Foto sejumlah kapal nelayan bersandar saat tidak melaut di Dermaga Muara Angke, Jakarta, Rabu (28/12/2022). | ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Nusantara

Nelayan Menuntut Keberpihakan dan Keadilan

Pemerintah harus memiliki skema yang kuat untuk melindungi nelayan.

JAKARTA -- Kehidupan nelayan sedang terombang-ambing akibat cuaca ekstrem yang terjadi belakangan. Cuaca yang tak menentu membuat mereka kehilangan pendapatan karena tak bisa melaut.

Di tengah kondisi seperti saat ini, pemerintah diharapkan bisa membuat kebijakan yang lebih berpihak dan adil kepada nelayan. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta pemerintah memperkuat skema perlindungan sosial bagi para nelayan kecil dan tradisional, menyusul dampak perubahan iklim kian terasa.

Ketua Umum KNTI Dani Setiawan mengatakan, telah menerima sejumlah laporan terkait pembudi daya dan nelayan tangkap yang mengalami kecelakaan, bahkan meninggal dunia dalam beberapa bulan terakhir.

 
Tidak sedikit saudara kita nelayan yang menghadapi kecelakaan.
 
 

"Tidak sedikit saudara kita nelayan yang menghadapi kecelakaan, bahkan ada yang meninggal dunia akibat perubahan cuaca yang tidak menentu di laut. Saya kira ini bagian dari risiko yang dihadapi nelayan kita," kata Dani dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring, di Jakarta, Kamis (12/1). 

Dani mengatakan, nelayan pada dasarnya sangat cepat beradaptasi dengan keadaan. Ketika harga BBM mengalami kenaikan, nelayan tetap melaut dengan menyiasati ukuran kapal menjadi lebih kecil agar bisa menghemat bahan bakar. Ini dilakukan karena keterdesakan ekonomi yang dihadapi para nelayan kecil dan tradisional.

Sayangnya, Dani melanjutkan, KNTI sebagai organisasi nelayan belum melihat jalan keluar yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi situasi yang ada. Padahal, pemberian subsidi premi asuransi bagi nelayan di seluruh Indonesia seharusnya bisa dipertimbangkan. Apalagi, nelayan memiliki kontribusi sebagai penyedia gizi masyarakat dan pendukung kinerja perdagangan produk kelautan dan perikanan nasional.

photo
Nelayan mengamati sejumlah kapal nelayan yang tak melaut dan bersandar di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Pusong, Lhokseumawe, Aceh, akhir 2022. (ANTARA FOTO/Rahmad)
SHARE    

Menurut perhitungan dia, dengan jumlah nelayan di Indonesia yang sekitar 2,3 juta orang, anggaran pemberian subsidi untuk premi BPJS Ketenagakerjaan tidak terlalu besar. "Hanya sekitar Rp 400 miliar dan itu sekaligus nelayan kita dapat jaminan hari tua," katanya.

Selain mendapat jaminan hari tua, pemberian subsidi premi asuransi dari pemerintah akan membuat kinerja nelayan lebih baik karena ada kepastian mereka bisa bekerja dengan aman dan nyaman. Tidak hanya perlindungan diri, pihaknya juga mendorong adanya asuransi untuk alat kerja nelayan seperti kapal yang digunakan untuk melaut.

"Saya kira hal semacam ini perlu terus kita dorong ke pemerintah agar pemerintah betul-betul memiliki satu skema yang kuat, dukungan alokasi anggaran yang kuat untuk melindungi satu sektor yang memiliki peran penting di dalam penyediaan gizi pangan bagi masyarakat dan penyediaan lapangan pekerjaan, juga kontributor terhadap perekonomian nasional," kata dia. 

Di sisi lain, Dani mengingatkan, perlindungan bagi nelayan perlu sejalan dengan kebijakan mitigasi atas dampak perubahan iklim yang terjadi. Pihaknya berupaya agar organisasi nelayan atau pembudi daya mulai mengambil langkah konkret untuk mendorong skema mitigasi.

"Apakah dengan cara konservasi wilayah pesisir atau misal dengan mendorong inovasi teknologi untuk menangkap ikan atau mengolah hasil perikanan," ujarnya.

Dani menilai, skema adaptasi mitigasi untuk menghadapi ancaman perubahan iklim harus menjadi agenda prioritas yang sejalan dengan upaya melindungi nelayan kecil dan tradisional Indonesia.

"Skema adaptasi mitigasi untuk menghadapi ancaman dampak perubahan iklim yang luar biasa ini perlu jadi satu agenda prioritas yang akan kami terus dorong ke depan, terutama bagaimana pemerintah punya skema kuat untuk mendorong perlindungan bagi nelayan kecil dan tradisional Indonesia," katanya.

 
photo
Sejumlah kapal nelayan bersandar saat tidak melaut di Teluk Labuan, Pandeglang, Banten, Selasa (27/12/2022). (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)
SHARE    

BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek mencatat hingga 2022 ada sebanyak 486 ribu nelayan dan awak kapal yang terlindungi program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. "Begitu pula di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terdaftar sebanyak 3.600 non-ASN yang jadi volunter ketenagakerjaan," kata Asisten Deputi Kepesertaan Skala Kecil Mikro BPJS Ketenagakerjaan Hery Johari. 

Hery menjelaskan, khusus di sektor kelautan dan perikanan, terdapat UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang mengatur risiko-risiko yang yang dihadapi nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam.

Perlindungan itu, antara lain, berupa kecelakaan kerja, meninggal dunia, dan lainnya. Perlindungan diberikan dalam bentuk asuransi perikanan atau asuransi pergaraman dan asuransi jiwa.

Menurut dia, klaim kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan nelayan dan awak kapal periode 2019-2022 untuk klaim jaminan kematian mencapai Rp 85,3 miliar. Sedangkan klaim jaminan kecelakaan kerja mencapai Rp 41 miliar yang telah terbayarkan.

Hery mengaku jumlah klaim jaminan hari tua memang masih cukup rendah, yang mana peserta penerima upah (PU) mencapai Rp 106,6 miliar dan peserta bukan penerima upah (BPU) mencapai Rp 4,2 miliar. Peserta PU adalah mereka yang bekerja dengan pemberi kerja, sementara peserta BPU adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha secara mandiri.

Tarif PNBP

Selain skema perlindungan perubahan iklim, para nelayan juga menuntut adanya keadilan dari pemerintah terkait tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pasca-produksi. Tarif yang berlaku saat ini dirasakan sangat memberatkan para nelayan dan pemilik kapal. 

Ketentuan mengenai PNBP pasca-produksi tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021. Dalam peraturan itu, tarif PNBP bagi kapal di atas 60 gross ton (GT) ditetapkan sebesar 10 persen dan bagi kapal di bawah 60 GT sebesar lima persen.

Ketua Umum Gerakan Nelayan Pantura (GNP) Kajidin mengungkapkan, selama ini nelayan dan pemilik kapal dihajar pandemi Covid-19, yang berdampak pada sulitnya ekspor perikanan sehingga menghancurkan harga ikan.

Belum lagi pulih dari dampak pandemi, nelayan dan pemilik kapal harus menghadapi kenaikan harga BBM, mahalnya biaya perbekalan melaut, dan cuaca ekstrem di perairan yang menghambat aktivitas pencarian ikan.

 
Kapal yang masuk, pendapatannya dipotong dengan nilai yang sangat besar, ya sakit dong kita.
 
 

"Sekarang muncul PNBP pasca-produksi. Kapal yang masuk, pendapatannya dipotong dengan nilai yang sangat besar, ya sakit dong kita. Di mana letak keadilan untuk kita?’’ kata Kajidin kepada Republika, Rabu (11/1).

Kajidin pun mempertanyakan peran pemerintah untuk membantu nelayan. Dia mencontohkan, untuk pengerukan muara agar kapal bisa mendarat di Pelabuhan Karangsong Indramayu, para pemilik kapal harus menggelontorkan anggaran sendiri sebesar Rp 1,3 miliar per tahun.

"Apa yang dilakukan pemerintah pada nelayan? Selama ini nelayan mengeruk sendiri pelabuhan supaya kapal bisa masuk,’’ kata Kajidin.

Kajidin menegaskan, nelayan tidak menolak pemungutan PNBP pasca-produksi. Nelayan hanya meminta agar besaran PNBP tersebut diturunkan, yakni menjadi lima persen untuk kapal diatas 60 GT dan tiga persen untuk kapal di bawah 60 GT.

"Kami gak saklek kok. Silakan dipungut, tapi dengan besaran yang sesuai dengan kemampuan nelayan. Untuk kapal di atas 60 GT sebesar lima persen dan kapal di bawah 60 GT sebesar tiga persen,’’ kata Kajidin menegaskan.

Jika pemerintah memaksakan untuk menerapkan tarif PNBP tersebut, akan banyak pemilik kapal yang tidak bisa lagi mengoperasikan kapalnya. "Dampaknya, ribuan nelayan yang menjadi ABK (anak buah kapal) akan menganggur,’’ ujar Kajidin.

photo
Nelayan melakukan pengisian BBM jenis solar subsidi di SPBN Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/wsj.)
SHARE    

Sekretaris Jenderal GNP Robani Hendra Permana menyampaikan, ada sekitar 600 unit kapal di sentra nelayan Desa Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Dari jumlah itu, 250 kapal berukuran di atas 60 GT dan sisanya di bawah 60 GT.

Kapal berukuran di atas 60 GT mempekerjakan ABK antara 14–17 orang. Sedangkan yang di bawah 60 GT, mempekerjakan ABK dengan jumlah yang bervariasi, bergantung pada ukuran kapalnya. Jumlah itu belum termasuk kapal dan nelayan di desa-desa lain yang menjadi sentra perikanan di Kabupaten Indramayu.

 
Dengan tarif PNBP yang besar, kapal yang tidak bisa lagi beroperasi akan bertambah dan nelayan yang kehilangan pekerjaan semakin banyak.
 
 

Robani menyatakan sudah mengkaji dengan berbagai pertimbangan dan diskusi dengan banyak pihak. Hasilnya, jika PNBP pasca-produksi diterapkan sesuai ketentuan, akan banyak pemilik kapal yang tidak bisa bertahan sehingga membuat ABK kehilangan pekerjaan. "Apakah pemerintah mau melihat rakyatnya seperti itu?’’ kata Robani.

Robani menyebutkan, ancaman itu sudah mulai terjadi. Di Desa Karangsong saja, sudah ada 20 kapal berbobot 50-60 GT yang tidak mampu lagi dioperasikan oleh pemiliknya. "Beban pemilik kapal sangat berat. Kalau ditambah lagi dengan PNBP yang nilainya besar, kapal yang tidak bisa lagi beroperasi akan bertambah dan nelayan yang kehilangan pekerjaan semakin banyak,’’ ujar Robani.

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, Edi Umaedi, mengaku bisa memahami kondisi yang dialami nelayan Indramayu saat ini.

"Kita usulkan permintaan nelayan. Mudah-mudahan jadi pertimbangan yang matang dan adil. Nelayan juga bukan menolak, hanya ingin agar nominalnya berkurang, tidak 10 persen," kata Edi. 

Jurus Moderasi Haji demi Jamaah Risti

Prinsip moderasi haji adalah mengambil pendapat pertengahan dalam menjalankan ibadah haji.

SELENGKAPNYA

Suhu Laut Terpanas dalam Semilenium

Lautan dunia menjadi yang terpanas sepanjang sejarah terjadi pada 2022.

SELENGKAPNYA

Revitalisasi Tugu Proklamasi, Pemprov Bangun Kios PKL

Kios ini memiliki desain yang bisa dibongkar pasang.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya