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kue Keranjang, Si Manis yang Legendaris
Suguhan kue keranjang saat Imlek memiliki makna kesatuan keluarga dan peningkatan rezeki.
SELENGKAPNYAKorban First Travel Tujuh Tahun Menanti Kejelasan
Kuasa hukum sudah menyerahkan 4.328 data korban First Travel.
SELENGKAPNYASemua Ada Hikmahnya
Hikmah bagaikan mutiara yang bisa berada di tangan siapa dan di mana saja.
SELENGKAPNYA