Adi Sasono | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Tantangan Kebangsaan

Secara budaya, pendekatan yang sentralistis itu pun telah mengakibatkan pergeseran.

Oleh ADI SASONO

OLEH ADI SASONO

Gary Hamel, pemikir bisnis terpenting dari Universitas Harvard saat ini, dalam buku yang akan diterbitkannya dengan judul Leading The Revolution meramalkan bahwa di abad 21 ini akan berlangsung pertarungan antara mereka yang mapan dengan yang sedang bangkit, antara pemeluk masa lalu dengan pencerah masa depan, dan antara 'hirarki pengalaman' dengan 'hirarki imajinasi'.

Apa yang kita hadapi kini bukan perubahan sebagai gejala umum masyarakat, bukan perubahan di permukaan sementara esensi utama tetap berjalan damai di bawah permukaan. Segala perubahan ini memasuki ruang hidup kita dengan cara yang tidak terduga-duga, tanpa preseden (diskontinyu), dan menentang arus.

Realitas di atas sulit diterangkan dalam perspektif dunia aman tentram dan damai. Betapa kita terlambat sekejap, sedikit alpa saja, semua tiba-tiba telah meninggalkan kita.

ICMI haruslah menjadi 'minoritas kreatif' memberi arah pengembangan masyarakat dalam kehidupan global yang berubah cepat. Ada tiga hal utama yang harus dipelajari sebelum membahas lebih detail tentang paradigma dan kriteria perubahan yang harus didorong oleh peranan ICMI.

Pertama, pelajaran dari perjalanan Orde Baru. Kedua, pelajaran dari kecenderungan global dan revolusi gelombang ketiga. Ketiga, pelajaran dari perjalanan ICMI itu sendiri.

 
Segala perubahan ini memasuki ruang hidup kita dengan cara yang tidak terduga-duga.
 
 

Pelajaran dari Orde Baru

Sekarang ini, kita masih merasakan bagaimana era pendekatan mass production (produksi masal) yang diterapkan oleh Orde Baru selama 32 tahun telah berakibat fatal bagi ketimpangan struktur masyarakat.

Salah satu faktor utama yang terdesak dan didesak tanpa punya banyak pilihan untuk berkarya alternatif adalah dunia intelektual dan pembaharuan. Dunia intelektual, pembaharuan, dan pendidikan, dipaksa memenuhi kebutuhan sistem yang sentralistis dan berbasis produksi masal yang menguntungkan sedikit orang.

Dulu, pabrik dibangun di pusat dan untuk itu bahan baku dikumpulkan dari seluruh penjuru tanah air untuk diolah di pabrik secara terpusat dengan skala besar, menggunakan teknologi produksi ala Taylorism, dengan memanfaatkan buruh murah, yang lantas hasilnya dipasarkan ke seluruh penjuru tanah air dengan harga yang murah.

Akibatnya, adalah hilangnya kemampuan para local genius dalam memproduksi barang-barang kebutuhan skala kecil yang ada di desa-desa, karena pasarnya diambil alih oleh model produksi masal milik konglomerat.

Lebih lanjut, hal ini juga menjadi penyebab dari keseragaman barang yang monopolisis. Merek bisa berbeda-beda namun sebenarnya diproduksi oleh pabrik-pabrik milik konglomerat yang itu-itu juga.

 
Dunia intelektual, pembaharuan, dan pendidikan, dipaksa memenuhi kebutuhan sistem yang sentralistis.
 
 

Penerima akibat yang paling merasakan model pembangunan ekonomi yang sentralistis itu, yang paling mudah untuk disurvei secara langsung, adalah sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat. Di antaranya adalah koperasi-koperasi pesantren di seluruh pelosok tanah air.

Pesantren, pada dasarnya, bukan sekadar sekolah keagamaaan tradisional, tapi adalah juga cerminan pusat-pusat ekonomi desa, karena sifatnya yang mandiri dalam mendukung kehidupan pondok pesantren dan lingkungannya.

Berbagai lembaga tradisional di pedesaan, pada awalnya berfungsi pula sebagai lembaga ekonomi produktif yang menjadi motor penggerak perekonomian di lokal masing-masing. Sayangnya, fungsi ekonomi lembaga tradisional ini terpinggirkan, sementara pada saat yang sama pesantren disudutkan dengan label ketinggalan jaman, tidak modern, tidak kompatibel dengan tuntutan pasar.

Para lulusannya yang seharusnya dituntut untuk mandiri terpaksa harus digiring menjadi para buruh perusahaan besar atau 'pekerja domestik' di dalam atau di luar negeri.

Contoh kegagalan lain yang juga tragis terjadi pada sentra-sentra ekonomi berbasis adat di beberapa wilayah di luar Jawa. Contoh yang mudah dalam hal ini adalah kesewenang-wenangan pemegang HPH yang juga memporakporandakan tatanan ekonomi produktif masyarakat lokal, di samping juga menghancurkan lingkungan kelestarian hutan secara tidak bertanggung-jawab.

Lantas ada istilah-istilah perambah hutan, atau di lingkungan pertambangan ada istilah penambang liar atau penambang tanpa izin yang sangat menyudutkan rakyat.

 
Contoh kegagalan lain yang juga tragis terjadi pada sentra-sentra ekonomi berbasis adat di beberapa wilayah di luar Jawa.
 
 

Selama 32 tahun pendekatan ekonomi sentralistis melalui pabrik-pabrik yang menindas buruh semurah-murahnya, telah menciptakan monopoli pasar dengan produk monoplistis dan seragam.

Pasar lokal yang tadinya bisa dipenuhi oleh produk sentra-sentra usaha lokal menjadi terdesak, diambil alih oleh model produksi masal yang memperoleh berbagai subsidi dari pemerintah, mulai dari kebijaksanaan, birokrasi dan administrasi, kredit murah dalam dan luar negeri, belum lagi kepres ini dan itu 'demi' pembangunan nasional.

Padahal, kenyataan yang terjadi adalah penghisapan sumberdaya lokal di seluruh penjuru tanah air menuju kantong konglomerat dan para pejabat kroninya, serta didukung oleh birokrasi yang korup dan mengambil manfaat dari model pembangunan sentralistis tersebut.

Secara budaya, pendekatan yang sentralistis itu pun telah mengakibatkan pergeseran dari masyarakat produktif, yang mampu memproduksi sendiri berbagai kebutuhan pokok sehari-hari, menjadi masyarakat konsumtif.

Secara sosial situasi ini harus pula diperhitungkan sebagai kerugian, sebagaimana kerugian yang timbul karena adanya berbagai tindak kriminalitas yang disebabkan oleh daya beli yang rendah, tapi tingkat konsumsi yang tinggi karena iming-iming kemewahan yang berlebihan dari kehidupan sekitarnya yang sangat timpang. Ini adalah beban sosial ekonomi yang juga perlu diperhitungkan secara keseluruhan.

 
Sektor pendidikan, sebagai salah satu pusat gerakan pembaharuan masyarakat, adalah sebuah contoh yang didikte tanpa bisa berbuat banyak.
 
 

Sektor pendidikan, sebagai salah satu pusat gerakan pembaharuan masyarakat, adalah sebuah contoh yang didikte tanpa bisa berbuat banyak. Setelah disudutkan dengan ketidakmampuan perguruan tinggi dalam menghasilkan lulusan yang siap pakai untuk masuk ke lapangan kerja industri, secara serta-merta konglomerat mendirikan lembaga pendidikan sendiri.

Dengan iklan bahwa lulusannya akan langsung ditampung di berbagai sektor lapangan kerja dari hulu ke hilir yang memang dimiliki oleh konglomerat tersebut, para konglomerat itu dapat menekan biaya rekrutmen pegawai yang terkenal mahal itu, malahan mereka bisa mengeruk biaya pendidikan dengan harga mahal, di samping menarik mahasiswa yang berkualitas melalui seleksi yang diperketat dengan jaminan lapangan kerja.

Kurikulum jelas langsung disesuaikan dengan kebutuhan sektor usaha dari hulu ke hilir tersebut, yang berarti penghematan untuk penyesuaian kerja yang tidak perlu diadakan lagi.

Jadi, dominasi konglomerat dalam sektor ini telah menguntungkan konglomerat dalam tiga hal sekaligus, yaitu biaya rekrutment dan biaya penyesuaian kerja yang dapat ditekan bahkan dihilangkan, serta lapangan kerja dari hulu ke hilir yang dimiliki mendikte lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Ketiga kebutuhan sumber daya manusia perusahaan-perusahaan konglomerat terpenuhi, bahkan dengan mendapat penghasilan dari lembaga pendidikan yang dimiliki.

Akibatnya adalah terabaikannya kemampuan lembaga pendidikan dalam memenuhi kebutuhan usaha kecil menengah (UKM) yang perlu kreativitas dan kewirausahaan. UKM mencakup 99,8 persen unit ekonomi yang ada di Indonesia, dan menyediakan kesempatan kerja bagi 90 persen angkatan kerja kita. Sungguh amat tragis tatkala pendidikan nasional terbukti gagal menjawab kebutuhan pemberdayaan mayoritas pelaku ekonomi bangsa.

 
Sungguh amat tragis tatkala pendidikan nasional terbukti gagal menjawab kebutuhan pemberdayaan mayoritas pelaku ekonomi bangsa.
 
 

Ketidakmampuan menjawab kebutuhan usaha ekonomi rakyat ini, pada gilirannya menjadi beban ekonomi manakala lulusan perguruan tinggi tidak mampu mengantisipasi perubahan paradigma ekonomi yang terjadi, akibat dari sistem yang didikte untuk menghasilkan buruh-buruh perusahaan besar semata. Berbagai peluang usaha dan kebutuhan usaha ekonomi rakyat tidak dapat dipenuhi.

Tanpa kesadaran dan pemahaman visi bangsa ke depan, kesalahan dan kegagalan tersebut bisa terdaur-ulang, sengaja atau tidak, apabila kepemimpinan nasional tidak serius, apalagi kurang kompeten dalam mengarahkan dan membawa bangsa ini.

Dan sistem pendidikan nasional, dunia keintelektualan dan pembaharuan adalah salah satu dari ujung tombak bangsa yang harus segera dibenahi, disamping ekonomi kerakyatan yang berbasis ekonomi jaringan. Kedua hal ini perlu dijalankan secara seiring.

Disadur dari Harian Republika edisi 2 Oktober 2000. Adi Sasono (1943-2016) menjabat menteri koperasi dan UKM pada 1998-1999. Ia adalah salah satu pelopor pemikir ekonomi keumatan di Indonesia.

Kronologi Kerusuhan Morowali Versi Buruh

Kerusuhan pada Sabtu (14/1) malam itu sebenarnya berakar dari insiden pada akhir 2022.

SELENGKAPNYA

Perjalanan Youtuber Jay Palfrey Menemukan Hidayah

Youtuber Jay Palfrey menemukan hidayah Islam kala ke negeri-negeri mayoritas Muslim.

SELENGKAPNYA

Brutal, Ibu dan Bayi Ditembak di AS

Penembakan massal di AS terus terjadi.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya