
Mujadid
Prof KH Aboebakar Atjeh, Sang Ensiklopedia Berjalan
Prof KH Aboebakar Atjeh merupakan cendekiawan nasional dari Serambi Makkah.
Kaum ulama mencerahkan masyarakat melalui ilmu yang diajarkan dan keteladanan yang dipancarkannya. Dalam sejarah, peran mereka bahkan melampaui dunia dakwah dan pendidikan. Tidak sedikit dari kalangan alim yang turut berjuang untuk membebaskan negerinya dari penjajahan.
Salah seorang ulama yang berkiprah banyak untuk umat Islam dan bangsa Indonesia adalah Prof KH Aboebakar Atjeh. Cendekiawan asal Aceh tersebut juga dikenal sebagai penulis banyak buku seputar keagamaan, sejarah Islam, filsafat, dan kebudayaan.
Sebutan Atjeh di belakang namanya merupakan pemberian presiden pertama RI, Sukarno. Sang proklamator mengagumi keluasan ilmu dai dari daerah Serambi Makkah itu. Alim tersebut juga dijuluki sebagai “Ensiklopedia Berjalan” oleh para koleganya.
Sebutan Atjeh di belakang namanya merupakan pemberian presiden pertama RI, Sukarno.
Prof KH Aboebakar Atjeh lahir pada 18 April 1909 di Kuta Raja, Banda Aceh. Sumber lain menyatakan, sang tokoh dilahirkan di Peureumeu, Kabupaten Aceh Barat. Keluarganya termasuk kalangan agamawan.
Ayahnya, Sjah Abdurahman, merupakan imam Masjid Raya Kuta Raja. Ibundanya, Hajjah Na'in, mengajar beberapa murid perempuan di kampung setempat.
Saat masih berusia anak-anak, Aboebakar belajar di beberapa pesantren (dayah), seperti Dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa dan Dayah Manyang Tuanku Raja Keumala Peulanggahan. Dirinya pun menempuh pendidikan formal di Volkschool Meulaboh dan Kweekschool Islamijah Sumatra Barat.
Menapaki masa remaja, Aboebakar merantau ke Pulau Jawa. Pemuda ini pernah bermukim di dua daerah, Yogyakarta dan Jakarta. Di tanah rantau, ia mulai giat mempelajari penguasaan bahasa asing. Hingga akhirnya remaja tersebut mampu menguasai banyak bahasa, seperti Arab, Belanda, Inggris, Jepang, Prancis, dan Jerman.
Tidak hanya menjadi poliglot bahasa-bahasa asing. Aboebakar muda pun mengerti beberapa bahasa daerah di luar bahasa ibunya, semisal Minangkabau, Jawa, Sunda, dan Gayo. Di kemudian hari, kemampuan berbahasa banyak itu memudahkannya untuk belajar di luar negeri, termasuk Haramain, Jazirah Arab.
Tidak hanya sibuk menuntut ilmu, dirinya pun turut aktif dalam berbagai organisasi masyarakat Islam sejak masih muda. Karena itu, nama Aboebakar pun dikenal luas sebagai aktivis, baik pada masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan RI.
Pengalaman berorganisasi sudah dibinanya sejak masih berumur 14 tahun. Ketika itu, namanya telah terdaftar di Sarekat Islam cabang Aceh Barat. Setahun kemudian, ia bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Di kemudian hari, dirinya merintis Muhammadiyah cabang Kuta Raja.
Pada zaman kolonial, Aboebakar pernah bekerja sebagai pustakawan dan editor pada Kantor Urusan Dalam Negeri.
Pada zaman kolonial, Aboebakar pernah bekerja sebagai pustakawan dan editor pada Kantor Urusan Dalam Negeri periode 1930-1941. Dalam masa pendudukan Jepang, ia menjadi penjaga asrama dan pegawai perpustakaan Shomubu Nito Syoki hingga tahun 1944. Di samping itu, ia sempat menjadi guru Latihan Kursus Kiai.
Setelah Indonesia merdeka, Aboebakar menjadi pegawai pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sekira tahun 1946, ia menjabat kepala Perpustakaan Islam Departemen Agama di Yogyakarta. Dalam waktu itu, dirinya juga aktif dalam kegiatan-kegiatan Partai Masyumi di sana.
Pada periode 1947-1955, Aboebakar tercatat sebagai seorang pegawai tinggi pada Departemen Agama. Pada 1948, bersama dengan menteri agama waktu itu KH Masjkur, dirinya memelopori penulisan Alquran Pusaka. Mushaf ini berukuran 65x120 cm persegi. Kini, pustaka tersebut disimpan di Masjid Baitur Rahim, Istana Negara, Jakarta.
Pada 1949 sampai 1950, ia turut mendirikan Perpustakaan Kutub Khannah Iskandar Muda di Banda Aceh. Ia juga mendirikan serta menjadi pengurus Perpustakaan Islam di Jakarta yang kemudian dipindahkan di Yogyakarta.
Pada 1950, ia juga dipercaya sebagai pimpinan editor majalah Mimbar Agama, majalah resmi Departemen Agama.
Pada puncak kariernya, KH Prof Aboebakar Atjeh dikenal sebagai seorang cendekiawan nasional. Pernah dirinya menjadi anggota pengurus penulisan sejarah untuk Monumen Nasional.
Bersama dengan para tokoh, ulama ini mengawali pendirian Masjid Agung al-Azhar.
Ia juga duduk di jajaran panitia pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta. Bersama dengan para tokoh, ulama ini mengawali pendirian Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
KH Aboebakar Atjeh tidak hanya memberikan pengajian agama di masjid-masjid, melainkan juga kepada kalangan tentara. Ia adalah salah seorang penceramah tetap di Pusat Rohani Angkatan Bersenjata RI Jakarta.
Sejak 30 Januari 1967, dosen beberapa perguruan tinggi di Ibu Kota ini—termasuk IAIN Jakarta, Universitas Ibnu Khladun, dan Universitas Islam Jakarta—menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang ilmu agama Islam.
Sosok prolifik
KH Prof Aboebakar Atjeh termasuk cendikiawan yang produktif dalam berkarya. Ada puluhan buku yang sudah tercipta dari tangannya. Di antaranya adalah Sejarah al-Qur'an, Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Toleransi Nabi Muhammad dan Para Sahabatnya, serta Islam Sumber Djihad dan Idjtihad.
Ia juga menerjemahkan beberapa karya para penulis Eropa dan orientalis, khususnya yang membicarakan sejarah Aceh. Kiai Aboebakar sendiri menulis beberapa risalah tentang Tanah Rencong. Kontribusinya turut membantu penyusunan kamus bahasa Aceh, Groot Atjehsch Woordenboek, yang diselesaikan oleh Husein Djajadiningrat.
Salah satu karyanya adalah biografi seorang tokoh Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahid Hasyim. Sang profesor secara pribadi dekat dengan anak pendiri NU tersebut. Sewaktu menjadi menteri agama RI, ayahanda Gus Dur itu pernah menugaskannya untuk memimpin jamaah haji Indonesia pada 1953.
Karena keluasan ilmu dan kacakapannya dalam tulis-menulis, Kiai Aboebakar Atjeh dipercaya mengomandani bidang publikasi Departemen Agama, sebelum kemudian menjadi staf ahli menteri agama
KH Wahid Hasyim wafat pada 18 April 1953. Beberapa waktu sesudah itu, Kiai Aboebakar berinisiatif untuk menulis biografi dan pemikiran tentang almarhum. Empat tahun kemudian, buku itu terbit di Jakarta.
Aboebakar Atjeh dikenal tekun menggarap penulisan biografi tersebut. Ia bekerja siang dan malam. Untuk mendukung ketelitian, beberapa kali dirinya menghubungi keluarga almarhum KH Wahid Hasyim untuk mengumpulkan bahan-bahan tulisan serta foto-foto.
Aboebakar Atjeh wafat pada 17 Desember 1979 dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta, Indonesia. Pada hari tua sampai wafatnya, ia menjadi ikhwan Tarekat Kadiriah-Naqsyabandiyah yang berpusat di Suralaya. Selama hidupnya ia memiliki dua istri, yaitu Soewami dan Soekarti. Pernikahannya dengan Soekarti dikaruniai enam anak.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Rumah Makan Padang Legendaris di Bendungan Hilir Jakarta
Rumah makan ini sudah berdiri sejak tahun 1960 di kawasan Bendungan Hilir.
SELENGKAPNYARamai-Ramai Menjajal Sinetron Vertikal
Sinetron vertikal hadir dengan durasi yang sangat singkat, yaitu 150 detik.
SELENGKAPNYA